PUDJIATMOKO
National Veterinary Drug Assay Laboratory
ABSTRACT
Study on results of infectious bronchitis (IB) vaccine assay was done. This study is based on results of vital vaccine assay at National Veterinary Drug Assay Laboratory, Index of Indonesian veterinary drugs, and documents of veterinary drug registration. The purpose of this study is to evaluate IB vaccine assay done from 1987 to 2001. This study describes registered vaccines in Indonesia; virus strains of IB vaccine; results of virus content, safety, and potency test. In 14 years, 140 IB vaccines have been registered by Department of Agriculture, Indonesia. Eighty-seven vaccines have been tested. Sixty-four vaccines passed the test.
Key words: Infectious bronchitis, vaccine assay, virus strains, serotype.
ABSTRAK
Pengkajian hasil pengujian vaksin infectious bronchitis (IB) telah dilakukan di Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BPMSOH). Pengkajian ini berdasarkan pada hasil pengujian vaksin virus di BPMSOH, Indeks Obat Hewan Indonesia dan dokumen pendaftaran obat hewan. Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi pengujian vaksin IB yang dilakukan dari tahun 1987 sampai dengan tahun 200 I. Studi ini membahas tentang vaksin yang diregistasi di Indonesia; galur virus vaksin IB; hasil uji kandungan virus, keamanan, dan potensi vaksin. Selama 14 tahun terdapat 140 vaksin IB yang telah diregistrasi oleh Departemen Pertanian, Indonesia. Vaksin yang sudah diuji di BPMSOH sebanyak 87 vaksin. Vaksin yang lulus uji sebanyak 64 vaksin.
Kata kunci: Infectious bronchitis, pengujian vaksin, galur virus, serotipe.
PENDAHULUAN
Virus Infectious Bronchitis (IB) dilaporkan pertama kali pada tahun 1930-an (Schalk dan Hawn, 1931), kemudian menjadi penyebab utama penyakit ayam, yang menyerang segala jenis ayam dan semua umur, di seluruh penjuru dunia (Anon, 1988, 1991). Virus IB termasuk Coronavirus yang menyebabkan penyakit saluran pernapasan yang bersifat akut dan sangat menular. Penyakit ini bisa menimbulkan kematian anak ayam umur kurang dari 3 minggu sekitar 30% (Hofstad, 1984), hambatan kenaikan berat badan pada anak ayam umur di atas 6 minggu Cbavelaar et al, 1986), dan penurunan produksi telur hingga 60% pada ayam dewasa (Hofstad, 1984).
Vaksin yang bermutu baik telah digunakan untuk mengendalikan infeksi IB sejak tahun 1950-an. Walaupun vaksin tersebut telah digunakan dengan hati-hati, tetapi kemudian IB menjadi masalah besar karena tipe antigenik IB di dunia jumlahnya bertambah banyak. Serotipe IB yang pertama kali dilaporkan adalah Massachusett (Schalk dan Hawn, 1931), kemudian pada pertengahan tahun 1950 dilaporkan serotipe yang lain yaitu Connecticut (Jungherr et aL, 1956). Sejak saat itu serotipe baru dilaporkan di Amerika Serikat (Gelb et al, 1991), Eropa (Davelaar et al, 1984; Cook dan Huggins, 1986) dan banyak tempat di dunia (Cubillos et al, 1991) termasuk Indonesia (Darminto, 1992).
Pada sebuah hasil studi molekuler, telah diketahui bahwa bagian S 1 dan virus IB bertanggungjawab dalam menentukan serotipenya. Serotipe baru bisa muncul hanya karena hasil perubahan yang sangat sedikit pada komposisi asam amino bagian S1 pada spike protein (Cavanagh et al., 1992), sementara sebagian besar genome virus yang lain tidak berubah. Karena banyak antigen dengan berbagai serotipe yang tersebar di dunia ini maka diusahakan agar vaksin yang tersedia sekarang harus bisa menimbulkan proteksi terhadap tantangan virus lapangan di suatu kawasan atau negara.
