Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Wednesday, 16 August 2017

MANUAL AVIAN INFLUENZA



1. Sifat Alami Agen

Virus AI mudah mati oleh panas, sinar matahari dan desinfektan (deterjen, ammonium kuartener, formalin 2-5%, iodium kompleks, senyawa fenol, natrium/alium hipoklorit). Panas dapat merusak infektifitas virus AI. Pada suhu 56ºC, virus AI hanya dapat bertahan selama 3 jam dan pada 60ºC selama 30 menit. Pelarut lemak seperti deterjen dapat merusak lapisan lemak ganda pada selubung virus. Kerusakan selubung virus ini mengakibatkan virus influenza menjadi tidak infektif lagi. Faktor lain adalah pH asam, nonisotonik dan kondisi kering. Senyawa ether atau sodium dodecylsulfate akan mengganggu amplop tersebut, sehingga merusak protein hemaglutinin dan neuramidase. Media pembawa virus berasal dari ayam sakit, burung, dan hewan lainnya, pakan, kotoran ayam, pupuk, alat transportasi, rak telur (egg tray), serta peralatan yang tercemar. Strain yang sangat ganas (virulen) dan menyebabkan Flu Burung adalah subtype A H5N1. Virus tersebut dapat bertahan hidup di air sampai 4 haripada suhu 22°C dan lebih dari 30 hari pada 0°C.

2. Spesies Rentan

Burung-burung liar, itik, burung puyuh, babi, kucing, kuda, ayam petelur, ayam pedaging, ayam kampung, entok, angsa, kalkun, burung unta, burung merpati, burung merak putih, dan burung perkutut serta manusia.

3. Pengaruh lingkungan

Virus AI dikenal sebagai virus yang mudah mengalami mutasi, yaitu perubahan yang menyangkut nukleotida atau asam amino di dalam gen. Pengaruh perjalanan waktu dan perbedaan inang telah menyebabkan perubahan tersebut terjadi. Sebagai contoh, subtipe H5N1 yang menginfeksi manusia di Hongkong pada 1997 mengandung 8 segmen gen virus AI yang berasal dari unggas di Eurasia. Meskipun virus ini berhasil dimusnahkan dengan jalan membakar semua unggas yang ada di Hongkong, tetapi gen HA muncul sebagai donor pada H5N1 angsa di Cina bagian Tenggara. Munculnya genotipe baru ini sangat mematikan pada ayam tetapi tidak pada itik. Selama 5 tahun berikutnya tidak ada variasi genetik dan baru pada akhir 2002 terjadi mutasi. Tampaknya mutasi H5N1 ini menjadi cikal bakal flu burung di Asia, terbukti menimbulkan kematian ayam dan korban jiwa manusia

4. Sifat Penyakit

Berdasarkan patotipenya, virus AI dibedakan menjadi Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) atau tipe ganas dan Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) atau tipe kurang ganas. Tanda yang paling menciri untuk HPAI adalah tingkat kematian yang tinggi yang mencapai 100%. Selama ini virus AI yang bersifat HPAI adalah H5 dan H7. Karena mudah bermutasi maka keganasan virus AI ditentukan oleh waktu, tempat dan inang yang terinfeksi. Artinya walaupun sama-sama H5 yang menginfeksi belum tentu menunjukkan keganasan yang sama. Target jaringan atau organ dari virus ini dapat mempengaruhi patogenisitasnya. Virus yang terbatas menyerang saluran pernapasan atau pencernaan akan menyebabkan penyakit yang berbeda dengan yang bersifat sistemik atau mencapai organ vital lainnya. Sebagian besar jenis unggas air liar lebih resisten dibanding unggas piaraan. Virus AI pada unggas liar mungkin tidak menimbulkan gejala sakit, tetapi dapat menjadi sangat ganas pada ayam ras maupun bukan ras.Virus influenza tergolong virus dengan genom bersegmen, sehinga mudah mengalami mutasi. Mutas dapat terjadi melalui proses antigenic drift dan antigenic shift, sehingga sulit dikenal oleh sistem kekebalan inang.

