Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Monday, 17 May 2010

Istilah Penting dalam Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan di Indonesia

Sebagai pengantar mengenal Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan di negara tercinta Republik Indonesia diperkenalkan beberapa istilah teknik yang berkaitan dengan Kemanan Hayati dan Keamanan Pangan. Dalam Keputusan Bersama empat Menteri tahun 1999 (Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan dan Menteri Negara Pangan dan Hortikultura) telah didefinisikan istilah penting yang dipergunakan dalam Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan adalah sebagai berikut:

1. Produk pertanian hasil rekayasa genetik yang selanjutnya disingkat PPHRG adalah hewan transgenik, bahan asal hewan transgenik dan hasil olahannya, ikan transgenik, bahan asal ikan transgenik dan hasil olahannya, tanaman transgenik, bagian-bagiannya dan hasil olahannya serta jasad renik transgenik.

2. Keamanan hayati adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah PPHRG dari kemungkinan timbulnya sesuatu yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan bagi keanekaragaman hayati (termasuk hewan, ikan dan tumbuhan) dan lingkungan.

3. Keamanan pangan PPHRG adalah kondisi dan upaya yang diperlukan dalam proses produksi, penyimpanan, peredaran dan penyiapan PPHRG untuk mencegah dari kemungkinan timbulnya sesuatu yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.

4. Pemanfaatan PPHRG meliputi pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian, pemuliaan, produksi, peredaran termasuk perdagangan, dan penggunaan.

5. Teknologi rekayasa genetik adalah segala upaya untuk mengadakan perubahan secara sengaja pada genom makhluk hidup dengan menambah, mengurangi dan/atau mengubah susunan asli genom dengan menggunakan teknik DNA rekombinan.

6. Genom adalah total komplemen genetik dari suatu organisme.

7. Asam Nukleat Deoksiribose (deoxyribose nucleic acid) yang selanjutnya disebut DNA adalah molekul yang membawa informasi genetik untuk sebagian besar organisme yang terdiri atas empat macam basa dan kerangka gula fosfat.

8. DNA rekombinan adalah suatu kombinasi DNA yang terbentuk secara in vitro dari fragmen-fragmen DNA dari dua spesies organisme.

9. Hewan transgenik adalah semua binatang hasil rekayasa genetik yang sebagian besar hidupnya berada di darat, baik yang dipelihara maupun yang hidup secara liar.

10. Bahan asal hewan transgenik adalah bahan, yang berasal dari hewan hasil rekayasa genetik yang dapat diolah lebih lanjut seperti daging, susu, telur, bulu, rambut, wool, tanduk, kuku, kulit, tulang, sperma, dan madu.

11. Hasil olahan hewan transgenik adalah pangan yang berasal dari bahan asal hewan hasil rekayasa genetik yang diproses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.

12. Ikan transgenik termasuk biota perairan lainnya hasil rekayasa genetik yang selanjutnya disebut ikan transgenik adalah dari kelas pisces, crustacea, mollusca, coelenterata, echinodermata, amphibia, reptilia, mammalia, dan algae.

13. Bahan asal ikan transgenik adalah bahan yang berasal dari ikan hasil rekayasa genetik yang dapat diolah lebih lanjut seperti minyak, dan kulit ikan.

14. Hasil olahan ikan transgenik adalah pangan yang berasal dari bahan asal ikan hasil rekayasa genetik yang diproses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.

15. Tanaman transgenik adalah tumbuhan yang dibudidayakan yang meliputi tanaman semusim dan tanaman tahunan dan bagian-bagiannya hasil rekayasa genetik.

16. Hasil olahan tanaman transgenik adalah pangan yang berasal dari tanaman hasil rekayasa genetik yang diproses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.

17. Jasad renik transgenik meliputi virus, bakteri protozoa, khamir, kapang, dan mikro alga hasil rekayasa genetik.

18. Kesepadanan substansial adalah suatu keadaan dimana produk pangan yang berasal dari produk pertanian hasil rekayasa genetik secara substansial sama dengan organisme non transgenik asalnya kecuali sifat yang direkayasa.

19. Secara umum dinilai aman atau generally regarded as safe (GRAS) adalah suatu kondisi aman untuk dikonsumsi yang diterapkan pada bahan tambahan pangan (food additive) dan bahan pangan yang berasal dari PPHRG.

20. Komisi Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan yang selanjutnya disingkat KKHKP adalah komisi yang mempunyai tugas membantu Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Negara Pangan dan Hortikultura dalam menyusun dan menetapkan kebijaksanaan keamanan hayati dan keamanan pangan dalam pemanfaatan PPHRG.

21. Tim Teknis Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan yang selanjutnya disingkat TTKHKP adalah tim yang mempunyai tugas membantu KKHKP dalam melakukan evaluasi dan kajian teknis keamanan hayati dan keamanan pangan, serta kelayakan pemanfaatan PPHRG.

Memang Keputusan Bersama empat Menteri ini sudah berumur 10 tahun lebih mudah-mudahan saja masih relevan dengan tantang global saat ini dengan teknologi rekayasa genetika yang semakin maju dan canggih. Wallahhu’alam bishawab.

Sumber :
Pasal 1 Keputusan Bersama Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan dan Menteri Negara Pangan dan Hortikultura,
Tentang Kemanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik
Nomor :
998.1/Kpts/OT.210/9/99
790.a/Kpts-IX/1999
1145A/MENKES/SKB/IX/1999
015A/NmenegPHOR/09/1999

Thursday, 13 May 2010

Konferensi Keamanan Hayati Nagoya akan Agendakan Teks Hukum Kewajiban dan Ganti Rugi

Oleh
Ani Purwati

Teks hukum internasional tentang kewajiban dan ganti rugi (liability redress) atas kerusakan yang disebabkan oleh organisme hasil rekayasa atau rekayasa genetik (living modified organisms -LMOs) akan menjadi agenda yang diadopsi pada Konferensi Kelima Para Pihak Protokol Kartagena tentang Keamanan Hayati (Cartagena Protocol on Biosafety) pada bulan Oktober 2010 di Nagoya, Jepang.

