Drh.
Pudjiatmoko, Ph.D
Medik
Veteriner Madya
Sejak
masuknya Rabies ke pulau Bali pada tahun 2008, Direktorat Jenderal Peternakan
dan Kesehatan Hewan bersama Pemerintah Daerah Provinsi Bali telah melakukan
upaya pengendalian dan penanggulan Rabies.
Sejak terjangkitnya sampai dengan 2010, telah dilakukan pengawasan
lalu-lintas hewan penular rabies (HPR) secara ketat, Bali menjadi wilayah
karantina. Vaksinasi rabies terhadap HPR
telah dilakukan tetapi cakupannya masih sempit sehingga kekebalan kelompok yang
diperoleh masih rendah, hal ini ditunjukan kasus rabies selama tiga tahun dari
20108 sampai dengan 2010 tidak mengalami penurunan yang berarti. Untuk mempercepat penurunan kasus tersebut dilakukan
penentuan kebijakan baru yaitu melaksanakan program vaksinasi massal pada HPR
secara menyeluruh dan serempak di pulau Bali dimulai akhir tahun 2010,
dilanjutkan setiap tahun sekali hingga tahun 2016. Setelah dilakukan tujuh kali vaksinasi massal
ini, disusun analisis kebijakan vaksinasi massal ini.
Garis
besar Analisis Kebijakan Pengendalian dan Penanggulangan Rabies di Bali
meliputi : (I) Aktor-aktor Kebijakan, (II) Proses Perumusan Masalah, (III)
Model Perumusan Kebijakan, (IV) Nilai-nilai dalam Pembuatan Kebijakan, (V) Data
dan Informasi terkait Program vaksinasi Massal, (VI) Analis Kebijakan, (VII)
Kesimpulan, (VIII) Saran-saran, (IX) Rekomendasi, dan (X) Daftar Pustaka.
I. AKTOR-AKTOR
KEBIJAKAN
1.
Inisiator
Kebijakan : Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian
Pertanian dan Gubernur Bali.
2.
Pembuat Kebijakan
dan Legislator : Pembuatan Kebijakan yaitu Direktur Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian dan Gubernur Bali. Sebagai legislator
yaitu DPR sebagai Pembuat UU no. 18 tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan
Hewan dan Peraturan Pemerintah no. 47 tahun 2014 tentang Pengendalian dan
Penanggulangan Penyakit Hewan.
3.
Pelaksana
Kebijakan : Direktur Kesehatan Hewan, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
Provinsi Bali, Dinas Kapubaten / kota se Propinsi Bali.
4.
Kelompok Sasaran
: Masyarakat Pemelihara HPR dan Masyarakat yang bergerak dalam bidang kesehatan
hewan.
5.
Kelompok yang
diuntungkan : Masyarakat memperoleh manfaat dari kebijakan ini karena
memperoleh jaminan ketentraman tidak terserang rabies apabila rabies di Bali
bisa dikendalikan dan bisa diberantas
6.
Kelompok Kepentingan
: Masyarakat pemelihara HPR berkepentingan menyehatkan hewan kesayangannya dan
tidak terserang Rabies apabila rabies di Bali bisa dikendalikan dan bisa
diberantas.
7.
Kelompok Penekan
: Media massa, karena dengan pemberitaan dari media massa di publik, maka
pemerintah akan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di dalam masyarakat saat
ini.
II. PROSES
PERUMUSAN MASALAH
1. Perumusan masalah
Pulau Bali tertular Rabies sejak tahun
2008, sejak menjadi provinsi tertular telah menimbulkan banyak korban pada
manusia, Rabies sangat menakutkan dan meresahkan masayarakat serta telah
menurunkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke pulau Bali.
2. Agenda Kebijakan
Pemegang kebijakan harus menangani masalah
keresahan masyarakat terhadap Kejadian Luar Biasa rabies dengan serius. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten Kota harus menetapkan kebijakan untuk
mengendalikan dan menanggulangi Rabies di Provinsi Bali.
3. Pemilihan Alternatif Kebijakan untuk
memecahkan Masalah
Alternatif yang muncul pada pemecahan
masalah meningkatnya kasus Rabies adalah :
(a) Melakukan Vaksinasi seperti biasa
dilaksanakan selama 3 tahun;
(b) Melakukan Vaksinasi Massal secara
serempak terprogram.
III.
PERUMUSAN KEBIJAKAN
1. Kasus Rabies pada manusia dan pada HPR
merupakan suatu ancaman kesehatan dan kerugian ekonomi
a. Rabies menimbulkan korban masyarakat akibat
tertular Rabies dengan angka penularannya cukup tinggi dan menimbulkan kematian
didahului gejala penyakit yang mengerikan;
b. Rabies di Bali telah menurunkan jumlah
wisatawan dari luar Bali sehingga menurunkan pendapatan daerah dalam bidang
pariwisata.
