Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Thursday, 24 June 2010

Peran BBPMSOH dalam Peningkatan Ekspor Obat Hewan Indonesia

Untuk menjamin mutu obat hewan yang beredar dalam masyarakat dan memudahkan dalam pengawasannya, maka obat hewan yang akan diproduksi dan diedarkan harus didaftar dan diuji mutunya. Sehingga semua obat hewan yang akan diedarkan di dalam wilayah Republik Indonesia harus mendapatkan nomor pendaftaran.


Untuk mendapatkan nomor pendaftaran semua obat hewan yang akan diedarkan harus memenuhi persyaratan minimal pengujian mutu obat hewan. Pengujian mutu obat hewan dilakukan di Balai Besar Pengujian Mutu Obat Hewan (BBPMSOH), Gunungsindur, Bogor. BBPMSOH oleh negara lain dikenal sebagai National Veterinary Drug Assay Laboratory disingkat NVDAL. BBPMSOH adalah satu-satunya laboratorium di Indonesia yang mempunyai wewenang melakukan pengujian mutu dan sertifikasi obat hewan.


Kegiatan pengujian mutu obat hewan tersebut dilaksanakan di BBPMSOH sesuai dengan SK. Menteri Pertanian nomor 328/Kpts/TN.260/4/1985 tentang Pengoperasian Laboratorium Pengujian Obat Hewan di Gunung sindur, Bogor.


Wewenang BBPMSOH melakukan pengujian mutu obat hewan dan penerbitan sertifikat hasil pengujian mutu obat hewan yang telah memenuhi persyaratan mutu baik obat hewan yang diedarkan di dalam negeri maupun untuk dijual keluar negeri. Sertifikat hasil pengujian ini sangat dibutuhkan dalam rangka penjaminan mutu obat hewan Indonesia yang akan ekspor ke manca negara.


Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) adalah satu-satunya institusi pemerintah Indonesia yang mempunyai wewenang melakukan pengujian mutu dan sertifikasi obat hewan yang beredar di Indonesia. BBPMSOH merupakan salah satu unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.


BBPMSOH telah ditunjuk sebagai focal point untuk vaksin hewan di tingkat ASEAN sejak tahun 1993. Sebagai lembaga pengujian mutu obat hewan, BBPMSOH telah diakreditasi di tingkat nasional sejak Juni 1998 dan tingkat ASEAN sejak Agustus 2002. Maka dari itu, pada saat ini peran BBPMSOH semakin penting dalam percaturan jaminan mutu obat hewan di kawasan Asia Tenggara.


Dalam rangka pengendalian penyakit hewan di Indonesia BBPMSOH berperan penting dalam memberikan jaminan mutu obat hewan yang beredar di Indonesia. Selama 6 tahun terakhir setiap tahunnya BBPMSOH telah menerbitkan sekitar 430 sertifikat hasil pengujian mutu obat hewan. Pada tahun 2004 diterbitkan sebanyak 457 sertifikat, tahun 2005 sebanyak 402 sertifikat dan tahun 2006 sebanyak 414 sertifikat. Sedangkan pada tahun 2007, 2008 dan 2009 diterbitkan masing-masing sebanyak 441, 445 dan 410 sertifikat.


Pada program pencapaian swasembada daging sapi di Indonesia, BBPMSOH berperan penting dalam memberikan jaminan mutu obat hewan yang digunakan baik untuk pencegahan dan pengobatan penyakit hewan maupun untuk peningkatan produktifitas ternak secara umum termasuk sapi.


Pada era perdagangan bebas dan seiring pesatnya perkembangan teknologi obat hewan, BBPMSOH berperan penting dalam memberikan jaminan mutu obat hewan yang akan diekspor ke luar negeri. BBPMSOH juga berperan dalam pembinaan teknis kepada produsen obat hewan untuk meningkatkan jaminan mutu obat hewan produksi dalam negeri. Jaminan mutu obat hewan tersebut sangat diperlukan dalam rangka peningkatan ekspor obat hewan Indonesia ke manca negara.


Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, nilai ekspor obat hewan Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan untuk produk faramsetik, biologik dan premiks dimana sampai dengan saat ini Indonesia telah berhasil mengekspor obat hewan ke 77 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika. Ekspor obat hewan tahun 2009 telah mencapai US$ 842.711.370 atau setara 7,6 trilyun rupiah. Perkembangan 5 tahun terakhir volume dan nilai ekspor obat hewan yang berupa produk Farmasetik, biologik dan premik dapat dilihat pada Tabel berikut.


Sebagai dasar hukum untuk mendukung program kegiatan dalam peningkatan mutu obat hewan, Pemerintah cq Menteri Pertanian melalui keputusannya yaitu Keputusan Menteri Pertanian no. 466/Kpts/TN.260/V/1999 tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik serta Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan no.247/Kpts/DJP/Deptan/199 tentang Petunjuk Operasional Penerapan Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik.

Keputusan ini merupakan aturan sebagai pedoman bagi pemerintah maupun pengusaha di bidang produksi obat hewan baik dalam melakukan pengawasan dan produksi obat hewan. Disamping itu, CPOHB merupakan salah satu rambu pengaman dan sebagai salah satu bentuk sistem pengawasan kualitas secara dini sejak produksi. Dengan menerapkan CPOHB akan diperoleh jaminan mutu obat hewan sehingga diharapkan dapat meningkatkan daya saing obat hewan produk dalam negeri.


