Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Thursday, 21 January 2010

Ketahanan Pangan Butuh Totalitas

oleh Mukhamad Najib *

Jakarta - Pada World Summit on Food Security di Roma yang baru lalu Wakil Presiden Budiono menyatakan kesiapan Indonesia untuk menjadi salah satu supplier pangan dunia. Keberhasilan swasembada pangan yang terjadi saat ini menjadi alasan penting mengenai kesiapan ini.

Benarkah kita siap menjadi supplier penting kebutuhan pangan dunia? Apakah kita benar-benar telah mampu memenuhi kebutuhan pangan kita sendiri? Sudah tidak ada lagikah warga Indonesia yang kesulitan dalam mengakses bahan pangan?

Belum Swasembada Pangan
Jika kita mau jujur dengan keadaan sesungguhnya swasembada pangan yang saat ini terjadi masih terlalu premature untuk bisa dianggap sebagai keberhasilan dalam mengembangkan ketahanan pangan. Karena, memang apa yang disebut sebagai swasembada pangan saat itu tidak lain hanyalah sebatas kecukupan produksi beras namun bukan kecukupan pangan secara keseluruhan.

Jika kita cermati terjadinya kecukupan beras ini bukan saja disebabkan produksi beras yang berlebih. Melainkan juga didorong oleh beralihnya konsumsi beras ke produk pangan lain. Terutama gandum. Konsumsi gandum di Indonesia selalu meningkat setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya industri pengolahan makanan berbasis gandum.

Pada tahun 1999 tingkat konsumsi gandum baru mencapai 17,9 gram per kapita per hari. Tahun 2003 mencapai 19,8 gram per kapita per hari. Lalu, tahun 2005 naik lagi menjadi 23,03 gram per kapita per hari. Tahun 2006 naik lagi menjadi 22,60 gram per kapita per hari. Selanjutnya di tahun 2008 sudah menjadi 38 gram per kapita per hari.

Peningkatan konsumsi gandum berbanding terbalik dengan penurunan konsumsi beras. Tahun 1999 konsumsi beras di Indonesia mencapai 319,1 gram per kapita per hari. Tahun 2003 turun menjadi 300,56 gram per kapita per hari. Kemudian tahun 2005 turun lagi menjadi 288,30 gram per kapita per hari. Selanjutnya di tahun 2006 turun lagi hingga hanya mencapai 285,04 gram per kapita per hari.

Tingkat konsumsi gandum pada saat ini telah mencapai 5 juta ton per tahun. Impor gandum diperkirakan akan mengalami peningkatan hingga 100% selama 10 tahun mendatang. Artinya akan ada potensi impor gandum hingga 10 juta ton.

Jika peningkatan konsumsi gandum ini terjadi secara terus menerus tentu kita tidak pernah mencapai swasembada pangan. Karena, sebagian besar bahan pangan kita harus kita penuhi dari petani-petani asing.

Sampai hari ini masih banyak kebutuhan pangan kita yang bergantung pada luar negeri. Kita membutuhkan gandum dan kedelai dari petani Amerika. Kita membutuhkan daging dan susu dari peternak Australia. Kita juga membutuhkan jagung dan kebutuhan pangan lainnya dari negara-negara asing.

Setiap tahun lebih dari 5 miliar Dolar AS atau setara Rp 50 triliun lebih devisa habis untuk mengimpor pangan. Mulai dari gandum, kedelai, jagung, daging, telur, susu, sayuran, dan buah-buahan, bahkan garam yang kebutuhannya masih dapat dipenuhi oleh produsen garam lokal juga dimpor dengan nilai Rp 900 miliar.

Petani Aktor Utama
Usaha-usaha membangun ketahanan pangan tidak bisa dilakukan kecuali melibatkan petani sebagai aktor utama. Selama ini petani selalu diharapkan untuk bisa meningkatkan produktivitas mereka agar tidak terjadi kelangkaan pangan.

Petani mendapat mandat yang tidak ringan karena mereka diharapkan mampu memenuhi kebutuhan dasar dari seluruh rakyat Indonesia. Akan tetapi besarnya mandat yang diberikan kepada petani ini sama sekali tidak sebanding dengan insentif yang diperoleh petani. Khususnya insentif kesejahteraan.

Jika kita lihat kondisi petani kita saat ini, 56,5% dari 25,4 juta keluarga petani yang ada di Indonesia ternyata adalah petani gurem, yang memiliki lahan kurang dari 0,5 Ha. Padahal, untuk sekedar survive petani minimal harus memiliki lahan 1 Ha. Maka tidak heran, bahwa hampir 60% dari petani Indonesia adalah masuk dalam kategori miskin (pendapatan di bawah $US 2 per hari).

