Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Tuesday, 31 May 2011

79th Annual General Session of OIE

79th Annual General Session of the world Assembly of the World Organization for Animal Health (OIE)

22 – 27 May 2011

The World is Free from Rinderpest: OIE Completed Global Free Status Recognition

Resolution 18/2011 recognizes all 198 countries with Rinderpest - Susceptible Animal Population in the World are Free of the Disease

Paris, 27 May 2011

The OIE national delegates used the OIE Rinderpest Pathway to complete the recognition of the last handful of OIE member and non-member countries’ free status, based on a strict control of their epidemiological situation.

Resolution 18/2011, officially recognizing all 198 countries of the world with Rinderpest-susceptible animal populations are free of the disease, was unanimously adopted.

Official recognition of members disease status

The delegates also approved the new list of countries and zones that had applied for official OIE recognition of their status with respect to the other priority diseases: bovine spongiform encephalopathy (BSE), foot and mouth disease (FMD) and contagious bovine pleuropneumonia (CBPP).

With regard to BSE, the OIE newly recognized Denmark and Panama as having a “negligible risk” status, both countries were until now recognized as having a “controlled BSE risk status”.
Japan, Bostwana, the Philippines, Argentine, Bolivia, Brazil, Paraguay were recognized as being “free of foot and mouth disease, with or without vaccination, for all or a part of their territory”.
Finally China (People’s Republic of) was recognized as free of CBPP.

Countinuously developing, reviewing and updating international standards on animal health, food safety and animal welfare

Within the framework of its annual standard-setting work, the Assembly adopted and/or updated different chapters of the OIE Terrestrial and Aquatic Animal Health Code among which:
- The Reconition pathway for official FMD control programmes implemented by Members;
- Inclusion of some relevant wildlife species in the disease chapters of the Code,
- The first Code chapter on communication.

At the request of OIE Members key animal health and welfare issues were debated in view of future addition to the OIE Terrestrial Animal Health Code:
- All Chapters on diseases of bees and;
- (A first chapter on animal welfare in broiler chicken production systems);
- They also addressed the chapter on the canine strain of rabies wich is responsible for most of human cases of the disease, so as to give greater consideration to public health concerns in the OIE Code.

A global review of the world animal health situation

The world wide animal health situation concerning 118 diseases of terrestrial or aquatic animals was examined in detail with OIE Members during the Session. Outbreaks of foot and mouth disease, avian influenza, rabies, oyster diseases, African swine fewer have topped discussions.

Technical Items

Two technical items on key issues of interest for the international community in the field of animal health and welfare were debated during the session:
- Contribution of veterinary activities to global food security for food derived from terrestrial animals.

The study showed that veterinarians play a pivotal role in all stages of the food chain namely production, processing, transport, and distribution of products of animal origin, therefore representing major contributors to world food security and safety.
- Implementation of a global strategy for FMD control
Discussions led OIE national delegates endorsing a global strategy for FMD control that would soon be officially launched. Resolutions have been discussed and adopted in order to address the concerns to be solved.

The OIE is all about science and capacity building

The delegates welcomed the north-south or south-south twinning of 38 laboratories within the framework of OIE’s Twinning Programme. The programme encourages the exchange of competencies and experience between existing OIE Reference Laboratories and Collaborating Centres, and candidate laboratories in in-transition or developing countries with the ultimate objective to build a veterinary scientific community in developing and in-transition countries, the benefit being better diagnostic of animal diseases and better participation by Members in the standard-setting procedures.

The delegates also accredited 3 new Collaborating Centres and 11 new Reference Laboratories, bringing the number of official centres of scientific excellence within the OIE woldwide network to 263.

Furthermore in line with OIE’s continuous engagement to support Veterinary Services comply with OIE standards on quality, 102 PVS (Performance of Veterinary Services) independent evolutions made by OIE accredited experts have been implemented worldwide to date, as well as 37 PVS Gap analysis missions and 20 missions supporting the modernization of legislation.