Hasil yang telah dicapai dari penerapan CPOHB pada empat tahun terakhit (2005 - 2009) yaitu adanya perkembangan nilai ekspor di Kementerian Pertanian yang cukup signifikan, khususnya di Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan yang berasal dari bahan pangan dan obat hewan. Nilai ekspor didominasi oleh obat hewan dimana obat hewan menjadi primadona ekspor yang mendatangkan devisa Negara yang cukup besar. Hal ini menunjukkan bahwa produk obat hewan Indonesia memiliki kemampuan daya saing yang tinggi sehingga produk tersebut dapat diterima atau diekspor ke negara-negara di dunia meliputi Asia, Afrika, Eropa dan USA.


Peningkatan ekspor obat hewan yang pada Desember 2009 mencapai US$ 842 juta lebih dengan negara tujuan sebanyak 77 negara. Pelaku utama usaha eksportir obat hewan dari Indonesia adalah 7 (tujuh) perusahaan yaitu PT. Cheil Jedang Indonesia, PT. Medion, PT. Vaksindo Satwa Nusantara, PT. Trow Nutrition Indonesia, PT. Kalbe Farma, PT. Pfizer Indonesia dan PT. Surya Hidup Satwa International.



Sumber: Warta Kesehatan Hewan, 2009 dan Leaflet BBPMSOH 2010.

Monday, 14 June 2010

Friday, 4 June 2010

Leptospirosis

Menurut berita terbaru dari Kompas tanggal 3 Juni 2010 menyebutkan bahwa sebanyak 45 warga Bantul, DI Yogyakarta terkena leptospirosis. Lima orang diantaranya meninggal dunia. Berdasarkan data dinas kesehatan kabupaten Bantul, kasus leptospirosis tahun 2009 tercatat 9 kasus, satu orang diantaranya meninggal. Tahun ini penyakit yang ditularkan lewat air kencing tikus tersebut, banyak menyerang warga di Kecamatan .

Klasifikasi ilmiah Leptospira (1)

Filum: Spirochaetes
Kelas: Spirochaeates
Ordo: Spirochaetales
Famili: Leptospiraceae
Genus: Leptospira

Serovar [2]

• Leptospira interogans
• Lepstospira australis
• Leptospira autumnalis
• Leptospira ballum
• Leptospira icterohemorrhagica
• Leptospira canicola
• Leptospira grippotyphosa
• Leptospira pomona

Leptospirosis adalah penyakit akibat bakteri Leptospira sp. yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya (zoonosis)[3]. Leptospirosis dikenal juga dengan nama Penyakit Weil, Demam Icterohemorrhage, Penyakit Swineherd's, Demam pesawah (Ricefield fever), Demam Penebang tebu (Cane-cutter fever), Demam Lumpur, Jaundis berdarah, Penyakit Stuttgart, Demam Canicola [4], penyakit kuning non-virus, penyakit air merah pada anak sapi, dan tifus anjing[3]

Infeksi dalam bentuk subakut tidak begitu memperlihatkan gejala klinis, sedangkan pada infeksi akut ditandai dengan gejala sepsis, radang ginjal interstisial, anemia hemolitik, radang hati dan keguguran. [2]. Leptospirosis pada hewan biasanya subklinis [5]. Dalam keadaan ini, penderita tidak menunjukkan gejala klinis penyakit [5]. Leptospira bertahan dalam waktu yang lama di dalam ginjal hewan sehingga bakteri akan banyak dikeluarkan hewan lewat air kencingnya [5]. Leptospirosis pada hewan dapat terjadi berbulan-bulan sedangkan pada manusia hanya bertahan selama 60 hari[5]. Manusia merupakan induk semang terakhir sehingga penularan antarmanusia jarang terjadi. [5].

Sejarah Penyakit

Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil dengan gejala panas tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa. [6] Penyakit dengan gejala tersebut di atas oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai Weil's Disease. Pada tahun 1915 Inada berhasil membuktikan bahwa "Weil's Disease" disebabkan oleh bakteri Leptospira icterohemorrhagiae. [6]

Etiologi

Bakteri penyebab Leptosirosis yaitu bakteri Leptospira sp. [3][7][5]. Bakteri Leptospira merupakan Spirochaeta aerobik (membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup), motil (dapat bergerak), gram negatif, bentuknya dapat berkerut-kerut, dan terpilin dengan ketat [7]. Bakteri Lepstospira berukuran panjang 6-20 µm dan diameter 0,1-0,2 µm[3]. Sebagai pembanding, ukuran sel darah merah hanya 7 µm [7]. Jadi, ukuran bakteri ini relatif kecil dan panjang sehingga sulit terlihat bila menggunakan mikroskop cahaya dan untuk melihat bakteri ini diperlukan mikroskop dengan teknik kontras [7]. Bakteri ini dapat bergerak maju dan mundur [3].

Leptospira mempunyai ±175 serovar [2], bahkan ada yang mengatakan Leptospira memiliki lebih dari 200 serovar [7]. Infeksi dapat disebabkan oleh satu atau lebih serovar sekaligus [2]. Bila infeksi terjadi, maka pada tubuh penderita dalam waktu 6-12 hari akan terbentuk zat kebal aglutinasi [3]. Leptospirosis pada anjing disebabkan oleh infeksi satu atau lebih serovar dari Leptospira interrogans [2]. Serovar yang telah diketahui dapat menyerang anjing yaitu L. australis, L. autumnalis, L. ballum, L. batislava, L. canicola, L. grippotyphosa, L. hardjo, L. ichterohemorarhagica, L. pomona, dan L. tarassovi [2][5]. Pada anjing, telah tersedia vaksin terhadap Leptospira yang mengandung biakan serovar L. canicola dan L. icterohemorrhagica yang telah dimatikan [2]. Serovar yang dapat menyerang sapi yaitu L. pamona dan L. gryptosa[5]. Serovar yang diketahui terdapat pada kucing adalah L. bratislava, L. canicola, L. gryppothyphosa, dan L. pomona [2]. Babi dapat terserang L. pamona dan L. interogans, sedangkan tikus dapat terserang L. ballum dan L. ichterohaemorhagicae [5].