a. Antigenic drift

Antigenic drift merupakan keadaan di mana virus AI mengalami mutasi dengan adanya perubahan urutan nukleotida pada gen HA atau NA atau keduanya. Sifat virus ini selalu dikaitkan dengan timbulnya suatu epidemi dari penyakit tersebut. Walaupun subtipenya sama, tetapi mempunyai nilai homologi yang berbeda di antara subtipe tersebut. Berkaitan dengan reaksi netralisasi yang dilakukan oleh antibodi maka terlihat sangat erat hubungannya dengan epitop (antigenic determinant) yang dimiliki oleh protein HA dan NA. Protein permukaan HA memiliki 5 epitop dan protein NA memiliki 4 epitop. Bila terjadi mutasi pada gen HA dan NA, karena sifat antigenic drift, maka dapat merubah susunan atau bahkan menghilangkan epitop yang terdapat pada HA dan NA, sehingga tidak dapat dikenali oleh antibodi yang sudah ada di dalam tubuh unggas dan tidak bisa diatasi oleh vaksin yang ada.

b. Antigenic shift

Antigenic shift merupakan aktivitas rekombinan dari dua macam virus influenza A yang menghasilkan segmen gen baru. Aktivitas ini mengakibatkan antibodi yang sudah terbentuk di dalam tubuh tidak dapat menetralkan sama sekali virus baru tersebut. Hasil dari rekombinasi ini akan menghasilkan subtipe baru yang dapat menimbulkan pandemi.

5. Cara Penularan

Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dari unggas terinfeksi dan unggas peka melalui saluran pernapasan, konjungtiva, lendir dan feses; atau secara tidak langsung melalui debu, pakan, air minum, petugas, peralatan kandang, sepatu, baju dan kendaraan yang terkontaminasi virus AI serta ayam hidup yang terinfeksi. Unggas air seperti itik dan entog dapat bertindak sebagai carrier (pembawa virus) tanpa menujukkan gejala klinis. Unggas air biasanya berperan sebagai sumber penularan terhadap suatu peternakan ayam atau kalkun.

Penularan secara vertikal atau konginetal belum diketahui, karena belum ada bukti ilmiah maupun empiris. Masa inkubasi bervariasi dari beberapa jam sampai 3 (tiga) hari pada individual unggas terinfeksi atau sampai 14 hari di dalam flok.  Burung migrasi, manusia dan peralatan pertanian merupakan faktor beresiko masuknya penyakit.  Pasar burung dan pedagang pengumpul juga berperanan penting bagi penyebaran penyakit.  Media pembawa virus berasal dari ayam sakit, burung, dan hewan lainnya, pakan, kotoran ayam, pupuk, alat transportasi, rak telur (egg tray), serta peralatan yang tercemar. Manusia menyebarkan virus ini dengan memindahkan dan menjual unggas sakit atau mati.

6. Distribusi Penyakit

Di Indonesia, avian influenza mewabah sejak pertengahan tahun 2003. Selain menyerang unggas, virus AI juga menginfeksi manusia, sehingga membuat Indonesia menjadikan satu-satunya negara dengan angka kejadian dan kematian tertinggi di dunia. Jenis hewan yang tertular adalah ayam layer di peternakan komersial. Penyebaran secara cepat terutama melalui perdagangan unggas. Dari bulan Agustus 2003 sampai Februari 2004 terjadi wabah penyakit unggas yang menyebabkan kematian unggas sebesar 6,4% dari populasi unggas di wilayah seluruh Propinsi yang ada di Pulau Jawa, Propinsi Kalimantan Selatan, Propinsi Bali, Propinsi Kalimantan Tengah dan Propinsi Lampung. Spesies unggas tertular yang dilaporkan adalah ayam petelur (layer), ayam pedaging (broiler), ayam buras, itik, entok, angsa, burung unta, burung puyuh, burung merpati, burung merak putih, burung perkutut.

Pada bulan April 2005 dilaporkan meningkat secara sporadis dan lebih banyak menyerang ayam buras dan burung puyuh di beberapa daerah tertular di P. Jawa, Sumatera Utara, dan Kaltimantan Timur, hingga akhir bulan Juli 2005, terjadi di 21 propinsi, 136 kabupaten/kota. Sementara itu berdasarkan laporan dari Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Utara, di Kabupaten Tapanuli Utara masih terdapat kasus kematian pada ayam buras sejumlah 200 ekor, sedangkan di Kota Jambi dan Kabupaten Batanghari jumlah kematian unggas pada bulan Juli 2005 sebanyak 233 ekor. Propinsi Nangroe Aceh Darussalam, Riau, Kep. Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Bali, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, dilaporkan masih terdapat kasus kematian unggas hinnga bulan Desember 2005.

