oleh Mukhamad Najib *
Jakarta - Pada World Summit on Food Security di Roma yang baru lalu Wakil Presiden Budiono menyatakan kesiapan Indonesia untuk menjadi salah satu supplier pangan dunia. Keberhasilan swasembada pangan yang terjadi saat ini menjadi alasan penting mengenai kesiapan ini.
Benarkah kita siap menjadi supplier penting kebutuhan pangan dunia? Apakah kita benar-benar telah mampu memenuhi kebutuhan pangan kita sendiri? Sudah tidak ada lagikah warga Indonesia yang kesulitan dalam mengakses bahan pangan?
Belum Swasembada Pangan
Jika kita mau jujur dengan keadaan sesungguhnya swasembada pangan yang saat ini terjadi masih terlalu premature untuk bisa dianggap sebagai keberhasilan dalam mengembangkan ketahanan pangan. Karena, memang apa yang disebut sebagai swasembada pangan saat itu tidak lain hanyalah sebatas kecukupan produksi beras namun bukan kecukupan pangan secara keseluruhan.
Jika kita cermati terjadinya kecukupan beras ini bukan saja disebabkan produksi beras yang berlebih. Melainkan juga didorong oleh beralihnya konsumsi beras ke produk pangan lain. Terutama gandum. Konsumsi gandum di Indonesia selalu meningkat setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya industri pengolahan makanan berbasis gandum.
Pada tahun 1999 tingkat konsumsi gandum baru mencapai 17,9 gram per kapita per hari. Tahun 2003 mencapai 19,8 gram per kapita per hari. Lalu, tahun 2005 naik lagi menjadi 23,03 gram per kapita per hari. Tahun 2006 naik lagi menjadi 22,60 gram per kapita per hari. Selanjutnya di tahun 2008 sudah menjadi 38 gram per kapita per hari.
Peningkatan konsumsi gandum berbanding terbalik dengan penurunan konsumsi beras. Tahun 1999 konsumsi beras di Indonesia mencapai 319,1 gram per kapita per hari. Tahun 2003 turun menjadi 300,56 gram per kapita per hari. Kemudian tahun 2005 turun lagi menjadi 288,30 gram per kapita per hari. Selanjutnya di tahun 2006 turun lagi hingga hanya mencapai 285,04 gram per kapita per hari.
Tingkat konsumsi gandum pada saat ini telah mencapai 5 juta ton per tahun. Impor gandum diperkirakan akan mengalami peningkatan hingga 100% selama 10 tahun mendatang. Artinya akan ada potensi impor gandum hingga 10 juta ton.
Jika peningkatan konsumsi gandum ini terjadi secara terus menerus tentu kita tidak pernah mencapai swasembada pangan. Karena, sebagian besar bahan pangan kita harus kita penuhi dari petani-petani asing.
Sampai hari ini masih banyak kebutuhan pangan kita yang bergantung pada luar negeri. Kita membutuhkan gandum dan kedelai dari petani Amerika. Kita membutuhkan daging dan susu dari peternak Australia. Kita juga membutuhkan jagung dan kebutuhan pangan lainnya dari negara-negara asing.
Setiap tahun lebih dari 5 miliar Dolar AS atau setara Rp 50 triliun lebih devisa habis untuk mengimpor pangan. Mulai dari gandum, kedelai, jagung, daging, telur, susu, sayuran, dan buah-buahan, bahkan garam yang kebutuhannya masih dapat dipenuhi oleh produsen garam lokal juga dimpor dengan nilai Rp 900 miliar.
Petani Aktor Utama
Usaha-usaha membangun ketahanan pangan tidak bisa dilakukan kecuali melibatkan petani sebagai aktor utama. Selama ini petani selalu diharapkan untuk bisa meningkatkan produktivitas mereka agar tidak terjadi kelangkaan pangan.