Other notable events marked the proceedings of the Assembly, including the nomination of Myanmar for the world Veterinary Day Award 2011 for its successful celebration of world Veterinary Day under the theme: “Rabies”. The prize will be presented at the World Veterinary Congress to be held in South Africa in October 2011.

The OIE Gold Medal was given to Dr. Barry O’Neil from New Zealand and past President of the OIE Council.

Cooperation agreements aimed at strengthening collaboration on topics of mutual interest were signed during the meeting between the OIE and several other international, regional or private-sector organizations.

Around 600 participants, representing OIE members and intergovernmental (FAO, WHO, world Bank, WTO, etc.), regional and national organizations took part in the event. High-ranking authorities including the President of the Republic of Paraguay and nomerous Ministers of OIE Members and leaders from international organizations honoured the Assembly with their presence.

Source: World Oragnisation for Animal Health, OIE

Thursday, 26 May 2011

Planet Bumi Resmi Bebas Rinderpest pada 25 Mei 2011

Bumi kita ini telah diresmikan bebas dari penyakit hewan yang ganas Rinderpest yang diumumkan secara resmi pada jam 12:30 waktu Prancis hari Rabu tanggal 25 Mei 2011 pada sidang Umum OIE yang ke 79 di Paris.

Pengumuman Resmi ini dicatat pada Resolusi OIE, tahun 2011 pada Sidang Umum Organisasi Kesehatan Hewan Dunia OIE ke 79.

Pembebasan Rinderpest ini atas hasil kerja sama yang keras yang berlangsung lama antara OIE dan FAO dengan peran aktif para anggota OIE serta dukungan seluruh negara di permukaan bumi ini.

Joint Scientific Committee FAO-OIE telah menjalin kerjasama dengan saling penuh kepercayaan dan semangat persahabatan.

Kerja keras yang dilakukan terus menerus menggunakan jalan yang menjadi kunci sukses yang selalu dipegang teguh oleh ke dua organisasi dunia tersebut:

1) melakukan dialog terbuka untuk memperoleh masukan dari berbagai kalangan,
2) menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan melibatkan para ahli penyakit hewan di seluruh dunia,
3) membuat kesepakatan bersama melalui kongres,
4) melakukan kerjasama dengan para penyandang dana secara terprogram,
5) melaksanakan program vaksinasi, monitoring dan evaluasi yang ketat dan berkesinambungan,
6) melibatkan peran aktif Pemerintah, Laboratorium Veteriner, organisasi internasional, regional dan nasional serta berbagai komponen masyarakat termasuk para peternak.

Selamat......Selamat......Selamat........atas keberhasilan kerjasamanya.
Semoga kerjasama makhluk manusia di muka bumi ini akan terjalin dengan baik dan berkelanjutan untuk menghandapi tantangan Keamanan Pangan dan Ketahanan Pangan dunia.

Sumber: Laporan Langsung peserta Sidang Umum OIE ke 79 di Paris.

Friday, 20 May 2011

Limbah Cair Pati Kasava sebagai Substrat Nata De Cassava

Pendahuluan

Nata de Cassava bisa dijadikan makanan desert (pencuci mulut) karena selain rasanya enak juga mengandung serat tinggi yang dapat membantu pencernaan. Nata de Cassava dengan kandungan kalori yang rendah sehingga dapat menjadi pilihan dijadikan makanan diet.

Penampilan makanan ini sangat menarik dengan nilai estetika tinggi berwarna putih agak bening, tekstur kenyal, dan aroma segar. Sehingga Nata de Cassava menjadi makanan desert memiliki daya tarik yang tinggi.

Pembuatan nata yang diperkaya dengan vitamin dan mineral akan mempertinggi nilai gizi dari produk ini.

Apabila diproduksi dengan serius, Nata de Cassava menjanjikan nilai tambah yang tinggi.

Nata dibentuk oleh bakteri asam asetat yang mengubah cairan yang mengandung gula, sari buah atau ekstak tanaman. Terdapat beberapa spesies bakteri asam asetat yang dapat membentuk selulosa antara lain A. Xylinum. Bakteri ini masuk dalam genus Acetobacter dengan sifat Gram negatif, aerob, berbentuk batang pendek atau kokus.