Bila terkena bahan kimia atau dimakan oleh fagosit, bakteri dapat kolaps menjadi bola berbentuk kubah dan tipis [7]. Pada kondisi ini, Leptospira tidak memiliki aktifitas patogenik [7]. Leptospira dapat hidup dalam waktu lama di air, tanah yang lembab, tanaman dan lumpur [8].

Distribusi Penyakit

Leptospirosis terjadi di seluruh dunia,[9] [8] baik di daerah pedesaan maupun perkotaan, di daerah tropis maupun subtropis [9]. Penyakit ini terutama beresiko terhadap orang yang bekerja di luar ruangan bersama hewan, misalnya peternak, petani, penjahit, dokter hewan, dan personel militer [9]. Selain itu, Leptospirosis juga beresiko terhadap individu yang terpapar air yang terkontaminasi [6][9]. Di daerah endemis, puncak kejadian Leptospirosis terutama terjadi pada saat musim hujan dan banjir [9].

Iklim yang sesuai untuk perkembangan Leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang basah dan pH alkalis, kondisi ini banyak ditemukan di negara beriklim tropis [6]. Oleh sebab itu, kasus Leptospirosis 1000 kali lebih banyak ditemukan di negara beriklim tropis dibandingkan dengan negara subtropis dengan risiko penyakit yang lebih berat [10]. Angka kejadian Leptospirosis di negara tropis basah 5-20/100.000 penduduk per tahun [11]. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Oraganization/WHO) mencatat, kasus Leptospirosis di daerah beriklim subtropis diperkirakan berjumlah 0.1-1 per 100.000 orang setiap tahun, sedangkan di daerah beriklim tropis kasus ini meningkat menjadi lebih dari 10 per 100.000 orang setiap tahun [9]. Pada saat wabah, sebanyak lebih dari 100 orang dari kelompok berisiko tinggi di antara 100.000 orang dapat terinfeksi [9].

Di Indonesia, Leptospirosis tersebar antara lain di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat [12]. Angka kematian Leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,5-16,45 persen [12]. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian mencapai 56 persen [12]. Di beberapa publikasi angka kematian dilaporkan antara 3 % - 54 % persen tergantung sistem organ yang terinfeksi [13].

Cara Penularan

Urin tikus merupakan sumber penularan Leptospirosis. Leptospirosis merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui air (water borne disease)[9][3]. Urin (air kencing) dari individu yang terserang penyakit ini merupakan sumber utama penularan, baik pada manusia maupun pada hewan [5]. Kemampuan Leptospira untuk bergerak dengan cepat dalam air menjadi salah satu faktor penentu utama ia dapat menginfeksi induk semang (host) yang baru [7]. Hujan deras akan membantu penyebaran penyakit ini, terutama di daerah banjir [8]. Gerakan bakteri memang tidak mempengaruhi kemampuannya untuk memasuki jaringan tubuh namun mendukung proses invasi dan penyebaran di dalam aliran darah induk semang [7].

Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir [14] [15]. Keadaan banjir menyebabkan adanya perubahan lingkungan seperti banyaknya genangan air, lingkungan menjadi becek, berlumpur, serta banyak timbunan sampah yang menyebabkan mudahnya bakteri Leptospira berkembang biak [15]. Air kencing tikus terbawa banjir kemudian masuk ke tubuh manusia melalui permukaan kulit yang terluka, selaput lendir mata dan hidung. [14]. Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama Leptospirosis [14] karena bertindak sebagai inang alami dan memiliki daya reproduksi tinggi [16]. Beberapa hewan lain seperti sapi, kambing, domba, kuda, babi, anjing dapat terserang Leptospirosis, tetapi potensi menularkan ke manusia tidak sebesar tikus [14].

Bentuk penularan Leptospira dapat terjadi secara langsung dari penderita ke penderita dan tidak langsung melalui suatu media [3][5]. Penularan langsung terjadi melalui kontak dengan selaput lendir (mukosa) mata (konjungtiva) [5], kontak luka di kulit, mulut, cairan urin [9], kontak seksual dan cairan abortus (gugur kandungan) [3]. Penularan dari manusia ke manusia jarang terjadi [9].

Penularan tidak langsung terjadi melalui kontak hewan atau manusia dengan barang-barang yang telah tercemar urin penderita, misalnya alas kandang hewan, tanah, makanan, minuman dan jaringan tubuh[5]. Kejadian Leptospirosis pada manusia banyak ditemukan pada pekerja pembersih selokan karena selokan banyak tercemar bakteri Leptospira[5]. Umumnya penularan lewat mulut dan tenggorokan sedikit ditemukan karena bakteri tidak tahan terhadap lingkungan asam [5].

Perjalanan Penyakit

Setelah bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, maka bakteri akan mengalami multiplikasi (perbanyakan) di dalam darah dan jaringan [14]. Selanjutnya akan terjadi leptospiremia, yakni penimbunan bakteri Leptospira di dalam darah sehingga bakteri akan menyebar ke berbagai jaringan tubuh terutama ginjal dan hati [5].