Vaksin yang beredar di Indonesia harus bisa mengebalkan ayam-ayam terhadap infeksi IB isolat lapang. Pengujian vaksin IB sangat penting dalam menjamin mutu vaksin yang digunakan dalam pencegahan penyakit IB di peternakan. Pengujian vaksin IB untuk sertifikasi di Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BPMSOH) mulai dilakukan pada tahun 1987. Setelah berjalan selama 14 tahun pengujian tersebut perlu dievaluasi untuk memperbaiki kekurangan dalam metoda pengujian maupun sistem pengujiannya.
Pengkajian ini dilakukan dengan cara pengumpulan data dari buku hasil pengujian vaksin virus untuk unggas di Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan, Indeks Obat Hewan di Indonesia (IOHI) edisi III tahun 1993 dan edisi IV tahun 2000 yang diterbitkan oleh Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) dan Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian, dan dokumen permohonan pendaftaran obat hewan. Tujuan studi kali ini adalah mengevaluasi hasil pengujian vaksin IB di BPMSOH dari tahun 1987 sampai dengan pertengahan tahun 2001.
Buku Hasil Pengujian Vaksin Virusi untuk Unggas
Buku ini memuat data vaksin virusi untuk unggas yang akan diuji, sedang diuji dan sudah di uji di seksi virologi Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan. Vaksin yang masuk ke seksi virologi dibukukan dengan nomor urut per tahun dan nomor sampel berasal dari seksi penerimaan sampel. Pada buku tersebut dicatat nama dagang vaksin, jenis vaksin (nama penyakit), produsen, distributor, dosis, nomor batch, tanggal kadaluarsa, hasil uji kandungan virus, hasil uji keamanan, hasil uji potensi dan keterangan penilaian akhir.
Karena buku ini berisi data berbagai jenis vaksin maka data vaksin IB disusun menjadi 1 tabel dan dilengkapi dengan data-data yang lain seperti galur virus vaksin, selisih waktu an tara tanggal pengujian dan kadaluarsa, kandungan virus menurut dokumen perusahaan, jenis vaksin yang terkandung (untuk vaksin kombinasi), dan referensi metoda pengujian. Hasil uji kandungan virus, keamanan dan potensi di susun menurut tahun pengujian. Hubungan antara kandungan virus, waktu kadaluarsa dan potensi vaksin ditabelkan.
Indeks Obat Hewan Indonesia
Buku Indeks Obat Hewan Indonesia diterbitkan oleh ASOHI dan Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Buku ini memuat keterangan vaksin-vaksin yang sudah terdaftar di Departemen Pertanian, Indonesia. Buku yang digunakan dalam studi kali ini adalah edisi III tahun 1993 dan IV tahun 2000.
Jumlah vaksin yang memiliki nomor registrasi dan tercatat dalam IOHI dikelompokan per perusahaan kemudian dicocokkan dengan buku hasil pengujian vaksin virus untuk unggas. Vaksin dikelompokan menurut kombinasi vaksin, bentuk vaksin dan jumlah vaksin pada tahun 1993 dan 2000. Galur virus vaksin dikelompokan dan dihitung berdasar negara produsen vaksin.
Lampiran Permohonan Pendaftaran Obat Hewan
Ketika mendaftarkan vaksin ke Departemen Pertanian, perusahaan melampirkan keterangan tentang vaksin yang didaftarkan. Lampiran permohonan obat hewan berisi keterangan mengenai komposisi obat hewan, proses pembuatan, pemeriksaan sediaan obat jadi untuk hewan, pemeriksaan bahan baku, pemeriksaan stabilitas, daya farmakologi obat hewan, publikasi percobaan klinik di lapangan, keterangan tentang wadah dan bungkus luar, keterangan tentang tutup, dan keterangan tentang penandaan.
Dengan lampiran ini bisa diketahui metoda pengujian mutu vaksin dan acuannya, batas minimal untuk lulus uji, dan publikasi percobaan klinik di lapangan. Data yang tertulis dalam dokumen dibandingkan dengan data yang tercatat pada sumber yang lain.