Demikian menurut laporan Lim Li Lin dan Lim Li Ching dari Third World Network yang mengikuti jalannya perundingan Group of Friends of the Co-Chairs di Kuala Lumpur, pada 19 Februari 2010.

Sebuah kelompok perundingan (yang dikenal sebagai Group of Friends of the Co-Chairs tentang kewajiban dan ganti rugi dalam hal Protokol Kartagena tentang Keamanan Hayati) yang bertemu di Kuala Lumpur pada tanggal 8-12 Februari 2010 meminta Sekretaris Eksekutif Convention on Biological Diversity untuk menyampaikan kepada Para Pihak Protokol, perihal teks untuk Protokol Tambahan tentang kewajiban dan ganti rugi atas kerusakan akibat dari pergerakan lintas batas LMOs.

Dalam laporan tersebut menyebutkan bahwa teks protokol yang diusulkan harus disampaikan kepada Para Pihak oleh Sekretariat paling lambat enam bulan sebelum adopsi. Pertemuan Friends of the Co-Chairs di Kuala Lumpur adalah perundingan terakhir yang dijadwalkan setidaknya enam bulan sebelum Konferensi Para Pihak di Nagoya. Teks yang diusulkan masih mengandung banyak tanda kurung (yang mengindikasikan belum adanya kesepakatan).

Perundingan lebih lanjut dijadwalkan berlangsung di Montreal pada 17-19 Juni 2010. Ada pembicaraan tentang kemungkinan tambahan tiga sampai lima hari pertemuan sebelum Konferensi Para Pihak di Nagoya, sesuai dengan kesepakatan dengan pemerintah tuan rumah, Jepang.

Pertemuan Kuala Lumpur adalah pertemuan Friends of the Co-Chairs kedua yang diamanatkan oleh Konferensi Para Pihak Keempat di Bonn pada Mei 2008 untuk membahas lebih lanjut aturan-aturan dan prosedur internasional tentang kewajiban dan ganti rugi dalam hal Protokol Kartagena. Pertemuan pertama diadakan di Mexico City pada Maret 2009. Sebagai ketuanya adalah Rene Lefeber dari Belanda dan Jimena Nieto dari Kolombia.

Perundingan kewajiban dan ganti rugi telah berjalan sejak tahun 2005, dengan sebuah kelompok kerja di bawah Protokol Cartagena telah bertemu lima kali untuk menguraikan aturan-aturan dan prosedur internasional tentang kewajiban dan ganti rugi. Pertemuan terakhir diadakan pada bulan Maret 2008, dengan suatu upaya menyelesaikan proses dalam waktu empat tahun seperti yang ditetapkan dalam Protokol Kartagena. Namun, Para Pihak dalam perundingan telah terpecah dan mengakibatkan lambatnya kemajuan.

Meskipun pertemuan kelompok kecil ekstra dari Friends of the Co-Chairs di Bonn sebelum dan selama Konferensi Para Pihak 2008, perundingan masih belum bisa menyimpulkan sebagaimana diamanatkan. Maka, keputusan di Bonn mengamanatkan dua pertemuan Friends of the Co-Chairs.

Kelompok Friends of the Co-Chairs masing-masing terdiri dari enam perwakilan dari Asia Pasifik, Afrika, Amerika Latin dan Karibia, dua wakil masing-masing dari Uni Eropa, Eropa Tengah dan Timur, serta masing-masing dari Selandia Baru, Norwegia, Swiss dan Jepang. Enam wakil dari kawasan Asia Pasifik adalah Bangladesh, China, India, Malaysia, Palau dan Filipina.
Pihak lain Protokol Kartagena juga bisa menghadiri pertemuan Friends of the Co-Chairs sebagai penasihat. Jumlah Para Pihak yang diizinkan duduk di meja perundingan terbatas. Pengelompokan regional dengan lebih dari jumlah yang ditentukan dalam kehadiran mungkin bergiliran di meja perundingan, sepanjang tidak lebih dari ketentuan jumlah yang duduk di sekitar meja perundingan.

Komposisi kelompok pada pertemuan berikutnya di Montreal pada Juni 2010 akan sama, kecuali jumlah penasihat yang terbatas pada enam Kelompok Afrika, tujuh untuk Amerika Latin dan kelompok Karibia (jumlah ini meningkat satu atas desakan Paraguay yang menegaskan butuh dua penasihat), empat untuk Uni Eropa, dan masing-masing satu dari India, Malaysia, Filipina, Selandia Baru, Norwegia dan Swiss. China dan Jepang masing-masing meminta dua orang penasihat. Keterbatasan ini berlaku untuk jumlah penasihat Pihak yang diperbolehkan dalam ruang perundingan. Pengamat tidak diundang untuk menghadiri pertemuan Montreal. Friends of the Co-Chairs dari Palau dan Bangladesh tidak menghadiri pertemuan di Mexico City dan Kuala Lumpur, dan akan digantikan oleh Korea Selatan dan Iran.