2. Alternatif mengatasi masalah
a. Regulasi Pengendalian dan Penanggulan Rabies :
Pembuatan SOP pengendalian dan pemberantasan
b. Vaksinasi Massal : vaksinasi terhadap hewan
penular rabies yang dilakukan seacara massal dan serempak di seluruh pulau Bali
c. Eleminasi HPR : ditentang oleh LSM apabila
caranya melanggar ketentuan Kesrawan; sasaran yang akan dicapai rendah karena
merusak kekebalan kelompok/ hearth
immunity
d. Kontrol Populasi HPR : perlu kecepatan proses
sterilisasi atau kontrasepsi
e. Kontrol lalulintas HPR : memerlukan
pengaktifan / peningkatan cek point diperbatasan antar kabupaten dan tetap
diberlakukannya wilayah karantina untuk pulau Bali terhadap HPR
f. Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) kepada
masyarakat pemilik HPR : Diperlukan tenaga penyuluh kesehatan hewan yang
bekerja berkelanjutan untuk merubah perilaku masyarakat agar menjadi pemilik
anjing yang bertanggungjawab yaitu mau memelihara dengan baik, memebri makan
yang cukup, dipelihara dalam rumah, apabila keluar harus diikat dengan tali
sepanjang 2 meter, dan mau memvaksinkan HPR.
3. Penetapan Kebijakan
Pada akhir tahun 2010 telah disetujui oleh
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan melalui Direktur Kesehatan
Hewan Penetapan program vaksinasi Massal HPR secara serempak di pulau Bali.
IV. NILAI-NILAI DALAM PEMBUATAN KEBIJAKAN
1. Nilai-nilai Politik
Dalam proses pembuatan kebijakan pengendalian
dan penanggulangan rabies di pulau Bali dengan program vaksinasi massal telah
meningkatkan kepercayaan masyarakat bagi Kepala Daerah Provinsi Bali dan
Kabupaten/kota seBali.
2. Nilai-nilai Organisasi
Kebijakan pengendalian dan penanggulangan
rabies di pulau Bali dengan program vaksinasi massal sebagai pelayanan
masyarakat bidang kesehatan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
dan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam pemberantasan penyakit
Zoonosis.
3. Nilai-nilai Sosial
Kebijakan Pengendalian dan penanggulangan
rabies di pulau Bali dengan program vaksinasi massal sebagai perlindungan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terhadap masyarakat di pulau Bali
terhadap serangan penyakit Rabies untuk menurunkan keresahan masyarakat dan
meningkatkan kesehatan masyarakat di pulau Bali.
4. Nilai-nilai Kebijakan
Kebijakan Pengendalian dan penanggulangan
rabies di pulau Bali dengan program vaksinasi massal akan menurunkan kasus
rabies dan membebaskan rabies di pulau Bali untuk menghindari masyarakat Bali
menjadi korban Rabies.
5. Nilai-nilai Ideologi
Dalam kebijakan ini muncul nilai ideologi
nasionalis untuk menjaga kepentingan keselamatan warga negara Indonesia yang
terancam oleh penyakit yang membahayakan.
V.
DATA DAN INFORMASI TERKAIT PROGRAM VAKSINASI MASSAL
- Angka
reproduksi dasar
- Vaksinasi
Tahap I – VII
- Kasus
rabies di Bali 2008 – 2016
- Dampak
Vaksinasi Massal pada Anjing
- Tren
Penurunan Kasus Rabies
- Hasil / Keluaran dari pada setiap komponen aktivitas
Pengendalian dan Penanggulangan Rabies di Bali
No
|
Komponen / Aktivitas
|
Hasil / Keluaran
|
1
|
Vaksinasi Massal di
seluruh Bali
|
Strategi metoda ini sangat penting untuk
meningkatkan kekebalan kelompok dan menangkal serangan infeksi rabies dari
anjing-anjing yang sudah tertular. Hasilnya
sangat efektif untuk menurunkan kasus rabies di wilayah yang sudah tertular.
|
2
|
Eliminasi anjing
|
Eleminasi anjing tidak efektif untuk menurunkan kasus rabies di wilayah yang sudah tertular
dan sudah divaksin;
Eleminasi anjing secara acak atau
tidak tertarget bisa menimbulkan menurunkan jumlah anjing yang sudah divaksin
sehingga mengakibatkan
bertambahnya persentase hewan rentan.