Nata de Cassava dibuat dengan menggunakan limbah kasava. Adanya gula dalam limbah cair kasava akan dimanfaatkan oleh A. Xylinum sebagai sumber energi dan sumber carbon untuk membentuk senyawa metabolit selulose yang membentuk Nata de Cassava. Senyawa mineral dalam substrat akan membantu meningkatkan aktifitas enzim Kinase dalam metabolisme di dalam sel A. Xylinum untuk menghasilkan selulosa.

Dengan pertimbangan di atas maka pemanfaatan limbah padat/onggok dan limbah cair merupakan upaya pemanfaatan limbah menjadi produk yang memiliki nilai tambah.

Fermentasi Nata de Cassava dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:

1. Peralatan yang diperlukan

a. Kompor
b. Panci
c. Gelas ukur 1 l dan 250 ml
d. Pengaduk
e. Pisau
f. Plastik kemasan ½ kg dan 1 kg
g. Saringan air kelapa/ayakan tepung
h. Nampan
i. Tali karet
j. Ember
k. Timbangan Kue
l. Sealer

2. Bahan yang diperlukan

a. Limbah cair 25 liter
b. Asam cuka (asam asetat 25%) / Asam cukla dapur
c. ZA 50 g
d. Sirup
e. Kap gelas 200 ml
f. Sendok plastik

3. Pemeliharaan Biakan murni A. Xylinum

Biakan murni A. Xylinum ditumbuhkan pada suhu kamar selama 2-3 hari dalam media agar miring Hassid Barker Agar (HBA) dengan komposisi sukrosa 10%, (NH4)2SO4 0,6 g/L, K2HPO4 5,0 g/L, ekstak Khamir 2,5 g/L 2% asam asetat glasial, agar Difco 15 g/L.

Biakan yang telah ditumbuhkan siap untuk kerja dan sebagian disimpan untuk stok dalam bentuk kering beku.

4. Persiapan Substrat dari Limbah cair Produksi Tapioka

a. 25 L limbah cair tapioka disaring
b. Ditambahkan gula pasir 2,5% (25 g setiap liter limbah cair tapioka)
c. Diaduk hingga merata
d. Didihkan
e. Ditambahkan asam asetat glasial 25% (cuka makan) sebanyak 20 ml/Liter (2,0 % (V/V).
f. Disaring dengan saringan kelapa / ayakan
g. Filtrat digunakan sebagai substrat
h. Tambahkan ZA sebanyak 2 g untuk setiap 1 liter substrat
i. Diaduk sambil dididihkan selama 15 menit.

5. Penyiapan Starter

a. Substrat didihkan selama 15 menit
b. Dinginkan hingga suhu 40 C
c. 300 ml substrat masukan dalam botol streril ukuran botol 500 ml
d. Inokulasikan 2 ose Bakteri A. Xylinum
e. Substrat digojog menggunakan shaker dengan kecepatan 140 rpm. Atau manual diguncang setiap 2-4 jam.
f. Diinkubasikan pada suhu kamar selama 2 hari.

6. Fermentasi

a. Substrat didihkan selama 15 menit
b. Tuangkan substrat dalam nampan yang steril dengan kedalaman 1,5 cm
c. Tambahkan starter sebanyak 10% (V/V)
d. Diaduk hingga mesra / rata
e. Ditutup dengan kertas koran / kain kasa
f. Ditutup dengan menggunakan kain bersih untuk menghindari kontaminasi
g. Diinkubasi / diperam tanpa diguncang pada suhu kamar selama 7 – 8 hari

7. Pengolahanan Nata de Cassava

a. Nata de Cassava dipanen, dipotong-potong seperti kubus dengan sisi 1 – 1,5 cm.
b. Dicuci dengan air bersih
c. Direndam dalam air bersih selama 30 – 60 menit.
d. Dibilas 3 – 4 kali hingga bau hilang
e. Direbus selama 10 menit
f. Rebus selama 15 menit dengan air bergula (500 g gula pasir dalam 5 liter air ditambah vanili atau flavour agent lain)
g. Nata de Cassava didiinginkan