Ini memperlambat perundingan dan menghambat kesimpulan kesepakatan yang diharapkan. Selama perundingan tentang Protokol Kartagena itu sendiri, masalah kewajiban dan ganti rugi begitu diperdebatkan bahwa itu tidak dapat dimasukkan secara substantif dalam teks Protokol Kartagena, meskipun mendapat dukungan dari hampir semua negara-negara berkembang pada waktu itu, yang merupakan importir LMO atau subjek yang mungkin ilegal atau tidak disengaja ada transfer LMO. Sebaliknya, ketentuan ini dimasukkan dalam Protokol Kartagena yang mengamanatkan perundingan lebih lanjut mengenai kewajiban dan ganti rugi, pengaturan empat tahun kerangka waktu untuk pekerjaan ini yang mengalami keterlambatan. Perundingan berlarut-larut dan hasilnya sekarang mungkin hanya dapat diadopsi pada bulan Oktober 2010 di Nagoya, setela sepuluh tahun mengalami keterlambatan dalam peraturan dan prosedur internasional untuk kewajiban dan ganti rugi atas kerusakan LMO (Protokol Kartagena diadopsi pada tahun 2000, dan masuk dalam pembahasan pada tahun 2003).

Setelah Kesapakatan Bonn
Pertemuan Friends of the Co-Chairs di Mexico City dan Kuala Lumpur datang setelah perundingan yang sangat sulit di Bonn pada tahun 2008 ketika perundingan hampir gagal dan Kelompok Like Minded Friends muncul "mewakili negara-negara yang posisinya adalah bahwa instrumen internasional kewajiban dan ganti rugi harus memiliki unsur-unsur yang mengikat pada civil liability (tanggung jawab perdata)."

Karena ada keberatan dari beberapa pihak untuk memiliki aturan-aturan substantif internasional untuk civil liability dimana korban kerusakan dari LMOs dapat dilimpahkan kepada pengadilan nasional untuk pemulihan, Kelompok Like Minded Friends, yang dipimpin oleh Malaysia, telah mengajukan proposal di Bonn, menyelamatkan perundingan dari kegagalan. Kelompok Like Minded Friends terdiri sekitar 80 negara-negara berkembang (termasuk semua Group Afrika) dan Norwegia.

Kesepakatan yang dicapai di Bonn berdasarkan usulan oleh Kelompok Like Minded Friends. Intinya mengatakan bahwa regim kewajiban dan ganti rugi internasional akan mengikat secara hukum dan akan terdiri dari pendekatan administrasi, dimana tanggung jawab akan menjadi masalah yang akan diselesaikan antara entitas bertanggung jawab dan pemerintah eksekutif, melalui "langkah-langkah tanggapan" tentang kerusakan. Rejim juga berisi satu ketentuan tentang civil liability yang akan:
(1) mempertahankan hak Para Pihak untuk meletakkan undang-undang domestik dan kebijakan tentang kewajiban perdata dan ganti rugi yang harus mencakup unsur-unsur sebagaimana diatur dalam pedoman yang akan dibahas;
(2) memberikan pengakuan timbal balik dan penegakan penilaian asing;
(3) menyediakan tinjauan tentang pedoman setelah berlakunya instrumen dengan tujuan untuk mengikat atau mengelaborasi lebih komprehensif rezim mengikat tentang civil liability.
Disepakati bahwa ini akan menjadi dasar bagi perundingan lebih lanjut.

Usulan Like Minded Friends sendiri, mengingatkan bahwa sebagian besar negara berkembang dan Norwegia mempunyai rejim civil liability mengikat secara komprehensif, dan telah menegaskan perundingan ini sepanjang tahun ini.

Di Mexico City, kesepakatan bahwa bentuk instrumen yang mengikat secara hukum akan menjadi Protokol Tambahan Protokol Kartagena. Selain itu, ada teks pedoman civil liability, tambahan dan kajian kompensasi tambahan dan pembangunan kapasitas yang saling melengkapi.

Sepanjang perundingan sejak Bonn, kesepakatan ini memiliki instrumen yang mengikat secara hukum pada pendekatan administrasi dengan satu ketentuan tentang civil liability dan telah terus-menerus dirongrong oleh pihak-pihak yang masih menolak instrumen.

Sulitnya perundingan tentang civil liability
Klausa-klausa tentang civil liability agar dimasukkan dalam Protokol Tambahan yang mengikat secara hukum terbukti menjadi yang paling diperdebatkan dalam pertemuan Kuala Lumpur. Perselisihan terjadi dalam sesi tertutup Friends of the Co-Chairs (tanpa penasihat atau pengamat), dengan sesi yang berjalan dari malam hingga dini hari.

Selama pembacaan pertama artikel yang bersangkutan (Pasal 13) pada Selasa (9 Februari), perbedaan pendapat dilemparkan ke forum diskusi tentang hak Para Pihak untuk mengembangkan sebuah rejim civil liability domestik. Ada dua pilihan dalam teks, dan hanya Uni Eropa, Jepang dan Paraguay menyatakan bahwa mereka lebih suka Opsi 1, dimana Jepang telah memasukkannya di Bonn, dan yang menyatakan bahwa, "Para Pihak dapat atau tidak dapat mengembangkan sistem civil liability atau mungkin memberlakukan yang sudah ada sesuai dengan kebutuhan mereka untuk berurusan dengan organisme hasil rekayasa."

Kelompok Afrika, Brazil, Kuba, Kolombia, Ekuador, India, Malaysia, Meksiko dan Norwegia, semua menyuarakan dukungan mereka untuk Opsi 2. Opsi 2 sebenarnya merupakan bagian dari usulan kompromi yang diajukan oleh Kelompok Like Minded Friends di Bonn.