Vaksin IB di Indonesia
Vaksin IB yang terdaftar di Indonesia berdasarkan buku IOHI edisi III tahun 1993, vaksin IB bentuk hidup tunggal menduduki urutan teratas yaitu 16 vaksin, yang kedua vaksin kombinasi IB dan ND hidup sebanyak 4 vaksin, diikuti vaksin IB tunggal inaktif, kombinasi IB dan ND inaktif dan kombinasi IB, ND dan EDS inaktif masing-masing sebanyak 2 vaksin, sedangkan vaksin kombinasi IB+ND+IBD, kombinasi IB+ND+SHS dan kombinasi IB+ND+SHS+EDS masing-masing ada 1 vaksin yang beredar di Indonesia (Tabel 1).
Pada tahun 2000 (IOHI edisi IV) secara umum terjadi peningkatan jumlah vaksin IB yang beredar di Indonesia, terbanyak masih jenis vaksin yang sama itu IB bentuk hidup tunggal sebanyak 34 vaksin, yang kedua kombinasi IB+ND hidup sebanyak 22 vaksin, ketiga kombinasi IB+ND+EDS sebanyak 14 vaksin, diikuti vaksin kombinasi IB+ND inaktif, IB+ND+IBD, dan IB inaktif masing-masing sebanyak 9, 7 dan 5 vaksin, sedangkan vaksin kombinasi IB+ND+SHS, IB+ND+EDS+SHS dan IB+ND+IBD+Reo masing-masing ada 1 vaksin (Tabel 1).
Pada tahun 1993 dari 29 vaksin terdapat 20 vaksin hidup yang terdiri dari 16 vaksin IB tunggal dan 4 vaksin kombinasi IB dan ND. Sehingga ada sekitar 67% vaksin IB hidup. Pada tahun 2000 vaksin IB hidup persentasenya juga tetap tinggi yaitu 60% yang terdiri dari 34 vaksin tung gal IB dan 22 vaksin kombinasi IB+ND.
Persentase vaksin IB hidup cukup tinggi maka perlu perhatian serius pada galur virus vaksin yang terkandung dalam setiap jenis vaksin tersebut. Pad a tahun 1956 Jungherr et al. melaporkan bahwa galur Connecticut yang diisolasi pada tahun 1951 dan galur Massachusetts yang diisolasi pada tahun 1941 menyebabkan penyakit yang serupa, tetapi tidak ada proteksi silang atau netralisasi silang. Di dunia telah banyak dikenal serotipe virus IB, disamping dua galur tersebut di atas ada juga serotipe Georgia, Deleware, Iowa 97, Iowa 69, Arkansas 99, Gray, New Hampshire, D274, D1466, N2/62, N9/74, Australian T dan lain-lain.
Di Indonesia, tidak efektifnya vaksin IB di peternakan yang telah rutin melaksanakan program vaksinasi disebabkan oleh perbedaan serotipe antara virus vaksin dan virus IB penyebab wabah di lapangan (Darminto, 1995). Kekebalan diantara serotipe tidak cukup untuk melindungi tantangan virus alam. Vaksin yang dipergunakan di suatu daerah harus sesuai dengan serotipe virus yang terdapat di daerah bersangkutan. Vaksin yang masuk Indonesia harus mengandung virus yang tepat dengan virus lapangan yang menginfeksi ayam-ayam di Indonesia. Selain bisa melindungi ayam-ayam terhadap serangan penyakit IB, diharapkan vaksin hidup yang masuk ke wilayah Indonesia juga bisa dikontrol sehingga tidak membahayakan peternakan unggas di Indonesia.
Galur Virus Vaksin IB di Indonesia
Vaksin IB yang beredar di Indonesia berasal 27 perusahaan pembuat vaksin dari 13 negara, termasuk 2 perusahaan dari Indonesia. Ada 16 galur virus IB vaksin yang beredar di Indonesia (Tabel 2). Begitu banyaknya galur virus vaksin tersebut sehingga perlu dilakukan penelitian untuk menentukan galur yang tepat untuk melindungi ayam terhadap galur lapangan yang ada di Indonesia. Menurut Darminto (1992) isolat virus IB asli Indonesia ada tiga serotipe, 3 galur (I-269, I-624, PTS II) termasuk tipe Mass, 1 galur termasuk Conn (I-37) dan 2 galur varian (PTS III, 1-625) menimbulkan reaksi silang yang tinggi dengan virus N2/62 asal Australia. Untuk mengetahui angka proteksi hasil vaksinasi dengan tepat maka dalam uji potensi perlu ditantang dengan virus isolat Indonesia.