Di ginjal kuman akan migrasi ke interstitium, tubulus renal, dan tubular lumen menyebabkan nefritis interstitial (radang ginjal interstitial) dan nekrosis tubular (kematian tubuli ginjal) [5]. Gagal ginjal biasanya terjadi karena kerusakan tubulus, hipovolemia karena dehidrasi dan peningkatan permeabilitas kapiler [14]. Gangguan hati berupa nekrosis sentrilobular dengan proliferasi sel Kupffer [14]. Pada konsisi ini akan terjadi perbanyakan sel Kupffer dalam hati [5]. Leptospira juga dapat menginvasi otot skeletal menyebabkan edema, vakuolisasi miofibril, dan nekrosis fokal [14]. Gangguan sirkulasi mikro muskular dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia sirkulasi [14].

Pada kasus berat akan menyebabkan kerusakan endotelium kapiler dan radang pada pembuluh darah [5]. Leptospira juga dapat menginvasi akuos humor mata dan menetap dalam beberapa bulan, sering mengakibatkan uveitis kronis dan berulang [14]. Setelah infeksi menyerang seekor hewan, meskipun hewan tersebut telah sembuh, biasaya dalam tubuhnya akan tetap menyimpan bakteri Leptospira di dalam ginjal atau organ reproduksinya untuk dikeluarkan dalam urin selama beberapa bulan bahkan tahun[5].

Gejala Klinis
1. Pada hewan

Pada hewan, Leptospirosis kadangkala tidak menunjukkan gejala klinis (bersifat subklinis), dalam arti hewan akan tetap terlihat sehat walaupun sebenarnya dia sudah terserang Leptospirosis [5]. Kucing yang terinfeksi biasanya tidak menunjukkan gejala walaupun ia mampu menyebarkan bakteri ini ke lingkungan untuk jangka waktu yang tidak pasti [2].
Gejala klinis yang dapat tampak yaitu ikterus atau jaundis, yakni warna kekuningan, karena pecahnya butir darah merah (eritrosit) sehingga ada hemoglobin dalam urin [3]. Gejala ini terjadi pada 50 persen kasus, terutama jika penyababnya L. pomona [3]. Gejala lain yaitu demam, tidak nafsu makan, depresi, nyeri pada bagian-bagian tubuh [3], gagal ginjal, gangguan kesuburan, dan kadang kematian [5]. Apabila penyakit ini menyerang ginjal atau hati secara akut maka gejala yang timbul yaitu radang mukosa mata (konjungtivitis), radang hidung (rhinitis), radang tonsil (tonsillitis), batuk dan sesak nafas [2].

Pada babi muncul gejala kelainan saraf, seperti berjalan kaku dan berputar-putar [3]. Pada anjing yang sembuh dari infeksi akut kadangkala tetap mengalami radang ginjal interstitial kronis atau radang hati (hepatitis) kronis [2]. Dalam keadaan demikian gejala yang muncul yaitu penimbunan cairan di abdomen (ascites), banyak minum, banyak urinasi, turun berat badan dan gejala saraf[2]. Pada sapi, infeksi Leptospirosis lebih parah dan lebih banyak terjadi pada pedet dibandingkan sapi dewasa dengan gejala demam, jaundis, anemia, warna telinga maupun hidung yang menjadi hitam, dan kematian (Bovine Leptospirosis).[17]. Angka kematian (mortalitas) akibat Leptospirosis pada hewan mencapai 5-15 persen, sedangkan angka kesakitannya (morbiditas) mencapai lebih dari 75 persen [3].

2. Pada Manusia

Pada manusia menyebabkan Jaundis: kulit dan mukosa menjadi kuning. Masa inkubasi Leptospirosis pada manusia yaitu 2 - 26 hari [14]. Infeksi Leptospirosis mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang tanpa gejala, sehingga sering terjadi kesalahan diagnosa [14]. Infeksi L. interrogans dapat berupa infeksi subklinis yang ditandai dengan flu ringan sampai berat [18], Hampir 15-40 persen penderita terpapar infeksi tidak bergejala tetapi serologis positif [14]. Sekitar 90 persen penderita jaundis ringan, sedangkan 5-10 persen jaundis berat yang sering dikenal sebagai penyakit Weil [14]. Perjalanan penyakit Leptospira terdiri dari 2 fase, yaitu fase septisemik dan fase imun [14][5]. Pada periode peralihan fase selama 1-3 hari kondisi penderita membaik [14]. Selain itu ada Sindrom Weil yang merupakan bentuk infeksi Leptospirosis yang berat [14].

Fase Septisemik

Fase Septisemik dikenal sebagai fase awal atau fase leptospiremik karena bakteri dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh [14]. Pada stadium ini, penderita akan mengalami gejala mirip flu selama 4-7 hari, ditandai dengan demam, kedinginan, dan kelemahan otot [5]. Gejala lain adalah sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, nyeri kepala, takut cahaya, gangguan mental, radang selaput otak (meningitis), serta pembesaran limpa dan hati [14].

Fase Imun

Fase Imun sering disebut fase kedua atau leptospirurik karena sirkulasi antibodi dapat dideteksi dengan isolasi kuman dari urin, dan mungkin tidak dapat didapatkan lagi dari darah atau cairan serebrospinalis [14]. Fase ini terjadi pada 0-30 hari akibat respon pertahanan tubuh terhadap infeksi [14]. Gejala tergantung organ tubuh yang terganggu seperti selaput otak, hati, mata atau ginjal [14].

Jika yang diserang adalah selaput otak, maka akan terjadi depresi, kecemasan, dan sakit kepala [5]. Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan jaundis, pembesaran hati (hepatomegali), dan tanda koagulopati [14]. Gangguan paru-paru berupa batuk, batuk darah, dan sulit bernafas.[5] Gangguan hematologi berupa peradarahan dan pembesaran limpa (splenomegali). Kelainan jantung ditandai gagal jantung atau perikarditis [14]. Meningitis aseptik merupakan manifestasi klinis paling penting pada fase imun [14].