Opsi 2 menguraikan hak Para Pihak untuk memiliki regim civil liability domestik, dan unsur-unsur spesifik yang termasuk. Ini juga memasukkan ketentuan mengenai pengakuan dan penegakan penilaian asing dan memungkinkan Para Pihak untuk mempertimbangkan pedoman civil liability ketika ingin mengembangkan undang-undang atau kebijakan domestik mereka.

Malaysia yang tidak merasa senang pada usulan beberapa pihak untuk membahas Opsi 1, mengatakan bahwa ini adalah "itikad buruk", karena beberapa pihak yang tampaknya mencoba untuk memutar kembali kesepakatan Bonn. Dia mengingatkan yang lain, bahwa kelompok Like Minded Friends telah menerima, sebagai kompromi, ketentuan yang lemah tentang civil liability (yaitu Opsi 2), dengan suatu tinjauan klausa. Opsi 1 benar-benar diformulasikan untuk memperjelas Opsi 2, karena satu Pihak belum jelas seperti apa yang tersedia pada Opsi 2; Opsi 1 kemudian bisa dimasukkan dalam Opsi 2, dan perundingan harus dilanjutkan berdasarkan Opsi 2. Ketua Lefeber Rene juga mengingatkan para delegasi bahwa pertemuan sebelumnya Friends of the Co-Chairs di Mexico City telah menghabiskan waktu kerja pada salah satu paragraf Opsi 2, dan menggarisbawahi Opsi 1 yang mencakup Opsi 2. Dia mengusulkan agar rapat kerja atas dasar Opsi 2. (Pada pertemuan di Mexico City, Para Pihak bekerja pada Opsi 2 sebagai dasar untuk ketentuan mengikat secara mengikat civil liability. Namun, karena perselisihan atas tinjauan klausa, Opsi 2 dikembalikan lagi oleh Uni Eropa ketika ketua mengusulkan untuk menghapus).

Uni Eropa minta waktu untuk berpikir tentang hal ini, seperti "instruksi yang jelas tentang masalah ini". Kemudian setuju usulan Lefeber, dengan dimasukkannya catatan kaki yang menyatakan bahwa pertemuan sepakat untuk membahas Opsi 2 pada "dasar sementara". Kelompok Friends of the Co-Chairs mulai bekerja atas dasar Opsi 2.

Setelah melalui diskusi yang panas, Ketua Lefeber menghasilkan teks kompromi yang menyatakan bahwa Para Pihak dari Protokol Tambahan akan menyediakan dalam hukum domestik mereka untuk peraturan dan prosedur yang membahas kewajiban dan ganti rugi, dan untuk melaksanakan kewajiban ini Para Pihak akan menerapkan Protokol Tambahan (yaitu mengambil langkah-langkah tanggapan) dan mungkin atau tidak, sesuai dengan kebutuhan mereka, menerapkan atau mengembangkan prosedur perdata.

Wednesday, 12 May 2010

Pedoman Pelaksanaan Pengujian Keamanan Hayati

Rekayasa genetik melalui teknik transgenik telah lama digunakan pada hewan baik pada taraf penerapan maupun eksperimental. Tujuan utama dari pemanfaatan teknik transgenik adalah terjadinya perubahan fenotipik yang dapat bersifat menyeluruh maupun parsial. Dua aspek yang dapat diharapkan dalam pemanfaatan teknik transgenik adalah:
(1) “perbaikan” kinerja atau produktivitas ternak/hewan secara lebih cepat dibandingkan teknik pemuliabiakan konvensional, (2) “introduksi” komponen keunggulan tertentu yang sama sekali baru. Termasuk dalam kategori pertama misalnya adalah usaha untuk menyisipkan gen yang merangsang pertumbuhan dan produksi susu. Sementara itu, untuk kategori ke dua adalah penyisipan gen untuk produksi protein farmasetik melalui susu, produksi organ tubuh untuk pencangkokan pada manusia, ketahanan terhadap penyakit tertentu, sistem kekebalan tubuh, dan kemampuan pemanfaatan pakan yang lebih baik. Berbagai upaya tersebut di atas, disamping mendatangkan manfaat yang besar, diduga membawa pula konsekuensi yang merugikan/membahayakan. Bahaya atau kerugian yang terjadi dapat berupa ancaman terhadap eksistensi hewan tersebut, lingkungan meliputi manusia, alam dan ekosistem hewani di sekitarnya.

Dalam rangka pengaturan keamanan hayati suatu produk bioteknologi, Departemen Pertanian telah mengeluarkan Keputusan Menteri Pertanian No:856/Kpts/HK.330/9/1997 tentang Ketentuan Keamanan Hayati Produk Bioteknologi Pertanian Hasil Rekayasa Genetik (PBPHRG). Salah satu jenis dari PBPHRG adalah hewan transgenik dan bahan asal hewan transgenik hasil rekayasa genetik. Pemanfaatan hewan transgenik dan bahan asal hewan transgenik di Indonesia harus dilakukan secara seksama. Hal tersebut disebabkan oleh adanya kekhawatiran bahwa kemungkinan hewan transgenik dan bahan asal hewan transgenik tersebut bisa berdampak negatif. Sehubungan dengan itu, maka diperlukan adanya uji keamanan hayati hewan transgenik dan bahan asal hewan transgenik. Keamanan hayati yang dimaksud dalam SK Menteri Pertanian tersebut adalah keadaan yang dihasilkan melalui upaya pencegahan terhadap hewan transgenik dan bahan asal hewan transgenik yang dapat mengganggu, merugikan dan/atau membahayakan bagi manusia, keanekaragaman hayati, dan lingkungan.