Penetapan daerah tertular avian influenza dilakukan berdasarkan adanya laporan kasus kematian unggas yang disebabkan oleh virus avian influenza dengan diagnosa klinis, patologi anatomi, epidemiologis, dan dikonfirmasi secara laboratoris.

A. PENGENALAN PENYAKIT

1.  Gejala Klinis

Gejala klinis yang terlihat pada ayam penderita HPAI antara lain adalah, jengger, pial, kelopak mata, telapak kaki dan perut yang tidak ditumbuhi bulu terlihat berwarna biru keunguan. Adanya perdarahan pada kaki berupa bintik-bintik merah (ptekhie) atau biasa disebut kerokan kaki. Keluarnya cairan dari mata dan hidung, pembengkakan pada muka dan kepala, diare, batuk, bersin dan ngorok. Nafsu makan menurun, penurunan produksi telur, kerabang telur lembek. Adanya gangguan syaraf, tortikolis, lumpuh dan gemetaran. Kematian terjadi dengan cepat. Sementara itu pada LPAI, kadang gejala klinis tidak terlihat dengan jelas.  Gejala klinis pada ayam.terdapat : a) cyanosis pada kepala, b) perdarahan pada kaki, c) keluarnya cairan dari hidung dan paruh, d) pebengkakan pada kepala.

2.  Patologi

Pada nekropsi (bedah bangkai) yang terlihat adalah perdarahan umum, edema, hiperemi atau ptekhie pada hampir seluruh bagian tubuh, kondisi ini sangat sulit dibedakan dari ND ganas. Selain itu ditemukan edema subkutan. Perubahan pada nekropsi mungkin sangat bervariasi sejalan dengan umur, spesies, dan patogenisitas virus. Beberapa ciri lesi tipikal dapat berupa, edema subkutan pada daerah kepala dan leher, kongesti dan ptekhie konjunctiva, trakea dilapisi mukus atau hemorragik, kongesti dan timbunan urat dalam ginjal, ptekhie pada proventrikulus, tembolok, usus, lemak abdominal dan peritoneum. Ovarium pada ayam petelur terlihat hemorragik atau nekrotik, kantung telur terisi dengan kuning telur yang ruptur sehingga sering terlihat adanya peritonitis dan peradangan pada kantung udara. Sering pada ayam muda yang mati perakut terlihat adanya dehidrasi dan kongesti otot yang parah.  Perubahan patologi ayam broiler terserang HPAI terdapat : a) perdarahan pada otot, b) kongesti paru, c) ptechi pada kloaka.

Bentuk Ringan
Terjadi radang nekrotik pada proventikulus dekat perbatasan dengan ventrikulus, pankreas bewarna merah tua dan kuning muda, terdapat eksudat (kataralis, fibrinous, serofibrinous, mukopurulen atau kaseus) pada trachea, penebalan kantong udara berisi eksudat fibrinous atau kaseus, peritonitis fibrinous dan peritonitis, enteritis kataralis sampai fibrinous dan terdapat eksudat di dalam oviduct.

Bentuk Akut
Bila mati dalam waktu singkat tidak akan ditemukan perubahan makroskopik tertentu. Pada stadium awal terlihat edema kepala yang disertai dengan pembengkakan sinus, sianosis, kongesti dan hemorragik pada pial dan jengger, kongesti dan haemorrhagi pada kaki, dan nekrosis pada hati, limpa, ginjal serta paru-paru.

3. Diagnosa
Diagnosa lapangan dengan melihat gejala klinis dan patologi anatomi. Secara laboratorium diagnosa dapat ditegakkan secara virologis dengan cara inokulasi suspensi spesimen (suspensi swab hidung dan trakea, swab kloaka dan feses atau organ berupa trakea, paru, limpa, pankreas dan otak) pada telur berembrio umur 9 – 11 hari (3 telur per spesimen). Identifikasi dapat dilakukan secara serologis, antara lain dengan uji Agar Gel Immunodifusion (AGID), uji Haemagglutination Inhibition (HI). Penentuan patogenisitas virus dilakukan dengan cara menyuntikkan isolat virus dari cairan alantois secara intravena (IV) pada 10 ekor anak ayam umur 6 minggu atau 4 – 8 minggu. Jika mati 6 ekor atau lebih dalam 10 hari, atau Intravena patogenicity index (IVPI) > 1,2 dianggap HPAI. Secara molekuler keberadaan virus AI dapat dideteksi dengan reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR), real time RT-PCR atau sekuensing genetik.