Leptospirosis dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah timbul jaundis [5]. Pada 30 persen pasien terjadi diare atau kesulitan buang air besar (konstipasi), muntah, lemah, dan kadang-kadang penurunan nafsu makan [5]. Kadang-kadang terjadi perdarahan di bawah kelopak mata dan gangguan ginjal pada 50 persen pasien, dan gangguan paru-paru pada 20-70 persen pasien [5].

Gejala juga ditentukan oleh serovar yang menginfeksi [14]. Sebanyak 83 persen penderita infeksi L. icterohaemorrhagiae mengalami ikterus, dan 30 persen pada L. pomona [14]. Infeksi L. grippotyphosa umumnya menyebabkan gangguan sistem pencernaan. Sedangkam L. pomona atau L. canicola sering menyebabkan radang selaput otak (meningitis) [14].

Sindrom Weil

Sindrom Weil adalah bentuk Leptospirosis berat ditandai jaundis, disfungsi ginjal, nekrosis hati, disfungsi paru-paru, dan diathesis perdarahan [5]. Kondisi ini terjadi pada akhir fase awal dan meningkat pada fase kedua, tetapi bisa memburuk setiap waktu [14]. Kriteria penyakit Weil tidak dapat didefinisikan dengan baik. Manifestasi paru meliputi batuk, kesulitan bernafas, nyeri dada, batuk darah, dan gagal napas [5]. Disfungsi ginjal dikaitkan dengan timbulnya jaundis 4-9 hari setelah gejala awal [14]. Penderita dengan jaundis berat lebih mudah terkena gagal ginjal, perdarahan dan kolap kardiovaskular. Kasus berat dengan gangguan hati dan ginjal mengakibatkan kematian sebesar 20-40 persen yang akan meningkat pada lanjut usia [14].
Diagnosa

Bakteri Leptospira secara mikroskopis pada jaringan ginjal menggunakan metode pewarnaan perak. Untuk mendiagnosa Leptospirosis, maka hal yang perlu diperhatikan adalah riwayat penyakit, gejala klinis dan diagnosa penunjang [5][19][14]. Sebagai diagnosa penunjang, antara lain dapat dilakukan pemeriksaan urin dan darah [19]. Pemeriksaan urin sangat bermanfaat untuk mendiagnosa Leptospirosis karena bakteri Leptospira terdapat dalam urin sejak awal penyakit dan akan menetap hingga minggu ketiga [19]. Cairan tubuh lainnya yang mengandung Leptospira adalah darah, serebrospinal [19] tetapi rentang peluang untuk isolasi bakteri sangat pendek [14]. Selain itu dapat dilakukan isolasi bakteri Leptospira dari jaringan lunak atau cairan tubuh penderita, misalnya jaringan hati, otot, kulit dan mata. Namun, isolasi Leptospira termasuk sulit dan membutuhkan waktu beberapa bulan [14].

Untuk mengukuhkan diagnosa Leptospirosis biasanya dilakukan pemeriksaan serologis [19]. Antibodi dapat ditemukan di dalam darah pada hari ke-5-7 sesudah adanya gejala klinis [19]. Kultur atau pengamatan bakteri Leptospira di bawah mikroskop berlatar gelap umumnya tidak sensitif [19]. Tes serologis untuk mengkonfirmasi infeksi Leptospirosis yaitu Microscopic agglutination test (MAT) [5]. Tes ini mengukur kemampuan serum darah pasien untuk mengagglutinasi bakteri Leptospira yang hidup [18]. Namun, MAT tidak dapat digunakan secara spesifik pada kasus yang akut, yakni kasus yang terjadi secara cepat dengan gejala klinis yang parah [19]. Selain itu, diagnosa juga dapat dilakukan melalui pengamatan bakteri Leptospira pada spesimen organ yang terinfeksi menggunakan imunofloresen [19].

Pengobatan dan Pengendalian

1. Pada Hewan

Hewan, terutama hewan kesayangan, yang terinfeksi parah perlu diberikan perawatan intensif untuk menjamin kesehatan masyarakat dan mengoptimalkan perawatan [20]. Antibiotik yang dapat diberikan yaitu doksisiklin, enrofloksasin, ciprofloksasin atau kombinasi penisillin-streptomisin [20]. Selain itu diperlukan terapi suportif dengan pemberian antidiare, antimuntah, dan infus [20].

Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan vaksin Leptospira[20][3]. Vaksin Leptospira untuk hewan adalah vaksin inaktif dalam bentuk cair (bakterin) yang sekaligus bertindak sebagai pelarut karena umumnya vaksin Leptospira dikombinasikan dengan vaksin lainnya, misalnya distemper dan hepatitis [3]. Vaksin Leptospira pada anjing yang beredar di Indonesia terdiri atas dua macam serovar yaitu L. canicola dan L. ichterohemorrhagiae[3]. Vaksin Leptospira pada anjing diberikan saat anjing berumur 12 minggu dan diulang saat anjing berumur 14-16 minggu [20]. Sistem kekebalan sesudah vaksinasi bertahan selama 6 bulan, sehingga anjing perlu divaksin lagi setiap enam bulan [20].

2. Pada Manusia

Leptospirosis yang ringan dapat diobati dengan antibiotik doksisiklin, ampisillin, atau amoksisillin. Sedangkan Leptospirosis yang berat dapat diobati dengan penisillin G, ampisillin, amoksisillin dan eritromisin [5].

Manusia rawan oleh infeksi semua serovar Leptospira sehingga manusia harus mewaspadai cemaran urin dari semua hewan [5]. Perilaku hidup sehat dan bersih merupakan cara utama untuk menanggulangi Leptospirosis tanpa biaya [3]. Manusia yang memelihara hewan kesayangan hendaknya selalu membersihkan diri dengan antiseptik setelah kontak dengan hewan kesayangan, kandang, maupun lingkungan dimana hewan berada [5].