Sebelum dilakukan pengujian di BPMSOH, seleksi terhadap vaksin yang akan masuk ke wilayah Indonesia perlu dengan kewaspadaan yang cukup, supaya tidak terjadi masuknya virus vaksin yang tidak diinginkan yang
pada suatu saat akan menimbulkan masalah dalam pengendalian penyakit lB. Maka dari itu perlu pengkajian yang mendalam sebelum menerima vaksin hidup dari luar, seperti pengkajian keterangan pendaftaran obat hewan. Pada lampiran tentang percobaan klinik di lapangan, perlu disertai publikasi ilmiah tentang kemampuan vaksin yang mau didaftarkan bisa mencegah infeksi virus-virus isolat asli dari Indonesia.
Terdapat 29 vaksin yang tidak mencantumkan secara jelas galur virus vaksinnya, melainkan hanya menuliskan tipe Mass (Tabel 2). Dalam keterangan pendaftaran perusahaan vaksin terse but diharuskan untuk menuliskan dengan jelas nama galur virus vaksin untuk mempermudah pengujian dan pengkajian vaksin lB. Galur-galur tertentu digunakan hanya oleh satu perusahaan pembuat vaksin tertentu. Galur semacam ini ada 9, setiap galur tersebut hanya digunakan oleh satu perusahaan vaksin. Apakah semua galur virus ini tepat digunakan di Indonesia, perlu pengkajian lebih lanjut.
Di Indonesia terdapat vaksin IB yang mengandung lebih dari 1 galur virus lB. Vaksin jenis ini telah ditemukan 9 nama dagang yang beredar di Indonesia. Menurut hasil studi Cook et al. (1999) menunjukan bahwa untuk meningkatkan proteksi terhadap tantangan virus yang berbeda serotipe digunakan vaksin yang mengandung 2 galur virus IB dengan sifat antigen berbeda. Maka dari itu untuk menanggulangi tantangan virus lapangan dengan banyak serotipe di dunia, kemungkinan vaksin jenis ini akan meningkat jumlahnya di kemudian hari.
Hasil Pengujian Kandungan Virus
Untuk mengetahui virus yang terkandung dalam vaksin hidup dilakukan uji kandungan virus menggunakan telur ayam specific pathogen free (SPF) berembrio. Vaksin dinyatakan lulus uji kandungan virus apabila vaksin yang diuji tersebut mengandung virus IB sebanyak 103.0 EID50 atau lebih (Anonimus, 1997, Anonimus, 1976). Sebagian besar perusahaan pembuat vaksin IE menggunakan metoda uji kandungan virus sesuai dengan metoda yang dipergunakan di BPMSOH.
Pada uji kandungan virus tersebut menunjukkan bahwa vaksin IB yang diuji pada tahun anggaran 1987/ 1988 sampai dengan 1991/1992, dan dari tahun 1993/1994 sampai dengan 1999/2000 semua vaksin yang diuji memenuhi syarat (Tabel 3). Sedangkan persentase lulus uji terendah terdapat pada tahun 1992/1993 yaitu sebesar 67% diikuti pada tahun 2001 sebesar 83% dan tahun 2000 sebesar 89%. Vaksin yang lulus uji kandungan virus secara keseluruhan dari tahun 1987/1988 sampai dengan pertengahan tahun 2001 adalah 96%.