8. Pengemasan

Tujuan pengemasan adalah :
a. Mengawetkan produk sehingga tahan lama dan tidak mudah rusak
b. Memberikan sentuhan nilai estetika sehingga mumpunyai daya tarik
c. Meningkatkan nilai tambah secara ekonomi terhadap produk
d. Memudahkan penyimpanan dan distribusi produk

Tahapan Pengemasan

a. Masukan Nata de Cassava ketika suhu 40 C dalam kemasan plastik secara aseptik
b. Usahakan tidak ada udara tersisa dalam kemasan untuk menghindari tumbuhnya mikroba kontaminan
c. Kemasan ditutup menggunakan sealer
d. Produk dimasukan dalam air dingin hingga menjadi dingin
e. Segera ditiriskan
f. Simpan dalam penyimpanan berpendingin

Sumber : Agro Inovasi, Sinar Tani Edisi 18-24 Mei 2011 no 3406 Tahun XLI

Tuesday, 17 May 2011

Konsorsium Penyewa Lahan Sawah

Satu langkah terobosan diambil pemerintah untuk memenuhi kebutuhan cadangan beras nasional dengan kebijakan menyewa lahan sawah untuk memproduksi padi. Dengan terobosan ini pemerintah sedikit lebih maju dengan langsung terlibat dalam proses produksi beras. Kebijakan ini diberi nama Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Koorporasi. Pemerintah melalui BUMN akan menyewa lahan sawah untuk ditanami padi.

Konsorsium terdiri dari PT. Pertani, PT. Sang Hyang Seri, PT. Pusri, PT. Perhutani dan Perum Bulog. Konsorsium tersebut akan menyewa 500.000 hektar lahan sawah berpengairan teknis dan 70.000 hektar lahan kering. Melalui program ini ditargetkan akan diperoleh pengadaan beras sebanyak 3 juta ton.

Sementara ini disepakati akan ada tiga model kerjasama antara petani dan konsorsium BUMN , yaitu pemberian bantuan sarana produksi yang dibayar sesudah panen, pemberian bantuan langsung, atau menyewa lahan.

Tampaknya dari ketiga model itu pihak konsorsium lebih cenderung memilih model sewa karena pengelolaannya lebih mudah dikontrol. Langkah terobosan ini menjadi alternatif pamungkas setelah Bulog bertahun-tahun Bulog selalu kerepotan memenuhi stok cadangan beras nasional. Langkah ini bisa menjadi jawaban keresahan pemerintah dan masyarakat ketika menyaksikan gudang-gudang beras Bulog kosong. Langkah ini tentu akan berdampak positif, bukan saja ketahanan pangan nasional namun juga pada stabilitas harga beras.

Kita patut menghargai langkah ini karena bisa menjadi bukti bahwa pemerintah masih memiliki komitmen dan kesungguhan untuk tidak lagi bergantung pada beras impor.

Sumber: Sinar Tani Edisi 18-24 Mei 2011 hal. 2.

Wednesday, 11 May 2011

Rekomendasi Rakor Penanggulangan Penyakit Hewan Menular dan Kesmavet

Rapat koordinasi penanggulangan penyakit hewan menular dan kesmavet 1-3 Maret 2011 di Surakart6a diikuti oleh Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Perbibitan, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, BBVet, Balai Karantina Pertanian, Pusvetma, BIB Lembang, BIB Singosari, BET Cipelang, BBPTU Sapi Perah Baturraden, BBalitvet, Fakultas Kedokteran Hewan UGM dan UNAIR, Dinas Peternakan atau yang membidangi fungsi peternakan Propinsi Jawa Timur, JawaTengah, dan DI Yogyakarta, Puskeswan, Lab Keswan / Kesmavet. Setelah mengikuti danmencermati pengarahan dan paparan dari berbagai narasumber, pendapat, saran masukan serta diskusi yang berkembang maupun paparan lainnya selama pertemuan maka disampaikan rekomendasi sebagai berikut :