Manusia harus mewaspadai tikus sebagai pembawa utama dan alami penyakit ini [6]. Pemberantasan tikus terkait langsung dengan pemberantasan Leptospirosis. [15] Selain itu, para peternak babi dihimbau untuk mengandangkan ternaknya jauh dari sumber air [3]. Feses ternak perlu diarahkan ke suatu sumber khusus sehingga tidak mencemari lingkungan terutama sumber air [3].

Daftar Pustaka
1. Anonymous. (2009). Serological classification and grouping. The Leptospirosis Information Center. Diakses pada 12 April 2010 .

2. Subronto. "1". di dalam Nunung Prajanto (dalam bahasa Indonesia). Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing (edisi ke-1). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hal. 188-192. ISBN 979-420-611-3.

3. Dharmojono. "1" (dalam bahasa Indonesia). Leptospirosis-Antthrax-Mulut dan Kuku-Sapi Gila, Waspadailah Akibatnya! (edisi ke-1). Jakarta: Pustaka Populer Obor. hal. 1-10. ISBN 979-461 397-5.

4. Anonymous. (2008). Penyakit Dewasa Leptospirosis. (Pdf) Bahagian Pendidikan Kesihatan Kemintrian Kesihatan Malaysia. Diakses pada 15 April 2010.

5. Yuliarti, Nurheti. "1". di dalam Agnes Heni Triyuliana (dalam bahasa Indonesia). Hidup Sehat Bersama Hewan Kesayangan (edisi ke-1). Yogyakarta: Andi Offset. hal. 243-250. ISBN 979-763-842-1.

6. Priyanto,, Agus; Soeharyo Hadisaputro, Ludfi Santoso,Hussein Gasem, Sakundarno Adi (2008). [http://eprints.undip.ac.id/6320/1/Agus_Priyanto.pdf Faktor-Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Leptospirosis (Studi Kasus di Kabupaten Demak)]. (PDF) Program Magister Epidemiologi Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Diakses pada 15 April 2010 .

7. Anonymous. (2009). Overview of the leptospira bacterium itself. The Leptospirosis Information Center. Diakses pada 12 April 2010 .

8. Directors of health Promotion and Education Leptospirosis. Directors of health Promotion and Education. Diakses pada 15 April 2010.

9. WHO (2001). Water Related Diseases: Leptospirosis. World Health Organization. Diakses pada 15 April 2010.

10. Hatta M (Maret 2002). "Detection of IgM to Leptospira Agent with ELISA ang Leptodipstick Method". Jurnal Kedokteran dan Kesehatan FK Universitas Tarumanegara 1.

11. Bovet P (1999). "Factor Assosiated with Clinical Leptospirosis, A Population Based Control Study in Seychelles". American Journal Tropical Medicine and Hygiene: 583-590.

12. Widarso HS dan Wilfried (2002). "Kebijaksanaan Departemen Kesehatan dalam Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia". Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis, Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

13. Esen Saban (2004). "Impact of Clinical and Laboratory Findings on Prognosis in Leptospirosis". Swiss Medical Weekly: 347-352.

14. Widodo Judarwanto (Agustus 2009). "Leptospirosis pada Manusia" (PDF) Diakses pada 18 April 2010.

15. Mari Okatini, Rachmadhi Purwana, I Made Djaja (2007 Juni). "Hubungan Faktor Lingkungan dan Karakteristik Individu terhadap Kejadian Penyakit Leptospirosis di Jakarta, 2003-2005." (PDF). Makara, kesehatan 11: 17-24 Diakses pada 17 April 2010.

16. Farida Dwi Handayani dan Ristiyanto. "Rapid assessment Inang Reservoir Leptospirosis di Daerah Pasca Gempa Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah." (PDF) Diakses pada 18 April 2010.

17. Anonymous. Bovine Leptospirosis. (PDF) Texas Agriculture Extension Service. Diakses pada 20 April 2010.

18. A. Ebrahimi, L. Alijani, G R Abdollahpour (June 2003). "Serological Survey of Human Leptospirosis in tribal Areas of West Central Iran" (PDF). IJMS 28 Diakses pada 17 April 2010.

19. Stoddard, Robyn; Sean V. Shadomy Other Infectious Diseases Related to Travel: Leptospirosis. Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada 17 April 2010.

20. Eldredge, Debra M; Eldredge, Liisa D. Carlson, Delbert G. Carlson, James M. Giffin. "1". di dalam Beth Adelman (dalam bahasa English). Dog owner’s Home Veterinary Handbook (edisi ke-4th). Hoboken: Willey Publishing Inc. hal. 66-67, 96. ISBN 978-0-470-06785-7.

Sumber : Wikipedia bahasa Indonesia dan Kompas 3 Juni 2009

Wednesday, 2 June 2010

Kriteria Akreditasi ASEAN untuk Laboratorium Pengujian Mutu Vaksin Hewan

(ASEAN ACCREDITATION CRITERIA FOR ANIMAL VACCINE TESTING LABORATORY)

I. PENDAHULUAN

• Pelanggan Lab membutuhkan kepastian bahwa pengukuran dan uji dilakukan secara akurat dan andal.

• Lab memperoleh level Quality Assurance (QA) seperti ini dengan menerapkan standar dapat diterimam secara internasional atau Nasional.

• Banyak Lab yang melakukan kontrak kerja, karena mereka menerapkan pekerjaan berdasarkan standar yang dapat diterima. Dalam hal ini Obat Hewan (Termasuk Vaksin hewan) persyaratan standar adalah Good Laboratory Practice (GLP).