Brtambahnya perpindahan anjing antar
wilayah (?)
|
3
|
Vaksinasi tertarget
anjing luar rumah
|
Dampaknya kecil; sumberdaya lebih baik diprioritaskan untuk kegiatan
vaksinasi massal untuk mencapai cakupan >70%
|
4
|
Vaksinasi tertarget
untuk anak anjing
|
Efektif apabila dilakukan sepanjang tahun dan dikombinasikan dengan
vaksinasi massal yg serempak
|
5
|
Sweeping di area yang cakupannya rendah
|
Berpotensi efektif apabila dilakukan segera setelah vaksinasi massal;
dan bermanfaat hanya bila kegiatan ini mentarget anjing-anjing yang belum
divaksin (perlu penandaan yang baik dan PVS)
|
6
|
Vaksinasi darurat
|
Berpotensi efektif apabila dilaksanakan dengan cepat setelah
konfirmasi kasus (< 10 hari), dan dilaksanakan di desat
kasus dan desa-desa sekitarnya. Untuk hal ini diperlukan Takgit yang efektif
dan mampu mendeteksi kasus dengan baik
|
7
|
Keterlambatan
logistik tahun 2012
|
Memberikan dampak namun tidak besar terhadap program pemberantasan,
namun memperlambat pencapaian pembebasan sekitar 6 bulan
|
8
|
Penggunaan Vaksin
tahun 2014
|
Tidak efektif, meningkatkan kasus rabies pada hewan 10 kali lipat;
membuat pencapaian pembebasan mundur, dan meningkatnya kasus pada manusia
|
- Di Bali dan
banyak tempat lainnya sudah turun temurun bahwa anjing dipelihara sebagai
hewan kesayangan.
- Di Flores
dan lokasi lain, anjing dapat dijadikan sebagai penjaga kebun, ladang dan
kandang ternak ekstensif.
- Para nelayan
tradisional anjing dibawa dalam pelayaran tradisional dijadikan sebagai
penolak bala, bisa mendarat sampai ke pulau lain. Kebiasaan seperti ini lalu lintas anjing
menjadi sangat sulit diawasi.
- Daerah pedesaan,
sering terjadi barter anjing dengan ganti barang kebutuhan seperti gula,
beras dan lain-lain.
- Masih banyak
pemelihara HPR yang tidak bertanggung jawab yang bisa menimbulkan over
population anjing peliharaan di rumah tangga. Sebagian dilepaskan keluar rumah
sehingga ikut berkontribusi pada peningkatan populasi anjing liar.
- Sumatra
Barat dan beberapa daerah lainnya anjing biasa digunakan untuk berburu
babi secara massal.
- Garut, Tasik
dan sekitarnya anjing digunakan untuk tradisi adu bagong yaitu adu anjing
dan babi.
- Masih terdapat pemasukan anjing ke suatu
pulau melalui pelabuhan rakyat yang berada di luar entry/exit point resmi
sehingga tidak dapat terjangkau oleh pengawasan karantina hewan.
- Di Sulawesi Utara dan beberapa daerah
lain terdapat konsumsi daging anjing (dog meat consumption) untuk
manusia.
- Meningkatkan mobilitas Hewan Pembawa
Rabies (HPR) ke daerah dengan demand tinggi sebagai hewan pemburu
atau untuk konsumsi manusia
- Perlu
ditingkatkan akuntabilitas program meliputi perencanaan program vaksinasi,
monitoring hasil vaksinasi dan evaluasi keberhasilan parogram vaksinasi
masal.
- Program
vaksinasi massal perlu dilanjutkan setelah mengetahui keberhasilan program
ini dengan ditunjukan adanya trend
penurunan kasus pada dua tahun terakhir.
- Keberhasilan
program vaksinasi masal di pengaruhi oleh fakstor predisposisi penyakit,
status vaksinasi, kontak antar anjing, kondisi fisik anjing, kepemilikan
jumlah anjing, ekosistem anjing.
- Masih perlu
dilakukan eksplorasi data-data bidang sosial seperti adat-istiadat yang
terkait pemeliharaan dan pemanfaatan anjing dan HPR lainnya dalam
kehidupan masyarakat di berbagai daerah.
- Surveilans
terhadap penyakit Rabies terus dilaksanakan dengan didukung pengawasan
lalu-lintas HPR baik di dalam pulau maupun dari luar pulau.
- Telah dapat
didokumentasikan telah terjadi penurunan kasus rabies pada dua tahun
terakhir untuk menjadi pertimbangan perencanaan pembebasan Rabies pada
tahun 2020.
- Perlu
peningkatan partisipasi lintas kementerian/ lembaga termasuk Kementerian
Pertanian, Kementerian Kesehatan, Kementerian dalam negeri, Kemenko
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kemenristekdikti, BNPB, TNI-POLRI serta partisipasi
organisasi NGO baik nasional maupun internasional.
- Program
Pengendalian dan Penanggulangan Rabies dengan vaksinasi massal ini perlu
memperoleh dukungan politik dari Presiden dan DPR pusat dalam
mempersiapkan organisasi pemerintah daerah pendukung yang menangani fungsi
Kesehatan Hewan.
- Komunikasi,
Informasi dan Edukasi terhadap masyarakat terus dilaksanakan secara
berkelanjutan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap rencana
pembebasan Rabies di pulau Bali.
- Hubungan
pemerintah dengan masyarakat perlu ditingkatkan melalui forum-forum atau
asosiasi pencinta hewan kesayangan termasuk Hewan Penular Rabies seperti
anjing, kucing dan kera.