1. Rencana Kerja Program Kesehatan Hewan tahun 2011 difokuskan pada :
a. Pengendalian dan Pemberantasan PHMS Prioritas Nasional (Rabies, Avian
Influenza, Brucellosis, Anthrax, Hog Cholera, Jembrana)
b. Pembinaan dan Koordinasi Peningkatan Pelayanan Kesehatan Hewan
c. Penguatan Puskeswan
d. Penanggulangan Gangguan Reproduksi (mendukung PSDS/K)
e. Pengawasan Obat Hewan
f. Penguatan Pengujian dan Penyidikan Veteriner


2. Pengendalian dan Pemberantasan PHMS harus diarahkan pada upaya pembebasan
penyakit secara bertahap per tahun per wilayah berdasarkan situasi epidemiologis
penyakit dan geografis wilayah. Untuk itu sangat diperlukan dukungan anggaran dan
komitmen semua pihak terkait, khususnya Direktorat Kesehatan Hewan, Balai Besar
Veteriner Wates Jogjakarta/BPPV, Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan
Kesehatan Hewan, serta Karantina Hewan.


3. Berdasarkan hasil surveilans beberapa penyakit hewan strategis yang berkaitan dengan
Program PSDS/K termasuk penyakit parasiter dan gangguan reproduksi ternyata masih
cukup tingginya angka kasus di lapangan. Hal tersebut dapat mengakibatkan kerugian
ekonomi yang sangat besar oleh karena itu pengendalian dan penanggulangannya
dilaksanakan lebih intensif dengan meningkatkan dukungan anggaran pelaksanaannya
baik di pusat maupun di daerah.


4. Direktorat Kesehatan Hewan perlu melakukan bimbingan analisis resiko kepada Provinsi
dan Kabupaten/Kota, dan UPT bidang perbibitan dalam rangka penyelenggaraan
Otoritas Veteriner antara lain pengaturan lalu lintas hewan dan pembebasan,
pengendalian dan penanggulangan penyakit dengan pendekatan perwilayahan (zoning).


5. Diperlukan inisiatif spesial/khusus dalam penanggulangan reproduksi (diklat sterility
control) secara terstruktur dan terencana yang merupakan salah satu faktor penting
dalam rangka mendukung Program PSDS/K yang diwujudkan dalam suatu rincian
kegiatan dan kebutuhan anggaran pada setiap Dinas Daerah, UPT Kesehatan Hewan
dan UPT Perbibitan baik Pusat maupun Daerah.


6. Untuk mendukung pelaksanaan Sistem Layanan Kesehatan Hewan dan keberhasilan
Program PSDS/K sangat memerlukan optimalisasi peran Puskeswan dengan
menerapkan metode PDSR sebagai ujung tombak kesehatan hewan di lapangan, sangat
memerlukan penganggaran dari Pusat dan Daerah.


7. UPT Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan yang bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan Surveilans Penyakit Hewan seperti : BPPV/BBVet dan
PUSVETMA (khusus PMK) yang didukung oleh Dinas Peternakan dan Dinas yang
membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan untuk memprioritaskan kegiatan
surveilans yang sesuai kaidah epidemiologi di wilayah masing – masing, dan kerjasama
yang solid dengan BBALITVET dan BBPMSOH. Kegiatan – kegiatan pengendalian PHM
selama ini belum berdasarkan hasil kajian epidemiologi sehingga sangat minim upaya
pengukuran penyakit (disease measurement) yang dilakukan secara benar sehingga
tidak diketahui secara tepat sejauh mana status penyakit di daerah akibatnya tidak dapat
diukur secara valid derajat keberhasilan Program pengendalian PHM di suatu daerah.
Untuk itu Balai Besar Veteriner lebih meningkatkan kualitas surveilans yang benar –
benar dirancang dan dilaksanakan sesuai kaidah epidemiologi yang benar sehingga
hasil yang didapatkan bisa dipertanggung jawabkan dan mengedepankan pendekatan
epidemiologi analitik untuk setiap kegiatan surveilans.