ASEAN Accreditation Criteria for vaccine testing Laboratory bertujuan untuk
1. Mengharmonisasi kriteria dan prosedur akreditasi Lab sebagai alat untuk technical barrier perdagangan.
2. Merupakan fasilitas Internasional yang dapat diterima data uji dan sertifikatnya bagi Lab yang terakreditasi ASEAN.

II. GEDUNG DAN FASILITAS

Gedung dan fasilitas harus dipisahkan ke dalam :
1. Lab untuk uji vaksin bakteri
2. Lab untuk uji Vaksin virus
3. Kandang hewan percobaan

1. KRITERIA LABORATORIUM

a. Lab untuk uji vaksin bakteri, uji vaksin virus dan persiapan media harus terpisah.

b. Lab harus dirancang untuk dapat melakukan pekerjaan dengan baik.

c. Lab harus mudah dibersihkan, permukaan kedap air dan tahan terhadap kimia.

d. Setiap Lab harus ada safety cabinet kelas I (melindungi operator) dan kelas II (melindungi operator dan produk).

e. Sistem ventilasi safety kabinet harus diperbaiki atau dipelihara secara rutin.

f. Baju pelindung, sarung tangan, masker, dan kaca mata pelindung harus digunakan dalam lab.

g. Disediakan fasilitas untuk ganti baju, tempat pencucian, dan toilet layak pakai dan sesuai jumlah pemakai.

h. Lab harus dirancang dan dipasang peralatan yang dapat memberikan proteksi yang maksimal untuk mencegah insekta atau hewan lain.

2. Kandang Hewan Percobaan

Kandang Hewan Percobaan dibagi :

a.Kandang ayam/unggas:

i)Uji vaksin bakteri
ii)Uji vaksin virus

b.Kandang hewan kecil:

i)Uji vaksin bakteri
ii)Uji vaksin virus

c.Kandang hewan besar:

i)Uji vaksin bakteri
ii)Uji vaksin virus

Kriteria Kandang Hewan Percobaan

a. Ruangan harus tidak hanya melindungi hewannya sendiri tetapi harus dibuat dapat melindungi pekerja.

b. Harus memiliki incinerator utk hewan percobaan memiliki ruang pembersihan dan desinfeksi hewan.

c. Sistem ventilasi udara masuk dan keluar ruang menggunakan High Efficiency Particulary Air (HEPA) filter.

d. Ruangan harus dipertahankan bertekanan negatif.

e. Fasilitas isolator harus digunakan jika melakukan IBD.

f. Drainase harus baik dan tepat sesuai sistem sanitary.

III. Quality Assurance

1. Role of Manajement

Manajemen Organisasi / Lab bertanggung jawab untuk membentuk dan mengelola sistem QA. Sistem QA menangani sumber daya, proses dan prosedur dimana pengukuran dan persyaratan standar uji tercapai.

Manajemen harus mempunyai kebijakan kualitas yang tertulis.

• Manajemen (Pengelola) harus mengidentifikasi tanggung jawab dan otoritas untuk memimpin sistem QA.

• perlunya komitmen manajer kualitas untuk memilih Pengawas, Auditor dan Penguji.

• Manajemen (Pengelola) bertanggung Jawab untuk pencapaian, penentuan arah dan pemeliharaan sumber daya sistem QA.
• Kunci sumber daya adalah akomodasi/kerjasama, staff dan peralatan.

• Lab tdk akan mendapatkan akreditasi jika terdapat sebagian standard persyaratan yang diterapkan tdk sesuai persyaratan akreditasi.

• Manajemen (Pengelola) harus review sistem QA secara periodik, dan mempertimbangkan semua hasil audit dan keluhan/komplin.

• Peralatan harus cukup akurat untuk pengukuran dan harus dikalibrasi serta dipelihari secara sistematik.

2. Sistem QA

a. Manajemen dan Organisasi

• Manajer QA harus menentukan tanggung jawab, otoritas dan hubungan antar semua personil (Manager) yang memimpin dan memverifikasi pekerjaan yang berhubungan dengan kualitas.

• Manajer QA bertanggung jawab untuk memimpin dan mengorganisir sistem QA, lebih baik berbasis independen.

• Ia melapor secara langsung kepada senior manajer dan bekerja terpisah dengan manajer lab.

• Ia berhak untuk cheking dan meyakinkan bahwa semua aktifitas di dalam Lab diterapkan dan dilaksanakan sesuai standar persyaratan.
• Ia memberikan input besar dalam assesmen dan penetuan pelatihan bagi personil.

• Ia harus menjamin bahwa dokumen prosedur, pencatatan dan laporan sesuai dengan persyaratan akreditasi baik secara Nasional maupun secara Internasional.

• Ia bertanggung jawab untuk auditing internal, cheking, kalibrasi semua peralatan.
• Ia akan berhubungan dengan auditor eksternal dan mempunyai hubungan luas dengan studi perbandingan antar Lab.

b. Prosedur Sistem Mutu (PSM)

• PSM mengcover seluruh sistem QA.
• Semua PSM harus terdokumentasi, terkontrol dan dibuat sedapat mungkin staff tahu.
• PSM harus sebagai Manual Quality yang memberikan gambaran umum terhadap Sistem QA.
• PSM harus dibuat oleh staff Lab dan akan menggambarkan tujuan kebijakan mutu.
• PSM termasuk detail scop/ruang lingkup akreditasi Lab, flow chart organisasi dan personel dan job deskripsi serta otoritasnya.
• Harus prosedur tertulis yang mudah didapat utk administrasi, dokumentasi, sampling dan standarisasi, metoda analisa, protokol uji, prosedur analisa QC dan QA, sertifikat, Laporan, Catatan.