Vaksin IB hidup yang beredar di Indonesia, dalam dokumennya sebagian besar dinyatakan berkandungan virus tidak kurang dari 103.0 EID50 seperti yang disyaratkan oleh Farmakope Obat Hewan Indonesia (FOHI). Berdasarkan data dari dokumen tiap-tiap vaksin, kandungan virus vaksin yang beredar di Indonesia dirangkum menjadi sebagai berikut: 1 vaksin dengan kandungan virus ≥105,1 EID50, 4 vaksin ≥ 104 EID50, 21 vaksin ≥ 103,5 EID50, 29 vaksin ≥ 103,0 EID50 ,dan 2 vaksin dalam dokumennya dinyatakan berkandungan virus 102,5 EID50.
Dua vaksin terakhir tersebut diatas tidak memenuhi persyaratan minimal pada Farmakope Obat Hewan Indonesia. Kedua vaksin ini diproduksi oleh 2 perusahaan dari 2 negara di Asia, karena mereka mengacu pada Manual of ASEAN standards for animal vaccines (1998) yang mencantumkan kandungan virus minimal 102,0 EID50, Untuk bisa mengedarkan vaksinnya di Indonesia, kedua pabrik pembuat vaksin tersebut dianjurkan supaya menaikkan kandungan virus dalam vaksinnya agar bisa memenuhi persyaratan uji kandungan virus vaksin IB di Indonesia.
Indonesia yang termasuk anggota ASEAN, turut aktif pada pertemuan Sectoral Working Group on Livestock (ASWGL) turut serta dalam menyusun Manual of ASEAN standards for animal vaccines (1998). Di dalam buku tersebut tertulis persyaratan minimal kandungan virus vaksin IE terlalu rendah dibanding dengan pedoman pengujian di negara Asia Pasifik lainnya seperti Jepang dan Australia atau di benua lain seperti Amerika dan Eropa. Kandungan minimal virus vaksin IB menurut Manual of ASEAN standards for animal vaccines (1998) adalah 102,5 EID50, sedangkan berdasarkan pada Farmakope Obat Hewan Indonesia (1997), Minimum Requirement of Biological Products for Animal Used, Japan (1976), Code of Federal Regulations for Animals and Animal Product, US (1993) adalah 103.0 EID50, dan pada British Pharmacopoiae (1985) adalah 103.5 EID50, Menurut hasil studi ini juga menunjukkan bahwa kandungan virus berpengaruh terhadap potensi vaksin. Maka dari itu perlu kajian ulang kandungan virus minimal vaksin IB dalam Manual of ASEAN standards for animal vaccines (1998).
Mungkin terdapat korelasi kandungan virus vaksin dan waktu kadaluarsa. Data hubungan waktu kadaluarsa dan kandungan virus menunjukkan bahwa semakin dekat tanggal kadaluarsa kandungan virus vaksin semakin menurun. Vaksin dengan tanggal kadaluarsa kurang dari 7 bulan kandungan virusnya mendekati batas minimal persyaratan lulus (TabeI4). Hasil ini menunjukkan bahwa
Mungkin terdapat korelasi kandungan virus dan potensi vaksin. Pada Tabel 5 menggambarkan bahwa rata-rata vaksin IB hidup galur H120 dengan kandungan virus kurang dari 103,0 EID50 indeks serum netralisasi yang dihasilkan rendah (1,8). Semakin tinggi kandungan virus suatu vaksin mempunyai kecenderungan semakin tinggi indeks serum netralisasi yang dihasilkan. Untuk galur H120 dan Mass dengan kandungan virus 104,1 EID50 atau lebih bisa merangsang pembentukan antibodi tertinggi, indeks serum netralisasi 2,4. Sedangkan untuk galur virus yang lain, karena data yang diperoleh tidak cukup maka belum bisa ditarik kesimpulan.
Hasil Pengujian Keamanan Vaksin
Untuk mengetahui keamanan suatu vaksin IB perlu dilakukan uji keamanan menggunakan ayam SPF. Vaksin dinyatakan lulus uji keamanan tersebut apabila semua ayam yang divaksin dengan 10 dosis dan semua ayam kontrol tidak memperlihatkan gejala abnormal selama 21 hari (Farmakope Obat Hewan Indonesia, 1997). Metoda yang digunakan ini sarna seperti yang tertulis dalam Manual of ASEAN standards for animal vaccines (1998), Code of Federal Regulations for Animals and Animal Product, US (1993), British Pharmacopoiae (Veterinary) (1985), European Pharmacopoeia (1980) dan Minimum Requirement of Biological Products for Animal Used, Japan (1976). Sebagian besar perusahaan pembuat vaksin IB menggunakan metoda uji keamanan sesuai dengan metoda yang dipergunakan oleh BPMSOH.