4.  Diagnosa Banding
Avian Influenza sering dikelirukan dengan Newcastle Disease (ND), Infectious Laryngotrachaetis (ILT), Infectious Bronchitis (IB), Fowl cholera dan infeksi  Escherichia coli.

5.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Spesimen yang diambil untuk uji serologi adalah serum, sedangkan untuk uji virologi adalah swab hidung dan trakea, swab kloaka dan feses, paru, limpa, pankreas dan otak. Baik jaringan organ segar maupun spesimen swab harus dikirim dalam media transpor ke laboratorium. Pengiriman spesimen harus dijaga dalam keadaan dingin dan dikirimkan ke Laboratorium Veteriner setempat .

E. PENGENDALIAN

1. Pengobatan

Belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan Avian Influenza. Usaha yang dapat dilakukan adalah membuat kondisi badan ayam cepat membaik dan merangsang nafsu makannya dengan memberikan tambahan vitamin dan mineral, serta mencegah infeksi sekunder dengan pemberian antibiotik.  Dapat pula diberikan pemanasan tambahan pada kandang.

2.  Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan

a.  Pelaporan
Jika ditemukan kasus AI dapat dilaporkan kepada Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan terkait dan selanjutnya diteruskan kepada Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Peneguhan diagnosa dilakukan oleh Laboratorium Veteriner terakreditasi.

b.  Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan

Pelaksanaan pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit dilakukan berdasarkan Kepdirjennak No: 17/Kpts/PD.640/F/02.04 tanggal 4 Februari 2004 tentang Pedoman Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular Influenza pada Unggas (Avian Influenza (Kepdirjennak No: 46/Kpts/PD.640/F/04.04 Kepdirjennak No: 46/PD.640/F/08.05), terdapat 9 Strategi pengendalian Avian Influenza, yaitu:

1) Biosekuriti

Biosekuriti merupakan suatu tindakan untuk mencegah semua kemungkinan penularan (kontak) dengan peternakan tertular dan penyebaran penyakit melalui: pengawasan lalu lintas dan tindak karantina (isolasi) lokasi peternakan tertular dan lokasi tempat-tempat penampungan unggas yang tertular, dekontaminasi (desinfeksi). Jenis desinfektan yang dapat digunakan misalnya asam parasetat, hidroksi peroksida, sediaan amonium quartener, formaldehide (formalin 2-5%), iodoform kompleks (iodine), senyawa fenol, natrium (kalium) hipoklorit.

2)  Pemusnahan unggas selektif (depopulasi) di daerah tertular

Pemusnahan selektif (depopulasi) merupakan suatu tindakan untuk mengurangi populasi unggas yang menjadi sumber penularan penyakit dengan jalan eutanasia dengan menggunakan gas CO2 atau menyembelih semua unggas hidup yang sakit dan unggas sehat yang sekandang. Cara yang kedua adalah disposal, yaitu prosedur untuk melakukan pembakaran dan penguburan terhadap unggas mati (bangkai), karkas, telur, kotoran (feses), bulu, alas kandang (sekam), pupuk atau pakan ternak yang tercemar serta bahan dan peralatan terkontaminasi lainnya yang tidak dapat didekontaminasi (didesinfeksi) secara efektif. Lubang tempat penguburan atau pembakaran harus berlokasi di dalam areal peternakan tertular dan berjarak minimal 20 meter dari kandang tertular dengan kedalaman 1,5 meter. Apabila lubang tempat penguburan atau pembakaran terletak di luar peternakan tertular, maka harus jauh dari pemukiman penduduk dan mendapat ijin dari Dinas Peternakan setempat.