Proses produksi hewan transgenik dan bahan asal hewan transgenik melalui rekayasa genetik melibatkan beberapa tahap kegiatan di tingkat laboratorium dan lapangan. Dalam kaitannya dengan keamanan hayati, maka kegiatan pelaksanaan penelitian rekayasa genetik harus dilakukan di Fasilitas Uji Terbatas (FUT). Penampilan transgen dari hewan transgenik dan bahan asal hewan transgenik perlu dikarakterisasi dengan pengujian yang dilakukan di FUT. Apabila berdasarkan uji di laboratorium dan kandang terbatas tidak ditemukan faktor-faktor yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian bagi masyarakat dan lingkungan, maka dapat dilanjutkan dengan uji di lapangan terbatas. Contoh hewan transgenik, bahan asal hewan transgenik, protein hasil rekayasa genetik dan beberapa ekspresi transgen.

Sumber: Indonesia Biotechnology Information Center

Tuesday, 11 May 2010

Tren Industri Pangan dalam Foodex Jepang 2009

Oleh
Patricia R. L. Tobing
(Technical Support Manager Divisi Center of Research & Development PT. Indofood Sukses Makmur)


Pameran Foodex biasa dilaksanakan setiap tahun sekali. Pameran diselenggarakan di Soga, Makuhari Messe dan berlangsung dari 3 hingga 6 Maret 2009. Panitia menyediakan 8 buah hall besar yang terbagi atas daerah pameran internasional (sebanyak 5 hall) dan daerah pameran khusus produk-produk industri pangan Jepang sebanyak 3 hall. Pameran kali ini diikuti oleh kurang lebih 74 negara yang masing-masing terdiri dari beberapa perusahaan pangan, asosiasi pertanian, asosiasi peternakan dan pemerintah daerah dari beberapa negara yang memamerkan produk-produk pangan hasil pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan yang dihasilkan. Jepang sendiri sebagai tuan rumah menyediakan area khusus produk –produk lokal, baik dari perusahaan pangan modern maupun dari industri kecil termasuk pangan tradisional Jepang.

Perusahaan produsen kemasan pangan juga ikut memamerkan hasil produksinya yang berbahan dasar plastik, tradisional rotan maupun kemasan kertas. Bahan kemasan ini lebih mengarah kepada kemasan makanan tradisional Jepang. Pameran kali ini juga memberi tempat khusus bagi produk-produk baru unggulan yang berasal dari Jepang dan dari perusahaan Internasional lainnya. Produk-produk ini dipamerkan pada displai khusus yang terletak di depan pintu masuk ke hall besar. Setiap paviliun mempresentasikan produk pangannya dengan cara-cara yang menarik, ada yang membagikan produk yang langsung bisa dikonsumsi, ada yang menyediakan juru masak yang mendemo cara memasak dan mempersiapkan produk. Negara Tunisia mempromosikan minyak zaitun dengan mengadakan demo masak masakan Tunisia dan setelah itu membagi-bagikan masakan hasil demo kepada pengunjung secara gratis. Paviliun Thailand membuat moto “kitchen of the world” dan menyediakan tempat masak dan juru masak yang mendemo produk-produk yang dipamerkan. Demikian pula dengan paviliun Amerika, Meksiko, Korea, dan Jepang menyediakan stand demo masak. Beberapa stand minuman dari Jepang bahkan membuat panel organoleptik melalui pengunjung stand yang bersedia mencoba produk sambil mengisi kuesioner yang disediakan. Sebagai imbalan, panelis diberikan produk gratis.

Keterlibatan Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara peserta pameran yang menempati sebuah paviliun khusus dan kali ini merupakan pameran Foodex Jepang yang diikuti oleh Indonesia untuk pertama kali. Kedutaan besar Indonesia di Jepang memfasilitasi keikut-sertaan Indonesia berpameran di bawah koordinasi ITPC (Indonesian Trade Promotion Center) yang dikepalai oleh atase perdagangan Indonesia di Jepang, Tulus Budhianto. Duta besar Indonesia di Jepang, Jusuf Anwar memutuskan untuk mengikut-sertakan perusahaan pangan Indonesia pada pameran ini dan untuk kali ini peserta Indonesia diarahkan sebagian besar untuk UKM atau industri kecil yang memiliki produk yang potensial dan dapat memenuhi permintaan masyarakat Jepang. Salah satu pertimbangan untuk berpameran adalah dampak krisis ekonomi global tidak mengurangi pengeluaran masyarakat Jepang untuk produk pangan terutama produk pangan alternatif yang tetap memenuhi kebutuhan gizi dan kesehatan dengan harga yang kompetitif. Sedangkan pengeluaran untuk otomotif, elektronik dan pariwisata sebagai kebutuhan sekunder sangat berkurang secara signifikan. Diharapkan pameran ini dapat membuka peluang bagi produk pangan hasil karya UKM dan industri kecil Indonesia untuk bisa diterima oleh masyarakat Jepang dengan mutu dan harga yang memadai. Beberapa perusahaan asal Indonesia yang mengikuti pameran ini pada tahun sebelumnya mendaftarkan perusahaannya melalui JETRO atau Japan External Trade Organization, sebuah organisasi yang mempromosikan kerjasama perdagangan dan investasi antara negara Jepang dan negara-negara lainnya.

Sebanyak 7 peserta perusahaan pangan, koperasi wanita, importir makanan Indonesia yang berada di Jepang dan UKM dari Indonesia mengikuti pameran pada stand Indonesia. Produk yang dipamerkan berupa bumbu-bumbu pasta masakan Indonesia, sambal bajak, kecap, makanan ringan seperti emping melinjo, hasil penggorengan vakum dari nangka, salak dan nanas, minuman serbuk jahe, teh rosela (Hibiscus sabdariffa), jus buah noni (Morinda citrifolia), ekstrak buah merah (Pandanus conoideus), virgin coconut oil (di Jepang disebut extract virgin coconut oil) dan produk nata de coco.