8. Penanganan AI diprioritaskan di daerah padat penduduk dan unggas. Faktor – faktor
resiko terjadinya penularan pada manusia diminimalisasi seperti : Tempat penampungan
unggas, pasar – pasar tradisional yang menjual unggas hidup, tempat pemotongan
unggas tradisional, masih berkeliarannya unggas dipemukiman dan masih rendahnya
pemahaman masyarakat tentang penyakit AI dan resikonya.


9. Kejadian kasus Anthrax di Sragen dan Boyolali agar dijadikan perhatian dan terus
dilakukan koordinasi antara Pemerintah Pusat, Dinas Propinsi Kabupaten/Kota, BBVet,
dan masyarakat agar penyakit Anthrax dapat dikendalikan dan tidak menyebar ke daerah
lain dan sosialisasi terhadap masyarakat akan bahaya penyakit Anthrax. BBVet Wates
agar melakukan surveilans post vaksinasi Anhrax di Boyolali dan sekitarnya guna
mengetahui efektivitas vaksin.


10. Pemanasan global berdampak pada lingkungan, kesehatan manusia, dan kesehatan
hewan. Dampak pada kesehatan hewan antara lain munculnya penyakit baru (new
emerging disease) dan merebaknya penyakit hewan menular yang telah lama tidak
muncul (re-emerging disease) termasuk penyakit zoonosis. Untuk menghadapi situasi
yang crusial tersebut diperlukan penguatan Sistem Kesehatan Hewan.


11. Untuk mendukung program pemerintah dalam Swasembada daging sapi dan kerbau
BBVet meningkatkan kegiatan surveilans penyakit Brucellosis terutama di kantung –
kantung ternak sapi dan kerbau. Serta Dinas Provinsi, Kabupaten/Kota agar terus
mengupayakan penyelamatan sapi betina produktif. Sampai saat ini, status Brucellosis di
pulau Jawa terutama Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta masih
ditemukan walau hanya pada sapi perah. Mulai tahun ini BBVet merencanakan kegiatan
surveilans dalam rangka pembebasan pulau Madura dari penyakit Brucellosis.


12. Dinas Peternakan dan Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan
Hewan memberikan advokasi pada pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran
pelatihan ATR, bagi petugas di RPH, UPTD, dan dokter hewan Puskeswan.


13. Untuk mendukung Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DIY mempertahankan bebas
rabies maka mutlak dibentuk immuno belt rabies di kabupaten Banyuwangi, Situbondo,
Brebes dan Cilacap (wilayah perbatasan).


14. Guna mendukung pencapaian status bebas Brucellosis di Jawa Tahun 2014 diharapkan
program kegiatan “test and slaughter” dapat berjalan lancar, untuk itu diharapkan Pusat,
Daerah dan stake holder (GKSI) dapat membantu dari segi pengadaan dana
kompensasi.


15. Dinas Peternakan dan Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan
Hewan Propinsi dan Kabupaten/Kota dan Lab. Tipe B dan Tipe C diminta secara aktif
dan rutin untuk mengirimkan laporan situasi PHM (formulir E1, E29, dan pelaporan
terjadinya wabah) di tingkatkan di daerah masing – masing kepada Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan dan tembusan ke Balai Besar Veteriner Wates. Agar
engalokasian dana ke Daerah memiliki justifikasi yang kuat.


Sumber: Ditkeswan, DItjen PKH, Kemtan


Informasi Bahan Pangan yang Mengandung Radioactive

Tanya Jawab terkait dengan bahan pangan yang mengandung bahan radioactive.

Apa yang akan terjadi bila makanan yang mengandung bahan radioactive terkonsumsi?