Petani mendapat mandat yang tidak ringan karena mereka diharapkan mampu memenuhi kebutuhan dasar dari seluruh rakyat Indonesia. Akan tetapi besarnya mandat yang diberikan kepada petani ini sama sekali tidak sebanding dengan insentif yang diperoleh petani. Khususnya insentif kesejahteraan.
Jika kita lihat kondisi petani kita saat ini, 56,5% dari 25,4 juta keluarga petani yang ada di Indonesia ternyata adalah petani gurem, yang memiliki lahan kurang dari 0,5 Ha. Padahal, untuk sekedar survive petani minimal harus memiliki lahan 1 Ha. Maka tidak heran, bahwa hampir 60% dari petani Indonesia adalah masuk dalam kategori miskin (pendapatan di bawah $US 2 per hari).
Bagaimana mungkin petani yang miskin akan menjadi penyangga utama penyedia pangan untuk seluruh rakyat Indonesia?
Pertanian sesungguhnya menyangkut hajat hidup orang banyak. Ia merupakan syarat dasar bagi keberlanjutan kehidupan rakyat Indonesia. Oleh karenanya tidak selayaknya petani berjuang sendiri melaksanakan mandat yang berat ini. Tidak selayaknya petani berjuang sendiri untuk menyelamatkan keberlangsungan manusia yang hidup di bumi pertiwi.
Aksi Total
Kita memerlukan keterlibatan semua kalangan untuk membantu petani melaksanakan mandatnya dalam memproduksi pangan yang cukup bagi kebutuhan rakyat Indonesia. Kita memerlukan aksi total untuk pertanian yang lebih produktif. Sehingga, apa yang dikatakan oleh wakil presiden di Roma mengenai kesiapan Indonesia menjadi supplier pangan dunia bukanlah sekedar wacana kosong yang tak bermakna.
Aksi total untuk pertanian diartikan sebagai adanya keterlibatan dan keberfihakan total dari segenap komponen masyarakat terhadap dunia pertanian. Seluruh kekuatan harus bisa dimobilisasi untuk membangun sektor yang mempengaruhi keberlajutan manusia ini.
Oleh karenanya semua perkembangan peradaban yang kita bangun. Semua ilmu pengetahuan yang kita kembangkan tidak boleh meninggalkan dunia pertanian dalam agendanya. Kita tidak mungkin mengkonversi semua lahan-lahan pertanian menjadi lahan-lahan industri karena itu artinya kita berkontribusi dalam mempercepat terjadinya krisis pangan. Dan, itu juga berarti kita membiarkan dunia berakhir lebih cepat.
Sedianya kita bisa fokus untuk mengembangkan Indonesia sebagai negara pertanian dan bahari. Jepang tidak memiliki lahan cukup. Namun, mereka serius mengembangkan pertaniannya.
Kemajuan pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan tidak pernah melupakan dunia pertanian. Pertanian berbasis pengetahuan dan teknologi menjadikan pertanian Jepang berada pada tingkat produktifitas dan efisiensi yang tinggi. Walau lahannya sangat sempit namun Jepang mampu menyediakan pangan masyarakatnya dengan baik.
Indonesia sebagai negara yang memiliki kelimpahan lahan, memiliki tanah-tanah yang subur, memiliki sumber daya air yang berlimpah seharusnya memiliki dan membangun kemampuan yang lebih besar di bidang pertanian ini. Bukankah penjajah datang silih berganti untuk menikmati benefit ekonomi dari kesuburan lahan-lahan pertanian kita?
Rasanya aneh kalau kemajuan yang ingin kita ciptakan kita lakukan dengan mengabaikan dunia pertanian. Aksi total untuk dunia pertanian sesungguhnya merupakan agenda dasar yang perlu kita lakukan segera jika kita ingin menyelamatkan negeri ini dari bahaya kebergantungan dan kelaparan di masa depan.