c. Kontrol Dokumen

• Kontrol dokumen menyangkut persetujuan, penerbitan dan penggantian serta alternatif dok.
• Dok harus diseting sesuai dengan master dokumen yang dapat diidentifikasi.
• Penggandaan diterbitkan untuk keperluan mereka dan Catatan distribusinya disimpan.
• Perubahan dan penggantian dokumen harus dilakukan pada tingkat copy Master dan copy baru diterbitkan dan dicatat.
• Master copy sebelumnya harus disimpan dan semua copy harus dikumpulkan dan dihancurkan.

d. Staff / Personel

• Personel harus mempunyai persyaratan keahlian, khususnya penguasaan tehnik dan peralatan yang digunakan.
• Training dan pendidikan lanjutan sangat esensiil dan adanya workshop ASEAN harus didorong.

e. Peralatan

• Semua alat ukur yang berpengaruh pada qualitas harus dikontrol, dikalibrasi dan dipelihara.
• Pemilihan peralatan sangat penting.
• Peralatan harus mampu mengukur secara sensitif dan akurat.
• Harus dipertimbangkan pelayanan purna jual, pemeliharaan, spare part dan perbaikannya.
• Penggantian peralatan harus direncanakan, bekerja sama dengan bagian manajement.
• Peralatan harus mempunyai identifikasi.
• Dokumentasi peralatan harus diarsipkan.
• Arsip termasuk instruction manual.
• Arsip termasuk :
1. Daftar alat.
2. Peralatan yang membutuhkan kalibrasi dan pemeliharaan
3. Waktu atau interval waktu kalibrasi dan pemeliharaan.
4. Prosedur kalibrasi harus dibuat oleh personel yang berwenang.
5. Catatan kalibrasi dan pemeliharaan.

Pemeliharaan dan Kalibrasi Peralatan.
• Pemeliharaan dan kalibrasi secara regular untuk alat ukur penting …. sangat diperlukan untuk memperoleh hasil dan akurasi yang dapat dipercaya.
1. Timbangan
2. Pipet
3. pH meter
4. Temperatur (ice box, freezer dan cold room)
5. Termometer.

f. Sampling dan Penanganan Sampel

• Sampel harus representatif dan sejarahnya dicatat dan dibawa ke Lab.
• Sampel tiba di Lab. dalam kondisi yang tidak akan merubah kualitas analisa dan sesegera mungkin.
• Prosedur harus ditulis secara rinci tentang:
a. Bagaimana cara penanganannya,
b. Bagaimana cara penyimpanannya,
c. Bagaimana catatan sampel pada waktu tiba di Lab.

g. Metode Analisa

• Metode analisa mungkin berasal dari sumber berbeda, tetapi Official Standard Method (Mis.: OIE, CFR).

• SOP harus sudah diakreditasi oleh instansi berwenang, atau metodanya sendiri yang telah divalidasi tetapi belum diakreditasi.

Metode meliputi :
1.Sampling, penanganan sampel dan penyimpanan.
2.Perhatian keamanan.
3.Scop, arsip aplikasi, referensi, definisi, prinsip metode.
4.Rincian Material, reagen, standard dan pelaksanaan.
5.Rincian peralatan.
6.Rincian kalibrasi.
7.Persiapan sampel uji.
8.Prosedur uji.
9.Penanganan data, kalkulasi hasil, transfer data
10.Diagram lalu lintas arah sampel.

h. Audit dan Review

Audit

Sistem QA Lab. harus selalu dilakukan audit internal secara reguler, perhatian khusus pada prosedur dan metode analisa baik dalam hal GLP maupun Akreditasi.
Semua prosedur diaudit secara regular oleh personel yang independent.
Ketidakcocokan terhadap standar persyaratan setelah beberapa waktu yang tidak terlalu lama dilakukan corrective action (tindak lanjut).

Review/Peninjauan Ulang
1. Sistem QA harus ditinjau ulang secara regular oleh manajemen senior melalui konsultasi dengan pengelola manajemen QA.
2. Hasil review harus dikomunikasikan kepada staf yang berkepentingan

i. Laporan dan Catatan

Lab. akan menyimpan data dasar copy/salinan hasil dan catatan.
Manajer QA bertanggung jawab untuk memeriksa dan memastikan bahwa data dikalkulasi, dicatat dan dilaporkan menurut aturan prosedur.
Laporan dan catatan banyak manfaatnya jika terjadi masalah dengan analisa yang diperlukan pelanggan dan eksternal audit.
Waktu retensi laporan dan catatan ditentukan dan ditulis dalam prosedur.

j. Tindak Lanjut

• Sistem QA harus mempunyai dokumen prosedur untuk investigasi anomali/penyimpangan, komplin/keluhan dan ketidakpastian.
• Semua Corrective action dan ketidaksesuaian dicatat.
• Semua ketidakpastian dilaporkan melalui audit harus ditentukan Corrective action nya.

k. Sub-Kontrak

• Sistem QA harus menyeleksi jenis sub-kontrak, dasarnya kemampuan terhadap persyaratan sub-kontrak termasuk persyarata kualitas.
• Persyaratan standar lab. sub-kontrak harus ditetapkan secara jelas.
• Seleksi sub-kontrak tergantung produk.
• Sistem QA harus dilaksanakan dengan prosedur baku dan dipelihara untuk kontrak ulang dan koordinasi aktifitasnya

l. Interlaboratory Collaborative Study

Mekanisme Interlaboratory Collaborative Study antara anggota Negara ASEAN ditetapkan dengan jelas dan mekanisme harus ditulis dalam Manual QA.