Angka repoduksi dasar penularan rabies pada
anjing adalah sekitar 1 - 2. Seekor
anjing yang terinfeksi mempunyai peluang untuk menularkan anjing lain antara 1
sampai dengan dua ekor. Tetapi apabila
anjing dikandangkan di dalam rumah akan dapat mencegah penularan kepada anjing
yang lain lewat gigitan. Pulau Bali
dengan angka reproduksi dasar penularan 1,2 maka untuk memperoleh kekebalan
kelompok yang cukup baik diperlukan vaksinasi paling tidak sebanyak 70%
populasi anjing.
Telah dilakukan program vaksinasi massal pada
hewan penular rabies di Provinsi Bali setiap tahun. Vaksinasi massal dimulai pada akhir tahun
2010 sebagai vaksinasi massal pertama.
Setiap tahun dilakukan program pengulangan vaksinasi massal dan
vaksinasi ke tujuh dilakukan pada pertengahan tahun 2016.
Pada akhir 2008 pertama
kasus rabies di
Bali pada hewan dan manusia. Pada tahun akhir
tahun 2010 dimulai program pengendalian dan penanggulangan rabies dengan vaksinasi massal oleh Direktorat jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan, Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provisi Bali dan FAO. Setelah dilaksanakan vaksinasi rabies secara
massal dan serempak, dalam kurun waktu tiga tahun (2010 – 2013) telah terjadi penurunan kasus pada
manusia sebanyak 99% dan pada anjing sebanyak 90%. Kurun waktu 2014 - 2015 kasus rabies pada manusia dan hewan kembali meningkat, pada tahun 2015 terdapat 15 kasus pada manusia dan
529 kasus pada
anjing.
Peningkatan kasus ini diduga karena kekebalan kelompok yang tidak kuat
sehingga anjing dengan titer antibodi rendah mudah tertular rabies dari anjing-anjing
yang terinfeksi.
Vaksinasi massal yang dilakukan di pulau Bali
telah menghasilkan penurunan kasus pada hewan dan manusia secara signifikan
dari tahun 2011 – 2014. Apabila
dibandingkan dengan program vaksinasi massal di Mexico, penurunan kasus di
Indonesia bisa dicapai dalam waktu 3 tahun sedangkan di Mexico memerlukan waktu
lebih lama yaitu selama 30 tahun. Hal
ini menunjukan program vaksinasi massal di Bali berhasil untuk menurunkan
secara cepat jumlah kasus pada hewan maupun pada manusia.
Dari data bulanan, terlihat terdapat trend penurunan kasus Rabies pada hewan
HPR telah terjadi dari juli 2015 sampai dengan November 2017. Pada bulan Juni 2015 terdapat 92 kasus, lalu
menurun pada bulan Desember 2015 menjadi 35 kasus. Kemudian pada tahun 2016
terjadi penurunan lagi sehingga bulan Desember 2016 menjadi 9 kasus. Dan data terakhir pada bulan November 2017
tinggal 5 kasus.
1.
Vaksinasi Massal di seluruh Bali merupakan strategi yang sangat penting dan sangat efektif untuk
memperoleh kekebalan kelompok. Strategi metoda ini dapat meningkatkan kekebalan
kelompok sehingga dapat mencegah infeksi rabies baru dari anjing-anjing yang
sudah tertular. Hasilnya
sangat efektif untuk
menurunkan kasus rabies di wilayah yang sudah tertular.
2.
Eleminasi anjing
secara acak atau tidak tertarget akan menimbulkan hewan yang sudah divaksin dan
kebal ikut tereleminasi sehingga akan mengakibatkan
bertambahnya persentase hewan rentan. Berkurangnya
anjing akibat eleminasi di suatu tempat akan memacu perpindahan anjing yang belum divaksin dari tempat lain ke tempat
tersebut. Hal ini akan menurunkan
kekebalan kelompok.
3.
Vaksinasi tertarget anjing luar rumah dampaknya kecil
sehingga sumberdaya lebih baik diprioritaskan untuk kegiatan-kegiatan yang mendukung program vaksinasi massal
untuk mencapai cakupan >70% populasi
yang berhasil divaksin.
4.
Vaksinasi tertarget untuk anak anjing akan
efektif apabila
dilakukan sepanjang tahun dan dikombinasikan dengan vaksinasi massal yang serempak.
5.
Vaksinasi Sweeping di area yang cakupannya rendah berpotensi efektif apabila dilakukan segera setelah
vaksinasi massal; dan bermanfaat hanya bila kegiatan ini mentarget anjing-anjing
yang belum divaksin dengan penandaan yang baik.
6.
Vaksinasi darurat
berpotensi
efektif apabila dilaksanakan dengan cepat setelah konfirmasi kasus (< 10 hari), dan dilaksanakan di desa kasus dan desa-desa
sekitarnya. Untuk hal ini diperlukan TAKGIT yang efektif dan mampu mendeteksi
kasus dengan baik.
7.