Minat masyarakat Jepang terhadap produk-produk yang dipamerkan sangat besar walaupun stand pameran kita relatif kecil dibandingkan dengan negara lainnya. Hal ini terlihat dari jumlah pengunjung stand Indonesia per hari sebanyak kurang lebih 250-300 orang. Lokasi stand Indonesia yang strategis di bagian pinggir hall 4 merupakan salah satu keuntungan sehingga pengunjung yang akan berpindah dari hall 5 ke hall 4 pasti melewati paviliun Indonesia, demikian pula sebaliknya. Negara Cina menempati paviliun yang berukuran sangat besar akan tetapi minat pengunjung sangat sedikit. Kepercayaan masyarakat Jepang terhadap pangan asal Cina sangat berkurang mengingat begitu banyaknya isu keamanan pangan yang terjadi belakangan ini. Brosur dan leaflet dalam bahasa Jepang merupakan salah satu hal yang penting untuk menarik perhatian pengunjung, demikian pula dengan fasilitas penterjemah bahasa Jepang. Pengunjung asal Jepang yang pernah tinggal di Indonesia pasti menyempatkan diri untuk mampir ke paviliun Indonesia untuk mencicipi makanan dan minuman Indonesia sambil bernostalgia, di antaranya adalah Professor K. Katoh, PhD. yang pernah bekerja pada JICA pada tahun 1982-1985 pada saat kerjasamanya dengan IPB.

Konsep produk pangan

Banyak hal yang menarik dari produk-produk yang dipamerkan berupa konsep produk, jenis tanaman sayur-sayuran dan buah-buahan, konsep berpromosi, jenis kemasan produk, dan inovasi lainnya yang dilakukan pada beberapa negara. Produk yang terasa biasa di suatu negara bisa berubah menjadi luar biasa di negara lain karena keberadaan produk tersebut yang susah didapatkan. Beberapa contoh konsep dan produk yang bisa dijadikan ide bagi produsen pangan maupun buah-buahan dan sayuran di Indonesia adalah sebagai berikut:
Ubi merah panggang dan diekspor dalam keadaan dingin beku dari Taiwan. Salah satu peserta dari sebuah provinsi di negara Taiwan memamerkan ubi merah panggang yang dikemas dalam aluminium foil dan dibekukan. Konsep ini sangat cocok untuk mempromosikan ubi merah dari Cilembu Jawa Barat yang terkenal dengan rasanya yang sangat manis. Menurut Atase Pertanian Indonesia di Jepang, Pudjiatmoko, saat ini sudah ada produk ubi ungu dari kota Malang yang diimpor ke Jepang secara rutin. Demikian pula dengan talas Jepang atau Satoimo (Colocasia esculenta var. antiquorum) yang dibudi-dayakan di Indonesia melalui panduan dari importir Jepang; produk ini telah menjadi salah satu makanan favorit di Jepang yang mengandung serat pangan dalam jumlah memadai untuk kesehatan. Produk-produk pertanian seperti ini kurang mendapat tempat di Indonesia akan tetapi di Jepang sangat dihargai.

Snack sayuran ~ penggorengan vakum. Kemasan keripik sayuran berisi macam-macam jenis sayur yang digoreng dengan metode penggorengan vakum, terdiri dari buncis, wortel, labu parang, terong, ubi ungu yang diiris tipis.

Minuman serbuk instan natural dari jeruk nipis dan pandan. Salah satu perusahaan minuman bubuk instan dari Thailand membuat bubuk alami dari tanaman daun pandan, jahe, asam jawa, jeruk nipis dan mencantumkan klaim ‘produk alami’. Produsen minuman serbuk sudah banyak di Indonesia sehingga bisa bersaing di pasar International. Nilai tambah dengan klaim ‘organik’ banyak digunakan pada beberapa produk makanan dan minuman.

Produk minuman dari Rosela (Hibiscus sabdariffa). Di Indonesia sudah banyak beredar teh rosela, sirup rosela yang dihasilkan oleh industri kecil UKM sedangkan bentuk jam belum ada yang memasarkan. Kesulitan bagi UKM di Indonesia adalah kesinambungan pasokan bunga Rosela yang belum dibudi dayakan secara komersial. Beda produk dari Indonesia dengan yang diproduksi di Jepang adalah pada kemasan dan cara promosi atau pemasaran. Posisinya sebagai minuman yang mengandung banyak antioksidan menjadi nilai tambah sehingga kesan desain kemasan dibuat berkesan sehat dan bersih dengan klaim-klaim meningkatkan daya tahan tubuh. Suplai rosella kering ke Jepang juga merupakan salah satu peluang potensial bagi usaha perkebunan di Indonesia.

Klaim-klaim produk yang dipromosikan adalah no artificial flavors,no cholesterol, no trans fat, made with real vegetables,made with whole grain, low in saturated fat, source of f ibre, no preservatives, natural antioxidant, high in monosaturates, certified organics, low in sodium, gluten free, high fibre snack, nuts free dan pernyataan sertifikat internasional dari HACCP, BRC, ISO, organic, non GMO. Semua pernyataan atau klaim-klaim tersebut digunakan juga sebagai garansi bahwa produk yang dibuat aman bagi kesehatan dan bermutu. Industri kecil yang ingin bersaing di pasar global perlu mengetahui tentang tuntutan mutu yang diminta oleh konsumennya.