Bagaimana mungkin petani yang miskin akan menjadi penyangga utama penyedia pangan untuk seluruh rakyat Indonesia?

Pertanian sesungguhnya menyangkut hajat hidup orang banyak. Ia merupakan syarat dasar bagi keberlanjutan kehidupan rakyat Indonesia. Oleh karenanya tidak selayaknya petani berjuang sendiri melaksanakan mandat yang berat ini. Tidak selayaknya petani berjuang sendiri untuk menyelamatkan keberlangsungan manusia yang hidup di bumi pertiwi.

Aksi Total
Kita memerlukan keterlibatan semua kalangan untuk membantu petani melaksanakan mandatnya dalam memproduksi pangan yang cukup bagi kebutuhan rakyat Indonesia. Kita memerlukan aksi total untuk pertanian yang lebih produktif. Sehingga, apa yang dikatakan oleh wakil presiden di Roma mengenai kesiapan Indonesia menjadi supplier pangan dunia bukanlah sekedar wacana kosong yang tak bermakna.

Aksi total untuk pertanian diartikan sebagai adanya keterlibatan dan keberfihakan total dari segenap komponen masyarakat terhadap dunia pertanian. Seluruh kekuatan harus bisa dimobilisasi untuk membangun sektor yang mempengaruhi keberlajutan manusia ini.

Oleh karenanya semua perkembangan peradaban yang kita bangun. Semua ilmu pengetahuan yang kita kembangkan tidak boleh meninggalkan dunia pertanian dalam agendanya. Kita tidak mungkin mengkonversi semua lahan-lahan pertanian menjadi lahan-lahan industri karena itu artinya kita berkontribusi dalam mempercepat terjadinya krisis pangan. Dan, itu juga berarti kita membiarkan dunia berakhir lebih cepat.

Sedianya kita bisa fokus untuk mengembangkan Indonesia sebagai negara pertanian dan bahari. Jepang tidak memiliki lahan cukup. Namun, mereka serius mengembangkan pertaniannya.

Kemajuan pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan tidak pernah melupakan dunia pertanian. Pertanian berbasis pengetahuan dan teknologi menjadikan pertanian Jepang berada pada tingkat produktifitas dan efisiensi yang tinggi. Walau lahannya sangat sempit namun Jepang mampu menyediakan pangan masyarakatnya dengan baik.

Indonesia sebagai negara yang memiliki kelimpahan lahan, memiliki tanah-tanah yang subur, memiliki sumber daya air yang berlimpah seharusnya memiliki dan membangun kemampuan yang lebih besar di bidang pertanian ini. Bukankah penjajah datang silih berganti untuk menikmati benefit ekonomi dari kesuburan lahan-lahan pertanian kita?

Rasanya aneh kalau kemajuan yang ingin kita ciptakan kita lakukan dengan mengabaikan dunia pertanian. Aksi total untuk dunia pertanian sesungguhnya merupakan agenda dasar yang perlu kita lakukan segera jika kita ingin menyelamatkan negeri ini dari bahaya kebergantungan dan kelaparan di masa depan.

*Penulis adalah Dosen Institut Pertanian Bogor dan Sekretaris Indonesian Agriculture Sciences Association (IASA)
Sumber: http://suarapembaca.detik.com/read/2010/01/21/101047/1283088/471/ketahanan-pangan-butuh-totalitas?882205470

Friday, 8 January 2010

Accelerating Exports to Asia is the Only Way to Regenerate Japanese Agriculture

By SHINDO Eiichi
Professor Emeritus of Tsukuba University

The "manifesto campaign boom" shook the Japanese politics. Points in the political disputes are US-Japan Free Trade Agreement (FTA) related with the agricultural policies and the Japanese future growth strategies. Both of them would influence seriously the Japanese local economies such as those in Hokkaido prefecture, "a kingdom of agricultural economy" which has been in serious recession. The nature of election campaign manifestos is indication not only of the commitments on specific policies in the future but also of those in the past, just as the nature of the business contracts. We could, in this context, remember the past policies on the FTAs as well as the agricultural policies, which then Foreign Minister Aso Taro had advocated as part of the Japanese novel foreign policy named "the Arc of Freedom and Prosperity," comprising such democratic prosperous countries in the Asia-Pacific region as the United States, Australia, New Zealand, India, Japan and Korea. Under such a grandiose foreign policy, he committed and pursued the FTA policy with Australia. The FTA with Australia as it was planned would have seriously damaged our agricultural sectors including those of Hokkaido prefecture. It has to be pointed out that the size of cultivated land in Japan and Korea per farming household is only about 1.5 hectares, whereas those in the U.S. and Australia are 196 hectares and 4100 respectively. This huge difference in the size of faming lands would end up in devastating the Japanese agricultural sectors even those of Hokkaido area. The past commitments on trade and agricultural policies have indicated the lack of the comprehensive strategy of public policies to regenerate our agriculture.