Keterlambatan logistik yang
terjadi pada tahun 2012 tidak memberikan dampak yang besar terhadap program pemberantasan, namun telah memperlambat
pencapaian pembebasan sekitar 6 bulan.
8.
Penggunaan vaksin baru pada tahun 2014 tidak efektif
menimbulkan kekebalan kelompok yang berdampak
peningkatan kasus
rabies pada hewan 10 kali lipat sehingga pencapaian pembebasan
mundur, dan meningkatnya kasus pada manusia.
VI. ANALIS KEBIJAKAN
1. Hewan
Penular Rabies Utama
a.
Dari kenyataan
yang ada tampak bahwa anjing merupakan hewan utama tertular rabies (98%) dan
seluruh kematian manusia di Bali berkaitan dengan gigitan anjing. Untuk siklus rabies domestik, anjing telah
diketahui secara luas sebagai maintenance host utama dalam siklus
penularan rabies.
b.
Sementara untuk
rabies sylvatic pelestari siklus penularan rabies kucing sebagai maintenance
host mungkin saja terjadi dalam mata rantai yang relatif pendek, karena
kucing diketahui sebagai hewan yang bersifat soliter.
c.
Sedangkan sapi,
kambing dan babi, termasuk juga manusia tidak dapat bertindak sebagai maintenance
host, yang lazim disebut sebagai spill over host.
2. Faktor Predisposiosi
Beberapa
fakta di lapangan bahwa hubungan manusia dan anjing menjadi faktor resiko yang
ikut berperan dalam penularan rabies, melalui kebiasaan-kebiasan sebagai
berikut:
3. Status Vaksinasi
Vaksinasi massal merupakan metode untuk
pengendalian rabies telah dikenal sejak tahun 1920-an (Knobel et al., 2007).
Lembo et al. (2010) dan Wunner dan Briggs (2010) menyebutkan vaksinasi rabies
menjadi pendekatan yang paling efektif dalam pengendalian rabies baik pada
hewan maupun manusia. Program vaksinasi massal di seluruh Bali
merupakan strategi yang sangat penting dalam pengendalian dan penanggulangan rabies
di Bali karena program ini sangat efektif dalam
memperoleh kekebalan kelompok.
Vaksinasi berkorelasi sangat kuat dengan
kejadian rabies pada anjing di Bali, anjing yang tidak divaksin beresiko
terinfeksi rabies 19,13 kali lebih besar dibandingkan dengan anjing yang
divaksinasi rabies (Dibia et al., 2015).
Data ini sejalan dengan kajian yang dilakukan
di Kabupaten Agam, Provinsi Sumbar (Kamil et al. 2004) yang melaporkan bahwa
risiko infeksi rabies meningkat 121 kali pada anjing yang tidak divaksinasi.
Antibodi berperan penting dalam pencegahan
terhadap infeksi rabies. Menurut Moore dan Hanlon (2010), antibodi yang
terbentuk akibat vaksinasi rabies sangat efektif dalam mencegah infeksi karena
vaksin rabies mampu menstimulasi antibodi netralisasi pada level yang tinggi.
Sementara Brown et al. (2011) melaporkan bahwa titer antibodi tidak secara
langsung berkorelasi dengan proteksi karena faktor-faktor immunologik lain juga
berperan dalam pencegahan rabies.
Faizah et al. (2012) membuktikan bahwa vaksin
yang digunakan dalam pengendalian rabies di Bali adalah efektif membentuk
kekebalan humoral maupun seluler dengan durasi kekebalan protektif (≥ 0,5 IU)
sampai 5 bulan pasca vaksinasi. Sementara Dartini et al. (2012) melaporkan
hasil kajian vaksinasi dalam kondisi lapangan dengan jenis vaksin yang sama
memiliki durasi kekebalan protektif sampai 9 bulan pasca vaksinasi.
4. Kontak dengan anjing lain
Rabies pada umumnya ditularkan oleh hewan
penderita ke hewan lain melalui gigitan atau luka yang terkontaminasi virus
(Carroll et al., 2010; Brown et al., 2011; Malerczyk et al., 2011). Muller et
al. (2009) dan Yousaf et al. (2012) melaporkan bahwa 99% kematian manusia di
dunia akibat rabies juga berkaitan dengan gigitan anjing. Sementara Susilawathi et al. (2012)
melaporkan bahwa 92% korban meninggal dunia akibat rabies di Bali telah
dikonfirmasi memiliki riwayat digigit anjing.
Secara teoritis, penularan rabies yang tidak melalui luka gigitan dapat
terjadi, namun sangat jarang. Penularan melalui transplantasi organ dari donor
terinfeksi virus rabies pernah dilaporkan (Houff et al., 1979; Srinivasan et
al., 2005; Bronnert et al., 2007; Vetter et al., 2011; Simani et al., 2012).
Sementara kejadian penularan lewat aerosol
mungkin dapat terjadi bila konsentrasi virus di udara sangat tinggi, seperti
yang terjadi pada goa kelelawar tertular (Fenner et al., 1993; Gibbons, 2002;
Johnson et al., 2006) atau pada pekerja di laboratorium yang menangani virus
rabies (Johnson et al., 2006; Consales dan Bolzan, 2007).