Jus lidah buaya atau aloe vera yang diberi perasa buah-buahan dan air kelapa segar dalam botol Plastik PET. Aloe vera atau lidah buaya sudah mendapat tempat sebagai bahan baku fungsional di jepang sehingga beberapa produsen minuman pada beberapa negara termasuk Indonesia juga menawarkan aloe vera sebagai komponen padat, ada pula yang membuat jus dan diberi perasa buah-buahan.

Wine brewing dari buah-buahan selain anggur seperti Bokbunja berry (dari Korea),
Salad topping atau taburan berupa granul kering seperti bawang goreng, crouton atau roti kering, bawang putih goreng, cereal mix, campuran kacang dan buah kering, taburan granul keju kering. Bisa menjadi taburan untuk nasi, sup, mi goreng, dan lain-lain.

Dari pameran ini, Indonesia, yang amat kaya dengan hasil pertanian, perkebunan, pertanian dan perikanan didukung dengan lahan yang amat luas dan tanah yang subur, patut bersyukur dan bekerja lebih cermat lagi dalam mengembangkan hasil-hasil bumi dan selanjutnya mengolahnya menjadi bahan pangan yang disukai, bergizi, sehat dan aman bagi konsumsi lokal maupun global. Masih banyak konsep produk yang bisa ditiru untuk meningkatkan mutu produk pangan Indonesia sehingga bisa dikenal oleh konsumen Internasional. Industri pangan perlu diperkuat dengan sistem jaminan mutu maupun sertifikat pengontrolan mutu yang dituntut oleh konsumen Internasional seperti GMP, HACCP, ISO dan lain sebagainya. Dari produk-produk Indonesia yang ada, kita bisa mengikuti pameran berikutnya dengan moto ‘Indonesia feed the world’.
Sumber: Food Riview, Referensi Industri dan Teknologi Pangan Indonesia

Pertanian Indonesia dan ACFTA

oleh
Subejo
(Staf Pengajar UGM, PhD Candidate The University of Tokyo dan Expert Board IASA)


Menidaklanjuti implementasi ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) Indonesia menghadapi dilema. Di satu sisi ada peluang meraup keuntungan dari komoditas yang kompetitif. Di sisi lain ada kemungkinan hancurnya produsen dan industri lokal dengan serbuan produk China jika produk tersebut tidak kompetitif.
Hal yang realistis adalah melakukan dua strategi. Pertama, melakukan diplomasi untuk menunda implementasi ACFTA bagi produk yang sensitif sambil tetap melakukan berbagai pembenahan agar siap bersaing. Kedua, memfasilitasi sektor yang kompetitif dan memiliki keunggulan komparatif untuk memanfaatkan peluang pasar potensial China.Bagaimana pun kita perlu hati-hati dan taktis merespon ACFTA. Pihak birokrasi sangat optimis dengan hanya melihat China sebagai pasar potensial karena jumlah penduduknya 1,4 miliar jiwa. Padahal, bicara ACFTA adalah bicara persaingan segi tiga. Indonesia tidak hanya berurusan dengan China sebagai tujuan pasar. Tapi, juga harus berurusan dengan semua negara anggota ASEAN lainnya sebagai teman sekaligus pesaing.Selama ini yang banyak ditonjolkan adalah relasi Indonesia dan China. Komoditas apa yang potensial untuk masuk ke pasar China. Masih sangat sedikit ulasan hubungan Indonesia dengan pesaingnya sesama anggota ASEAN yang mendapatkan perlakuan dan kesempatan yang sama dibawah payung ACFTA.
Persaingan dan Peluang
Departemen Pertanian sangat optimis akan potensi minyak kelapa sawit, karet alam, kopi, coklat, gaplek, produk perikanan, buah tropis, dan juga kemungkinan gula dan beras. Kenyataanya, dari segi pesaing, Indonesia harus bersaing ketat atas komoditas tersebut. Bagaimanapun juga negara ASEAN berlokasi dalam wilayah yang sama. Tidak ada perbedaan yang menonjol dalam potensi geografis dan sumber daya alam. Hampir semua negara anggota ASEAN memiliki kemampuan memproduksi komoditas pertanian sejenis.Indonesia akan berhadapan dengan Malaysia dan Thailand agar dapat memenangkan pasar minyak kelapa sawit, coklat, karet alam, dan kopi. Thailand juga sangat efisien dalam memproduksi gaplek dan tepung gaplek. Untuk produk perikanan persaingan keras akan terjadi antara Indonesia dengan Filipina dan Thailand. Filipina juga mampu memproduksi minyak kelapa dan gula dengan teknologi yang sangat baik.
Kalau Indonesia memiliki surplus beras kita harus bersaing dengan eksportir utama beras di pasar dunia yaitu Thailand, Vietnam, dan Myanmar. Sedangkan untuk buah tropis hampir semua negara ASEAN memiliki kemampuan memproduksinya sehingga persaingan lebih hebat.
Ditinjau dari target pasar kemampuan produsen domestik China juga perlu diperhitungkan. Hary X Wu (1997) mencatat bahwa reformasi ekonomi di China dimulai dengan reformasi pertanian melalui liberalisasi pertanian. Sejak tahun 1980-an reformasi pertanian sangat sukses mentransformasikan sistim kolektif ke sistim pertanian berbasis rumah tangga petani sehingga produktivitas pertanian meningkat tajam.