3) Vaksinasi

Vaksinasi dilakukan karena kebanyakan masyarakat Indonesia memelihara ayam tanpa dikandangkan, sehingga kemungkinan terinfeksi virus dari alam akan lebih besar. Tujuan pelaksanaan vaksinasi adalah untuk mengurangi jumlah hewan yang peka terhadap infeksi dan mengurangi sheding virus atau virus yang dikeluarkan dari hewan tertular sehingga mengurangi kontaminasi lingkungan (memutus mata rantai penyebaran virus AI). Dalam pelaksanaan vaksinasi, daerah yang divaksinasi harus dipastikan bukan daerah tertular, atau baru terjadi kejadian kasus aktif HPAI, mengikuti acuan teknis penggunaan vaksin yang dikeluarkan oleh produsen vaksin yg tertulis dlm brosur, memastikan unggas yang akan divaksin berada pada flok dan lingkungan yg sehat, serta unggas dalam keadaan sehat, jarum suntik harus diganti dan disucihamakan dalam alkohol 70% serta mencatat detail vaksinasi pada lembar registrasi. Dosis vaksinasi yang disarankan adalah 0,5 ml untuk unggas dewasa dengan rute intra musculer, sedangkan unggas muda 0,2 ml dengan rute sub kutan. Jenis vaksin yang digunakan berdasarkan rekomendasi OIE, yaitu vaksin konvensional berupa vaksin inaktif, atau vaksin rekombinan (vaksin dengan vektor virus Fowlpox (Pox-AI:H5) atau vaksin subunit yang dihasilkan oleh ekspresi Baculovirus yang hanya mengandung antigen H5 atau H7.  Kebijakan vaksinasi saat ini adalah menggunakan vaksin yang sudah mendapatkan registrasi, diperuntukkan peternakan sektor 1, 2 dan 3 swadaya, serta peternakan sektor 4 dibantu pemerintah.

Evaluasi program vaksinasi AI dilakukan melalui:

a). Rasional Vaksinasi: Vaksinasi menurunkan kepekaan terhadap infeksi dan mengurangi pengeluaran virus dari tubuh unggas (baik dalam waktu dan jumlah), sehingga merupakan alat yang tepat untuk menurunkan insidens kasus baru dan sirkulasi virus di lingkungan;

b). Syarat Suksesnya Program Vaksinasi: Vaksinasi harus dianggap sebagai alat untuk memaksimalkan tindakan biosekriti dan bisa dikombinasikan dengan surveilans untuk mendeteksi secara cepat setiap perubahan dari antigenik virus yang bersirkulasi.

4) Pengendalian lalu lintas
Pengendalian lalulintas ini meliputi pengaturan secara ketat terhadap pengeluaran dan pemasukan unggas hidup, telur (tetas dan konsumsi) dan produk unggas lainnya (karkas / daging unggas dan hasil olahannya), pakan serta limbah peternakan; pengawasan lalu lintas antar area; pengawasan terhadap pelarangan maupun pembatasan lalu lintas.

5) Surveilans dan Penelusuran
Surveilans merupakan kegiatan yang dilakukan secara teratur untuk mengetahui status kesehatan hewan pada suatu populasi. Sasarannya adalah semua spesies unggas yang rentan tehadap penyakit dan sumber penyebaran penyakit. Dalam melakukan surveilans harus dilakukan penelusuran untuk menentukan sumber infeksi dan menahan secara efektif penyebaran penyakit dan dilakukan minimum mulai dari periode 14 hari sebelum timbulnya gejala klinis sampai tindak karantina mulai diberlakukan. Tujuan utama dari surveilan AI adalah untuk memberikan informasi yang akurat tentang tingkat penyakit AI dan faktor faktor penyebabnya dalam populasi untuk tujuan pencegahan, pengendalian dan pemberantasan.

6) Peningkatan kesadaran masyarakat (Public Awareness)

Merupakan sosialisasi (kampanye) penyakit AI kepada masyarakat dan peternak. Sosialisasi dilakukan melalui media elektronik, media massa maupun penyebaran brosur (leaflet) dan pemasangan spanduk, agar masyarakat tidak panik

7) Pengisian kembali (Restocking) unggas

Pengisian kembali (restocking) unggas ke dalam kandang dapat dilakukan sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan setelah dilakukan pengosongan kandang dan semua tindakan dekontaminasi (desinfeksi) dan disposal selesai dilaksanakan sesuai prosedur.