Bila bahan radioactive ada di dalam makanan atau air terkonsumsi, maka akan tertinggal di dalam tubuh dan memancarkan radiasi. Emisi dari pembangkit nuklir Fukushima, yaitu Iodine 131 telah ditemukan pada susu, sayuran, dan air, memilki waktu paruh 8 hari, sehingga akan kehilangan separuh radiasinya dalam 8 hari dst. Iodine 131 tidak akan tertinggal di dalam tanah dalam waktu yang lama. Sementara itu, cesium 137 mempunyai waktu paruh selama 30 tahun, sehingga akan tertinggal di tanah atau produk pertanian dalam waktu yang lebih lama. Akan tetapi bila cesium 137 terkonsumsi, maka sebagian besar akan dikeluarkan dari dalam tubuh

Bagaimana bahan radioactive ini masuk ke dalam tubuh?

Iodine 131 dan cesium 137 masuk ke dalam tubuh lewat oral/konsumsi bahan pangan dan pernafasan. Iodine 131 bisa menempel di rumput, yang menjadi pakan sapi dan masuk ke manusia lewat konsumsi susu atau diary product, atau terkonsentrasi dalam ikan yang menjadi konsumsi manusia. Cesium 137 bisa masuk ke dalam tubuh lewat oral, pernafasan, atau kontak dengan tubuh saat kita melewati daerah yang terkontaminasi oleh Cesium 137.

Bagaimana bahan radioactive ini menempel pada bahan makanan?

Iodine dan Cesium dilepaskan dalam bentuk gas atau dust, lalu akan menempel pada permukaan tanaman yang berdaun lebar, seperti bayam, atau kobis. Mereka akan menempel di bagian permukaan, tetapi tidak mudah untuk masuk ke bagian dalam kubis atau bagian dalam tanaman. Direkomendasikan untuk mencucinya dengan air bersih, atau membuang bagian luar daun kobis, untuk menurunkan tingkat radiasinya.

Bagaimana pengaruh radioactive ini terhadap tubuh?

Anak-anak lebih sensitif terhadap pengaruh radioaktif dibandingkan dengan orang dewasa. Pada orang dewasa hanya sekitar 7 persen dari total Iodine yang masuk ke dalam tubuh akan disimpan dalam kelenjar tiroid, dan sisanya akan dikeluarkan oleh tubuh dalam waktu 24 jam. Sedangkan pada anak-anak Iodine akan tertinggal di dalam kelenjar tiroid sekitar 20 persen. Waktu paruh biologi Iodine di dalam tubuh: di dalam kelenjar tyroid 100 hari; tulang 14 hari; ginjal dan organ reproduktif: 7 hari.

Berbeda dengan Iodine, Cesium akan terdistribusi secara merata ke dalam jaringan dan organ tubuh. Sedikit lebih banyak akan menumpuk pada bagian otot. Akan tetapi Cesium hanya akan berada di dalam tubuh dalam waktu yang relatif singkat, dan akan dikeluarkan lewat urine.

Apakah radiasi di daerah Kanto membahayakan bagi kesehatan?

Meskipun radiasi didaerah Tokyo sudah dilaporkan hingga 20 kali dari biasanya, akan tetapi masih belum membahayakan. Di Shinjuku Ward dilaporkan 0.049 microsievert per jam pada jam 9 pagi, tanggal 18 Maret 2011. Jumlah itu masih jauh lebih kecil dibanding radiasi alami yang diterima oleh penduduk Jepang, yaitu sekitar 1.5 milisievert per tahun.

Provisional limit radiasi beberapa produk pangan

Bahan pangan

Iodine 131

Cesium 137

(Becquerel per kg)

(Becquerel per kg)

Bayam dan sayuran lain (selain yang berada di dalam tanah)

2000

-

Air minum, susu, dairy producy

300

200

Susu bayi, ASI

100

-

Sayuran, serealia, daging, ikan, telur

-

500

(sumber: Yomiuri on line)

Iodine 131 banyak digunakan di dalam dunia medis dan penelitian biologi, karena waktu paruhnya yang pendek dan emisi betanya yang berguna. Zat radioaktif ini banyak digunakan untuk mengetahui efektivitas suatu obat atau untuk keperluan imaging struktur organ atau jaringan.

Sumber : KBRI Tokyo