Pada uji keamanan tersebut, vaksin IB yang diuji lulus semua (100%) dalam tahun anggaran 1987/1988 sampai dengan 1991/1992, juga pada tahun 1993/1994, 1995/ 1996,1997/1998, dan 2001 (Tabel 3). Persentase terendah terdapat pada tahun 1994/1995 yaitu sebesar 50% diikuti pada tahun 1992/1993 sebesar 56% dan tahun 1998/1999 sebesar 80%. Sedangkan pad a tahun yang lain bervariasi antara 83% dan 91 %. Vaksin yang lulus uji keamanan secara keseluruhan dari tahun 1987/1988 sampai dengan pertengahan 2001 adalah 87%.
Kandungan virus terlalu tinggi bisa menyebabkan vaksin menjadi tidak am an untuk ayam. Vaksin IB hidup yang tidak memenuhi syarat pad a uji keamanan sebagian besar berasal dari vaksin dengan kandungan virus tinggi, 4 vaksin galur H120 berkandungan virus 104,9-105,5 EID50, 1 vaksin galur Connecticutt dan 1 vaksin galur Armidale masing-masing berkandungan virus 105,5 dan 106,5 EID50, Data ini memperlihatkan bahwa ketidak lulusan vaksinvaksin tersebut mungkin disebabkan kandungan virus yang terlalu tinggi, tetapi masih perlu pembuktian lebih lanjut.
Hasil Pengujian Potensi Vaksin
Untuk mengetahui potensi suatu vaksin IB perlu dilakukan uji potensi menggunakan ayam SPF. Uji potensi vaksin IB di Indonesia metoda yang digunakan adalah metoda serum netralisasi. Vaksin dinyatakan lulus uji potensi tersebut apabila indeks netralisasi serum ayam yang divaksin adalah 2,0 atau lebih (Farmakope Obat Hewan Indonesia, 1997). Metoda ini mengadopsi pada Minimum Rquirement of Biological Products for Animal Used, Japan (1976).
Pada uji potensi tersebut, vaksin yang diuji lulus semua terdapat pada tahun 1987/1988 sampai dengan 1991/1992, juga pada tahun 1994/1995 dan 1997/1998 sampai dengan 1999/2000 (Tabel 3). Persentase lulus uji terendah terdapat pada tahun 1993/1994 yaitu sebesar 40%, diikuti tahun 2000 sebesar 64% da tahun 1995/1996 sebesar 70%. Sedangkan apda tahun 1996/1997 dan 1992/ 1993 masing-masing adalah 78% dan 86%. Vaksin yang lulus uji potensi secara keseluruhan dari tahun 1987/1988 sampai dengan pertengahan 2001 adalah 84%.
Sebagian besar perusahaan pembuat vaksin IB menggunakan metoda uji potensi dengan cara tantang seperti tertulis pada Manual of ASEAN standards for animal vaccines (1988), Code of Federal Regulations for Animals and Animal Product, US (993), British Pharmacopoiae (Veterinary) (1985), European Pharmacopoeia (1980). Banyak galur virus vaksin yang telah masuk ke Indonesia. Dengan metoda serum netralisasi tidak bisa menjamin semua galur virus vaksin krosproteksi dengan virus lapangan di Indonesia. Maka dari itu periu merubah metoda uji potensi vaksin IB dan uji netralisasi serum menjadi uji tantang dengan menggunakan virus ganas isolat Indonesia.