It is time to think over how Japan should deal with the impacts of the FTA just concluded between the U.S. and Korea, which completely ruled out rice as the subject of tariff free articles to protect the agricultural sector in Korea. Hence, it is time for us to regain the competitiveness in the U. S vis-à-vis Korean exported goods, and at the same time to explore the way to regenerate agriculture in Japan, The answer should be the dual strategies both to improve the deteriorated ratio of food self-sufficiency, and to take advantages of the current global revolution in information technologies and environment conservation. It is easy to promise, but difficult to realize, the improvement of the food self-sufficiency ratio and of the deteriorated welfare policies, so as to regain and maintain the economic growth, since the welfare policies would need the vast amount of financial revenue. The growth strategy would be impossible unless we make a radical shift from the conservative neoliberal policy sacrificing the weak and the social safety-nets. It would be also impossible to turn the current food self-sufficiency ratio from 40 percents, the lowest one among the developed countries, even to 50 percents, unless we make the drastic change in the traditional policies of depending heavily on the governmental subsidies that Japan has adopted for the past half a century. Even in the U.K., it took twenty years to improve the food self-sufficiency ratio from 45 percents in 1965 to over 70 percents in late 1980's. The key ingredient for the agricultural regeneration should be to adopt the "individual household income support system," which the EU countries including the U.K. have adopted. Hence, it is called the "EU formula." It certainly aims at fostering farmers by directly subsidizing each farming household based on the differences between the retail prices and the farms production costs against the imported agricultural goods.

In this respect, it is vitally important for the Japanese political parties either JDP or LDP to leave off the rice acreage reduction policy which has resulted in enormous increase in abandoned lands of cultivation. Instead, we should take the firm policy to stimulate the agriculture through the "individual household income support system." The current campaign manifestos of both the ruling party and the opposition remain fixed to a narrowly defined egocentric "one-country-approach." They have been so obsessed with the idea of the outmoded mythology of the Cold War centering on the U.S. -Japan alliance, using the semantics of the "diplomatic continuity." As a result, Japan has lost many chances to lead and coexist with Asia, which have been the driving forces of the world economy. We should take the strategy to expand export of our value-added agricultural products to the mega-market of rising and affluent East Asia. It will open up a window of opportunity to regenerate the Japanese agriculture. Hokkaido, "a kingdom of agricultural economy," with the comparatively large size of the farming land as the one in EU countries, would play a central role in initiating and pursuing this strategy through applying the edge of the information technology to the food industry sector. It is vital to enhance the added values of the agricultural products, to brand and commercialize them in broader affluent markets in Asia. The current agricultural sector is not the primary industry in a traditional sense any more. It has become so-called the "sixth industrial sector" multiplying both the second and the third ones through their closer cooperation with business, industrial and academic circles. Hokkaido would certainly contribute to revitalizing the Japanese agriculture and to building up the food supplying base for the regional food security regime in East Asia.

Regenerating the agriculture would also be one of the main vehicles to reduce the carbon dioxide, marking for strengthening the current environmental revolutionary movements through absorption of it by forests. These ecological policies were agreed and declared at the Hokkaido Toyako Summit in June 2008 and since then have been gradually implemented. Now we should promote more aggressively an East Asian community building with the emerging food and ecological security regime in East Asia and put forward a bolder strategy of strengthening the cooperative ties with Asia in these agricultural and environmental industry sectors as well. For the past 20 years, while the ratio of total amount of Japanese trade with the U.S. decreased from 27.4 to 13.7 percents, the one with China increased dramatically from 3.5 to 20.4 percents and the one with Asia makes up 48.8 and the one with Eurasia 73.9 percents respectively. This new reality of dramatic changes of global balance of power and trade indicates us the ways to regenerate Japan's economy and agriculture through our much closer ties with Asian nations.

Source: The Council on East Asian Community (CEAC) E-Letter (10 November 2009, Vol. 2, No. 7)