5. Kondisi fisik anjing
Faktor kondisi fisik anjing berasosiasi
terhadap kejadian kasus rabies, anjing dengan kondisi yang kurang terawat
beresiko terinfeksi rabies 3,02 kali lebih besar dibandingkan anjing yang
memiliki kondisi tubuh yang prima (I Nyoman Dibia et al., 2015). Tubuh memiliki
sistem imun yang bersifat non spesifik (innate immunity) maupun spesifik
(adaptive immunity) untuk mencegah dan menyembuhkan penyakit infeksi (Fenner et
al., 1993; Abbas et al., 2007; Lafon, 2007). Mekanisme pertahanan oleh imunitas
tubuh merupakan sistem tubuh yang komplek dan saling berhubungan, karena
beragamnya komponen yang ikut berinteraksi. Secara umum dapat dikatakan bahwa
kondisi anjing dengan gizi yang cukup dan terawat dengan baik akan dapat memacu
komponen sistem imun berkembang dengan sempurna sehingga dapat berfungsi secara
optimal. Ketika sistem kekebalan tubuh bekerja dengan baik, maka tubuh akan
terlindungi dan terhindar dari infeksi.
Kekurangan gizi yang serius akan mengganggu
respon imun dan produksi antibodi.
Macpherson et al. (2000) menyebutkan bahwa faktor nutrisi anjing dapat
menyebabkan rendahnya respon imun.Hal serupa dinyatakan pula oleh Murphy et al.
(2007) bahwa hewan dengan defisiensi protein atau defisiensi asam amino
tertentu menyebabkan hewan tersebut peka terhadap infeksi virus.
Anjing yang mengalami defisiensi nutrisi dan
tidak terawat dengan baik merupakan kondisi umum pada anjing di Bali yang
dipelihara secara dilepas. Anjing-anjing tersebut diberi makan oleh pemilik
seadanya, bahkan mencari pakan sendiri pada tempat-tempat umum seperti pasar
atau di tempat pengumpulan sampah.
6.
Jumlah Anjing yang Dipelihara
Jumlah kepemilikan anjing mempunyai korelasi
yang kuat terhadap kejadian penyakit rabies di Bali, dimana anjing yang
dipelihara oleh pemilik yang memelihara anjing lebih dari satu mempunyai risiko
2,96 kali lebih besar terjangkit rabies dari pada anjing yang dipelihara oleh
pemilik yang memelihara hanya satu anjing (Dibia et al, 2015).
Keadaan ini mengindikasikan bahwa pemilik yang
memelihara hanya satu anjing memiliki kesempatan dan perhatian yang lebih
banyak terhadap kesehatan anjing peliharaannya.
Berdasarkan kondisi sosial budaya masyarakat
di Bali diyakini bahwa pemilik yang memelihara
hanya satu anjing akan berupaya mencegah anjingnya tertular
rabies dibandingkan dengan pemilik yang memelihara anjing lebih dari satu.
Data ini senada dengan hasil penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Kamil et al.(2004) yang menyatakan bahwa
kejadian rabies di Kabupaten Agam, Sumatera Barat berkorelasi dengan jumlah
kepemilikan anjing. Pemilik yang
memelihara anjing 2 ekor atau kurang mempunyai kemungkinan 0,23 kali lebih
kecil anjingnya terjangkit rabies dari pada yang memelihara lebih dari 2 ekor.
Tanggung jawab pemilik anjing adalah salah
satu komponen penting dalam pencegahan dan pengendalian rabies pada anjing
(Brown et al., 2011).
Untuk meningkatkan pengetahuan, dan pemahaman
masyarakat tentang bahaya rabies perlu dilaksanakan komunikasi, informasi dan
edukasi (KIE) secara intensif (Yousaf et al., 2012).
Kegiatan KIE ini diharapkan dapat merubah
perilaku masyarakat supaya bertanggung jawab terhadap anjing pemeliharaannya,
sehingga dapat menciptakan dukungan masarakat yang kondusif dalam pelaksanaan
program pemberantasan yang dicanangkan pemerintah.
7. Pemeriksaan kesehatan anjing
Pemeriksaan kesehatan anjing berhubungan erat
dengan kejadian rabies di Bali, anjing yang tidak diperiksa kesehatannya
berisiko 2,4 kali lebih besar tertular rabies dibandingkan dengan anjing yang
diperiksa kesehatannya (Dibia et al., 2015).
Pemilik anjing yang bertanggung jawab menjaga
kesehatan anjingnya biasanya memeriksakan anjingnya ke dokter hewan atau
petugas kesehatan hewan. Menurut Brown
et al. (2011), salah satu komponen penting dalam pencegahan dan pengendalian
rabies adalah melakukan pemeriksaan rutin kesehatan anjing.