*Penulis adalah Dosen Institut Pertanian Bogor dan Sekretaris Indonesian Agriculture Sciences Association (IASA)
Jakarta - Pada World Summit on Food Security di Roma yang baru lalu Wakil Presiden Budiono menyatakan kesiapan Indonesia untuk menjadi salah satu supplier pangan dunia. Keberhasilan swasembada pangan yang terjadi saat ini menjadi alasan penting mengenai kesiapan ini.
Benarkah kita siap menjadi supplier penting kebutuhan pangan dunia? Apakah kita benar-benar telah mampu memenuhi kebutuhan pangan kita sendiri? Sudah tidak ada lagikah warga Indonesia yang kesulitan dalam mengakses bahan pangan?
Belum Swasembada Pangan
Jika kita mau jujur dengan keadaan sesungguhnya swasembada pangan yang saat ini terjadi masih terlalu premature untuk bisa dianggap sebagai keberhasilan dalam mengembangkan ketahanan pangan. Karena, memang apa yang disebut sebagai swasembada pangan saat itu tidak lain hanyalah sebatas kecukupan produksi beras namun bukan kecukupan pangan secara keseluruhan.
Jika kita cermati terjadinya kecukupan beras ini bukan saja disebabkan produksi beras yang berlebih. Melainkan juga didorong oleh beralihnya konsumsi beras ke produk pangan lain. Terutama gandum. Konsumsi gandum di Indonesia selalu meningkat setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya industri pengolahan makanan berbasis gandum.
Pada tahun 1999 tingkat konsumsi gandum baru mencapai 17,9 gram per kapita per hari. Tahun 2003 mencapai 19,8 gram per kapita per hari. Lalu, tahun 2005 naik lagi menjadi 23,03 gram per kapita per hari. Tahun 2006 naik lagi menjadi 22,60 gram per kapita per hari. Selanjutnya di tahun 2008 sudah menjadi 38 gram per kapita per hari.
Peningkatan konsumsi gandum berbanding terbalik dengan penurunan konsumsi beras. Tahun 1999 konsumsi beras di Indonesia mencapai 319,1 gram per kapita per hari. Tahun 2003 turun menjadi 300,56 gram per kapita per hari. Kemudian tahun 2005 turun lagi menjadi 288,30 gram per kapita per hari. Selanjutnya di tahun 2006 turun lagi hingga hanya mencapai 285,04 gram per kapita per hari.
Tingkat konsumsi gandum pada saat ini telah mencapai 5 juta ton per tahun. Impor gandum diperkirakan akan mengalami peningkatan hingga 100% selama 10 tahun mendatang. Artinya akan ada potensi impor gandum hingga 10 juta ton.
Jika peningkatan konsumsi gandum ini terjadi secara terus menerus tentu kita tidak pernah mencapai swasembada pangan. Karena, sebagian besar bahan pangan kita harus kita penuhi dari petani-petani asing.
Sampai hari ini masih banyak kebutuhan pangan kita yang bergantung pada luar negeri. Kita membutuhkan gandum dan kedelai dari petani Amerika. Kita membutuhkan daging dan susu dari peternak Australia. Kita juga membutuhkan jagung dan kebutuhan pangan lainnya dari negara-negara asing.
Setiap tahun lebih dari 5 miliar Dolar AS atau setara Rp 50 triliun lebih devisa habis untuk mengimpor pangan. Mulai dari gandum, kedelai, jagung, daging, telur, susu, sayuran, dan buah-buahan, bahkan garam yang kebutuhannya masih dapat dipenuhi oleh produsen garam lokal juga dimpor dengan nilai Rp 900 miliar.
Petani Aktor Utama
Usaha-usaha membangun ketahanan pangan tidak bisa dilakukan kecuali melibatkan petani sebagai aktor utama. Selama ini petani selalu diharapkan untuk bisa meningkatkan produktivitas mereka agar tidak terjadi kelangkaan pangan.
Petani mendapat mandat yang tidak ringan karena mereka diharapkan mampu memenuhi kebutuhan dasar dari seluruh rakyat Indonesia. Akan tetapi besarnya mandat yang diberikan kepada petani ini sama sekali tidak sebanding dengan insentif yang diperoleh petani. Khususnya insentif kesejahteraan.