IRRI (2008) melaporkan China selama beberapa tahun merupakan produsen beras terbesar di dunia. Selain itu mereka juga merupakan produsen gula yang cukup efisien. Dengan terus menggelembungnya penduduk China tentu peluang untuk mengimpor beras dan gula dari negara masih terbuka lebar.
Produsen domestik tidak mampu memenuhi kebutuhan nasionalnya. Persaingan memenangkan pasar gula dan beras akan terjadi antara Indonesia, anggota ASEAN, dan juga produsen lokal China.
Terobosan Strategi
Dalam dunia perdagangan spesialisasi memegang peran penting. Semakin suatu negara mampu memproduksi komoditas spesial maka peluangnya untuk memenangkan persaingan besar. Spesialisasi dapat terbentuk karena keunikan produk dan kualitasnya.Selain spesialisasi, efisiensi, dan produktivitas tinggi menjadi kunci memenangkan persaingan. Tidak ada pilihan lain bagi Indonesia selain secara serius mendukung penuh produsen pertanian dengan berbagai program yang mengarah pada efisiensi dan produktivitas tinggi.
Efisiensi dan produktivitas pertanian berkaitan erat dengan akses petani terhadap sumber daya produksi yaitu lahan, benih, pupuk, dan air. Peningkatan akses mendesak untuk diperkuat dengan sistim pendanaan yang cukup dan birokrasi sederhana.
Akses atas kecukupan lahan sangat penting. Sangat sulit atau bahkan mustahil untuk mendorong petani untuk menjadi produsen yang efisien dan produktif jika lahan yang dikelola sangat kecil seperti kondisi saat ini.
Peningkatan akses lahan menjadi salah satu solusi penting. Kebijakan pemerintahan baru harus mampu membantu menyelesaikan persoalan rendahnya akses petani gurem terhadap lahan pertanian. Penekanan biaya produksi melalui pemanfaatan sumber daya lokal mendesak untuk digarap.
Pengembangan pupuk organik dengan bahan baku lokal yang bisa diperoleh dengan murah akan efektif menekan ongkos produksi. Selain itu, pupuk organik juga ramah lingkungan. Program penambahan dan perbaikan saluran irigasi dan jalan pedesaan juga mendesak. Diperlukan pengembangan sistim pengelolaan dan penyimpanan hasil melalui gudang desa.
Hal yang tidak kalah penting adalah akses informasi dan teknologi baru pertanian. Pengaktifan kelompok dan aosiasi petani serta penyuluhan pertanian sangat diperlukan. Keterpaduan penelitian, pengembangan teknologi dan penyuluhan menjadi sangat penting.Jika pemerintah gagal untuk melakukan berbagai revitalisasi dan reformasi terkait dengan produksi pertanian maka harapan untuk memenangkan persaingan dan meraup keuntungan atas ACFTA hanya akan menjadi mimpi buruk. Efisiensi dan produktivitas yang rendah membuka jalan semakin membanjirnya produk China dan itu akan berarti sebagai lonceng kematian pertanian nasional.

Sumber: DETIK, Selasa, 04/05/2010 07:50 WIB

Bureaucracy behind the One Percent Pass Rate of Foreign Nurses

By
IRIYAMA Akira
(Guest Professor of Cyber University, and Executive Research Advisor of International Development Center of Japan)
Two hundred and fifty four applicants from Indonesia and Philippines who have visited Japan under Economic Partnership Agreement (EPA) sat for Japan's nursing qualification exam. And only three have passed. Given that the pass rate of the exam of foreign applicants was only one percent whereas the overall pass rate of the Japanese applicants is above 90 percent, it is quite clear that the language used in the exam poses a huge barrier to foreign applicants. They have reportedly taken only six months of language training before coming to Japan and then have been left to improve their language skills on their own beside their daily working experience in Japanese hospitals. They are required to pass the test within three years of stay in Japan. Otherwise, they must return home. Things could not have been more wrong.
With the advent of the aging society, apprehensions about shortfalls of nurses and caregivers are being voiced. It is quite uncharacteristic of the government, which is supposed to protect the lives of its citizens, to leave untouched serious capacity shortage of nursery school, while concerns of rapid aging and low birthrate are being raised. In short, the government is only good at mouthing empty slogans and rhetoric and is unwilling to make sincere efforts to put them into practice. Thus it would end up leaving the entire tasks to bureaucrats. That is what is behind the one percent pass rate of foreign nurses.
Most of the foreign applicants already possess nursing qualifications in their own countries. Then, it is obvious that their Japanese language skill matters. It does not take a capable government official to understand that nursing requires exquisite language skill. While it is quite doubtful whether foreigners can master even the basic spoken Japanese within a year or two, those foreign nurses are required to be familiar with medical terms and acquire communicative skills so that they can tell the nature of pains their patients suffer, whether it is sharp, dull or throbbing. It is quite clear what has to be done to rectify the situation.
Meticulosity in business costs money. And seeking perfection is too demanding especially to today's Japan which is on the brink of financial collapse. However, the worst type of measures to be taken would be to resort to makeshift settlement, just as in the case of the ongoing introduction of foreign nurses to Japan. Money has been spent, but it is good for nobody. Coming under pressure of the Indonesian government, the Ministry of Foreign Affairs of Japan overrides the resistance of the Ministry of Health, Labor and Welfare of Japan and proceeds to conclude an EPA with Indonesia. The Ministry of Health, Labor and Welfare quite reluctantly undertakes the task of implementing concrete measures. True, the field has been ploughed but the seeds have been forgotten. It is a project sizably financed from the government fund but is to the satisfaction of nobody involved (except those three who passed the exam, probably). It would be far more important to bring it all down to earth than to mouth such empty slogans as "opening up the bureaucracy" or "opening up our future." That is what true leadership is supposed to be.
Source: The BBS "Hyakka-Somei" of CEAC on 30 March, 2010, and was posted on "CEAC Commentary" on 27 April, 2010.