Sesuai dengan prinsip pengabdian bahwa dokter
hewan Indonesia wajib meningkatkan profesionalisme untuk mensejahterakan umat
manusia melalui pengelolaan hewan (Manusya Mriga Satwa Sewaka).
Seorang dokter hewan praktisi dengan
pengetahuan, pemahaman dan pengalaman yang dimiliki akan memberikan KIE
(Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) kepada pemilik anjing tentang pentingnya
menjaga kesehatan anjing peliharaannya (Mahmud, 2009; Yousaf et al., 2012)
termasuk melakukan vaksinasi untuk mencegah infeksi rabies. Hal ini selaras
dengan OIE Guidance (2009), yang menyebutkan bahwa seorang dokter hewan
praktisi di daerah tertular memiliki kompetensi dan secara aktif terlibat dalam
pengendalian rabies melalui program kesehatan anjing dan pengendalian populasi
yaitu vaksinasi rabies dan sterilisasi HPR.
8.
Penularan Rabies dengan Pendekatan
Ekosistem
Kelompok anjing rumahan umumnya adalah anjing
ras atau hasil persilangannya. Mayoritas
dari anjing dalam kelompok ini telah tervaksinasi rabies sehingga kelompok ini
memiliki herd immunity yang diduga melebihi 70%. Semua anjing yang ditemukan menderita rabies,
dalam kelompok ini, tidak memiliki riwayat vaksinasi rabies.
Kelompok anjing lepasan sulit dipegang dan
ditangkap untuk divaksinasi lewat suntikan, sehingga herd immunity untuk
kelompok ini diperkirakan baru mencapai sekitar 40-55% atau bahkan lebih
rendah. Karena masih banyaknya populasi
anjing peka dan tingkat kontak antar anjing sangat intens pada kelompok anjing
ini, maka proses penularan rabies masih berlangsung seperti ditunjukkan oleh tingginya
kasus rabies yaitu mencapai 81% dari jumlah total kasus rabies pada anjing.
Masyarakat Bali umumnya memelihara anjing
secara dilepas, pemilik anjing menyediakan makanan seadanya dan umumnya anjing
mencari makan di luar rumah. Sangat umum
diketahui bahwa anjing aktif mencari makan di sekitar pasar, tempat sampah,
tempat ibadah Hindu dan di tempat-tempat
umum lainnya yang tersedia makanan. Sisa-sisa upacara keagamaan banyak dijumpai
di tempat sampah yang masih dapat dimanfaatkan oleh anjing kampung.
VII. KESIMPULAN
1.
Kasus Rabies sebagian besar terjadi
di kabupaten dengan populasi HPR tinggi yaitu Karangasem, Gianyar
dan Jembrana.
Hal ini menunjukkan terdapat banyak anjing rentan di tiga
kabupaten tersebut.
2.
Cakupan vaksinasi lebih
dari 70% dengan menggunakan vaksin berkualitas terbukti bisa menurunkan penularan rabies. Sebaliknya apabila vaksin yang
digunakan berpotensi rendah dan cakupan vaksinasi rendah
tidak akan menimbulkan penurunan penularan
rabies.
3.
Sebagian besar kasus ditemukan pada anak anjing yang
belum banyak menjadi target vaksinasi. Sehingga perlu dilakukan usaha :
a. Cakupan vaksinasi pada
anak anjing harus ditingkatkan.
b. Sepanjang tahun anak
anjing harus divaksinasi untuk mempertahankan kekebalan kelompok dan mengurangi
kasus rabies.
4.
Dilaksanakan KIE
kepada pemilik anjing yang bertanggungjawab.
5.
Eliminasi anjing-anjing
tertarget yang terkait dengan peningkatan kasus rabies.
6.
Analisa kasus rabies menunjukan pentingnya respon
darurat berupa vaksinasi di daerah
kasus positif secara cepat dan luasannya mencakup desa disekitarnya.
7.
TAKGIT akan meningkatkan deteksi
kasus rabies di lapangan. TAKGIT harus
ditingkatkan, khususnya pada saat kasus sudah rendah.
Dengan tingginya
deteksi kasus menggunakan TAKGIT sangat
efektif untuk verifikasi status bebas setelah 2 tahun tanpa kasus.
VIII. SARAN-SARAN
1.
Agar dapat memperoleh kekebalan jangka
panjang maka harus menggunakan vaksin rabies yang bermutu baik yang sudah teregistrasi
dengan dosis
tunggal.
2.
Perlu adanya perencanaan untuk memastikan
tersedianya vaksin bermutu tinggi selama program. Vaksinasi harus tetap
dilakukan selama dua tahun setelah kasus akhir terdeteksi untuk memastikan rabies tidak muncul kembali.
3.
Program vaksinasi massal yang dilakukan setiap
tahun di semua desa harus mencapai cakupan > 70%.
a. Anjing yang divaksinasi harus diberi penandaan (kalung) untuk survei
pasca-vaksinasi, sehingga dapat digunakan
untuk mengidentifikasi daerah dengan cakupan masih
rendah.
b. Jumlah anjing yang divaksinasi harus dibandingkan dengan vaksinasi massal sebelumnya.