Jika kita lihat kondisi petani kita saat ini, 56,5% dari 25,4 juta keluarga petani yang ada di Indonesia ternyata adalah petani gurem, yang memiliki lahan kurang dari 0,5 Ha. Padahal, untuk sekedar survive petani minimal harus memiliki lahan 1 Ha. Maka tidak heran, bahwa hampir 60% dari petani Indonesia adalah masuk dalam kategori miskin (pendapatan di bawah $US 2 per hari).
Bagaimana mungkin petani yang miskin akan menjadi penyangga utama penyedia pangan untuk seluruh rakyat Indonesia?
Pertanian sesungguhnya menyangkut hajat hidup orang banyak. Ia merupakan syarat dasar bagi keberlanjutan kehidupan rakyat Indonesia. Oleh karenanya tidak selayaknya petani berjuang sendiri melaksanakan mandat yang berat ini. Tidak selayaknya petani berjuang sendiri untuk menyelamatkan keberlangsungan manusia yang hidup di bumi pertiwi.
Aksi Total
Kita memerlukan keterlibatan semua kalangan untuk membantu petani melaksanakan mandatnya dalam memproduksi pangan yang cukup bagi kebutuhan rakyat Indonesia. Kita memerlukan aksi total untuk pertanian yang lebih produktif. Sehingga, apa yang dikatakan oleh wakil presiden di Roma mengenai kesiapan Indonesia menjadi supplier pangan dunia bukanlah sekedar wacana kosong yang tak bermakna.
Aksi total untuk pertanian diartikan sebagai adanya keterlibatan dan keberfihakan total dari segenap komponen masyarakat terhadap dunia pertanian. Seluruh kekuatan harus bisa dimobilisasi untuk membangun sektor yang mempengaruhi keberlajutan manusia ini.
Oleh karenanya semua perkembangan peradaban yang kita bangun. Semua ilmu pengetahuan yang kita kembangkan tidak boleh meninggalkan dunia pertanian dalam agendanya. Kita tidak mungkin mengkonversi semua lahan-lahan pertanian menjadi lahan-lahan industri karena itu artinya kita berkontribusi dalam mempercepat terjadinya krisis pangan. Dan, itu juga berarti kita membiarkan dunia berakhir lebih cepat.
Sedianya kita bisa fokus untuk mengembangkan Indonesia sebagai negara pertanian dan bahari. Jepang tidak memiliki lahan cukup. Namun, mereka serius mengembangkan pertaniannya.
Kemajuan pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan tidak pernah melupakan dunia pertanian. Pertanian berbasis pengetahuan dan teknologi menjadikan pertanian Jepang berada pada tingkat produktifitas dan efisiensi yang tinggi. Walau lahannya sangat sempit namun Jepang mampu menyediakan pangan masyarakatnya dengan baik.
Indonesia sebagai negara yang memiliki kelimpahan lahan, memiliki tanah-tanah yang subur, memiliki sumber daya air yang berlimpah seharusnya memiliki dan membangun kemampuan yang lebih besar di bidang pertanian ini. Bukankah penjajah datang silih berganti untuk menikmati benefit ekonomi dari kesuburan lahan-lahan pertanian kita?
Rasanya aneh kalau kemajuan yang ingin kita ciptakan kita lakukan dengan mengabaikan dunia pertanian. Aksi total untuk dunia pertanian sesungguhnya merupakan agenda dasar yang perlu kita lakukan segera jika kita ingin menyelamatkan negeri ini dari bahaya kebergantungan dan kelaparan di masa depan.
*Penulis adalah Dosen Institut Pertanian Bogor dan Sekretaris Indonesian Agriculture Sciences Association (IASA)
Sumber: http://suarapembaca.detik.com/read/2010/01/21/101047/1283088/471/ketahanan-pangan-butuh-totalitas?882205470