8) Pemusnahan unggas secara menyeluruh (stamping out) di daerah tertular baru

Apabila timbul kasus AI di daerah bebas atau terancam dan telah didiagnosa secara klinis, patologi anatomis dan epidemiologis serta dikonfirmasi secara laboratoris maka dilakukan pemusnahan (stamping out) yaitu memusnahkan seluruh ternak unggas yang sakit maupunyang sehat dalam radius 1 km dari peternakan tertular tersebut.

9) Monitoring, Pelaporan dan Evaluasi

Monitoring adalah usaha yang terus menerus yang ditujukan untuk mendapatkan taksiran kesehatan dan penyakit pada populasi yang dilakukan oleh pusat dan daerah serta laboratorium (BPPV/BBV). Pelaporan meliputi laporan situasi penyakit dan perkembangan pelaksanaan, pengendalian dan pemberantasan penyakit. Pelaksanaan evaluasi dilakukan setelah selesai kegiatan operasional lapangan. Materi yang penting diantaranya adalah penyediaan dan distribusi sarana (vaksin, obat, peralatan dan lain-lain), realisasi pelaksanaan opersional (vaksinasi, pengamatan, diagnosa, langkah-langkah/tindakan yang telah diambil dalam pengendalian dan pemberantasan) serta situasi penyakit (sakit,mati, stamping out, kasus terakhir) dan lain-lain.

F. DAFTAR PUSTAKA

Anonim 2005. Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular,Seri Penyakit Avian Influenza (AI) Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian Jakarta. Hal 43 – 49.

Anonim 2005. Manual Standar Kesehatan Hewan, Edisi Pedoman Surveilans dan Monitoring Avian Influenza di Indonesia, Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta. Hal 1-4.

Beard CW 2003. Avian Influenza (Fowl Plaque).Shouthest Poultry Research Laboratory, Athens, GA.

Chen H, G Deng, Z Li, G Tiam, Y Li, P Jiao, L Zhang, Z Liu, RG Webster, and K
Yu 2004. The evolution of H5N1 influenza viruses in ducks in Southern China. Microbiology 101 : 10451-10457.

Fouchier RAM, V Munster, A Wallenstens, TM Bestebroer, S Hersfst, D Smith, GF Rimmelzwaan, B Olsen, and ADME Osterhaus 2005. Characterization of novel influenza A virus hemagglutinin subtype (H16) obtained black-headed gulls. J Virol 79 (5) : 2814-2822.

Horimoto T, and Y Kawaoka 2001. Pandemic threat posed by avian influenza A viruses. Clin Microbiol Rev. 14 : 129-149.

Howes J, D Bakewell, dan YR Noor 2003. Panduan studi burung pantai. Wetlands International – Indonesia Programme, Bogor.

Karasin AI, K West, S Carman, and CW Olson 2004. Characterization of avian H3N3 and H1N1 influenza A viruses isolated from pigs in Canada. J Clin Microbiol 42 : 4349 - 4354.

Krafft, AE, KL Russell, AW Hawksworth, S McCall, M Irvine, LT Daum, JL Taubenberger 2005. Evaluation of PCR testing of ethanol-fixed nasal swab specimens as an augmented surveillance strategy for influenza virus and adenovirus identification. J Clin Microbiol 43 : 1768-1775.

Lipatov, AS, EA Govorkova, RJ Webby, H Ozaki, M Peiris, Y Guan, L Poon, and RG Webster 2004. Influenza : emergence and control. J Virol 78 : 8951-8959.

OIE 2002. Highly pathogenic avian influenza. World Organization for Animal Health. Terhubung berkala : http://.oie.int/.

Anonim 1996. Manual of Standards for Diagnostic Tests and Vaccines. Office International des Epizooties. World organization for animal health. 161-169.

Herendra D 1994. Manual on Meat Inspection for Developing Countries, Food and Agriculture Organization of The United Nations, Rome.

Tabbu CR 2000. Penyakit ayam dan Penanggulangannya. Penyakit Bakterial, Mikal dan Viral. Volume 1. Penerbit kanisius, Yogyakarta.


Sumber :
Manual Penyakit Unggas, Direktorat kesehatan Hewan, Direktorat jenderal Peternakan dan Kesehatan hewan, tahun 2012.