4.
Vaksinasi tambahan harus
dilakukan dengan target anjing yang belum divaksinasi (tanpa kalung) pada saat vaksinasi
massal dan anak anjing lahir setelah vaksinasi massal.
5.
Manajemen populasi
anjing harus diterapkan untuk mendorong
kepemilikan anjing yang bertanggung jawab dengan fokus pada vaksinasi anjing,
khususnya anak anjing untuk mempertahankan cakupan vaksinasi tetap tinggi.
6.
Sumberdaya harus
dialokasikan untuk vaksinasi dan bukan untuk eliminasi. Anjing yang telah
dieliminasi pada awal wabah akan terisi kembali oleh anjing yang lebih rentan.
7.
Pemeriksaan dan validasi
data harus dilakukan terhadap laporan, khususnya untuk menilai pelaporan penggunaan vaksin
dan pelaporan kegiatan eliminasi (over-reporting vs underreporting).
8.
Surveilans yang ditargetkan melalui TAKGIT merupakan metode yang efektif dan
sensitif untuk meningkatkan deteksi kasus. Surveilans rutin di Bali baru mendeteksi sebagian
kecil kasus yang ada. Sampling anjing secara random bukan merupakan cara yang
efisien untuk mendeteksi rabies.
9.
Mengoptimalkan TAKGIT untuk meningkatkan deteksi
kasus. Tindak lanjut dari adanya laporan kasus gigitan berisiko tinggi harus
mendeteksi 20-40% anjing suspek rabies dan pengambilan sampel pada saat
penyidikan setidaknya harus melipatgandakan jumlah kasus yang dikonfirmasi
dibandingkan dengan surveilans rutin.
Vaksinasi darurat
harus berdasarkan TAKGIT harus dilaksanakan dengan cepat (< 10 hari sejak deteksi kasus), dan mencakup radius yang
lebih besar, misalnya di dalam radius 10 km dari kasus yang terdeteksi.
Kampanye vaksinasi
massal di seluruh pulau Bali harus tetap dilakukan setiap tahun setidaknya
selama dua tahun setelah deteksi kasus terakhir, dan diperkuat dengan Takgit
untuk memverifikasi tidak adanya kasus.
X.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Faizah, Astawa, I
N.M., Putra, A.A.G., Suwarno.(2012). The humoral immunity response of dog
vaccinated with oral SAG2 and parenteral Rabisin and Rabivet Supra 92. Indo J
Biomed Sci6(1): 26-29.
2.
I Nyoman Dibia,
Bambang Sumiarto, Heru Susetya, Anak Agung Gde Putra, Helen Scott-Orr . Analisis faktor risiko kasus rabies pada
anjing di Bali. Buletin Veteriner, BBVet
Denpasar, Vol. XXVII, No. 86, Juni 2015.
3.
Knobel, D.L.,
Cleaveland, S., Coleman, P.G., Fevre, E.M., Meltzer, M.I., Miranda, M.E.G.,
Shaw, A., Zinsstag, J., Meslin, F.(2005).Re-evaluating the burden of rabies in
Africa and Asia.Bull WHO 83(5): 360-368.
4.
Kamil, M.,
Sumiarto, B., Budhiarta, S. (2004).Kajian kasus kontrol rabies pada anjing di
Kabupaten Agam, Sumatera Barat.Agrosains 17(3): 313-320.
5.
Knobel, D.L.,
Kaare, M., Fevre, E., Cleaveland, S. (2007). Dog Rabies and its Control.In
Jackson AC, Wunner WH (Ed).Rabies. 2nd ed. USA: Elsevier Inc. Pp 573-594.
6.
Lembo, T.,
Hampson, K., Kaare, M.T., Ernest, E., Knobel, D., Kazwala, R.R., Haydon, D. T.,
Cleaveland, S.(2010). The Feasibility of Canine Rabies Elimination in Africa:
Dispelling Doubts with Data. PloS Negl Trop Dis4(2): e626.
doi:10.1371/journal.pntd.0000626.
7.
Mahmud, A.
(2009). Proud to be a vet. Jakarta: Gita Pustaka.
8.
Moore, S.M.,
Hanlon, C.A.(2010). Rabies-Specific Antibodies: Measuring Surrogates of
Protection against a Fatal Disease. PLoS Negl Trop Dis 4(3): e595.
doi:10.1371/journal.pntd.0000595.
9.
Wunner, W.H.,
Briggs, D.J.(2010). Rabies in the 21st century.Plos Negl Trop Dis 4(3): e591.
doi 10.1371/journal.pntd.000591.
10. Yousaf, M.Z., Ashfaq, U.A., Zia, S., Khan,
M.R., Khan, S.(2012). Rabies moleculer virology, diagnosis, prevention and
treatment.Virol J9(50): doi.10.1186/1743-422X-9-50.