Hasil Penilaian Akhir
Penilaian akhir merupakan gabungan dari hasil uji kandungan virus, uji keamanan dan uji potensi. Vaksin yang memenuhi syarat adalah vaksin yang telah lulus dari tiga uji tersebut diatas. Pada penilaian akhir uji vaksin IB, vaksin yangdiuji pada tahun 1987/1988 sampai dengan 1991/1992, danjuga pada tahun 1997/1998 lulus semua (Tabel 3). Persentase lulus uji terendah terdapat pada tahun 1993/1994 yaitu 40%, diikuti tahun 1992/1993 sebesar 44% dan tahun 1994/1995 sebesar 50%. Persentase lulus uji pada 8 Tahun Anggaran yang lain bervariasi antara 44% dan 86%.
Selama 14 Tahun Anggaran terdapat 140 vaksin IB yang telah diregistrasi oleh Departemen Pertanian. Vaksin yang sudah diuji di BPMSOH sebanyak 87 vaksin. Dari vaksin yang diuji tersebut ternyata vaksin yang lulus uji pada penilaian akhir adalah 64 vaksin at au 74% dari vaksin-vaksin yang diuji mulai tahun 1987 sampai dengan pertengahan tahun 2001.
Perlu diketahui bahwa pengujian vaksin selama ini dilakukan terhadap setiap jenis vaksin bukan setiap batch atau lot suatu vaksin. Meskipun sudah lulus uji untukjenis vaksin tersebut tetapi belum bisa menjamin setiap batch atau lot dari jenis vaksin tersebut juga lulus. Selama 14 tahun dari 1987-2001 vaksin yang memenuhi syarat sebanyak 74%, dan bahkan selama 3 tahun berturut-turut dari 1992-1994 vaksin yang memenuhi syarat hanya 40%-50%. Begitu rendah vaksin yang memenuhi syarat ini maka disarankan agar pengujian vaksin IB dilakukan terhadap setiap batch vaksin. Hal ini bertujuan untuk menjaga mutu dari setiap batch vaksin yang beredar di Indonesia.
KESIMPULAN DAN SARAN
Perusahaan pembuat atau pengimpor vaksin diwajibkan mengujikan setiap batch vaksin yang diproduksi di Indonesia atau diimpor ke Indonesia.
Lembaga penelitian, Departemen Pertanian maupun LIPI perIu mengkaji galur virus vaksin IB dan isolat virus IB di Indonesia.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan meningkatkan seleksi secara seksama terhadap galur virus vaksin impor agar vaksin tersebut bisa dimanfaatkan secara maksimal dan tidak membahayakan bagi peternakan ayam di Indonesia.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan mengkaji metoda uji potensi vaksin IB dari uji netralisasi serum menjadi uji tantang dengan menggunakan virus isolat Indonesia.
ASEAN mengkaji ulang persyaratan minimal kandungan virus vaksin IB dalam Manual of ASEAN Standards for Animal Vaccines.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, 1976. Minimum Requirement of Biological Products for Animal Used, Ministry of Agriculture Forestry and Fisheries. Tokyo.
Anonimus. 1980. European Pharmacopoeia. Council of Europe. Volume 1-8, Maisonneuve S.A., Perancis.
Anonimus. 1985. British Pharmacopoeia (Veterinary).
Department of Health and Social Security. Welsh Office. Scotish Home and Health Department. Ministry of Agriculture, Fisheries and Food. Department of Health and Social Services for Nothern Ireland. Department of Agricultural for Northern Ireland. London Her Majesty's Stationery Office. UK for HMSO.
Anonimus. 1987. Peraturan Perundangan Kesehatan Hewan edisi III, Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian.
Anonimus. 1988. In E.F. Kaleta and U. Heffels-Redman (Eds.). Proceedings of the First International Symposium on Infectious Bronchitis, Rauischholzhausen, Germany.
Anonimus.1991. InE.F. Kaleta and U. Heffels-Redmann (Eds.). Proceedings of the Second International Symposium on Infectious Bronchitis, Rauischholzhausen, Germany.
Anonimus. 1993. Code of Federal Regulations. Animals and Animal Products, Volume 9 Part 1 - 199. US Government Printing Office. Washington.
Anonimus. 1993. Indeks Obat Hewan Indonesia edisi III, Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.
Anonimus. 1997. Farmakope Gbat Hewan Indonesia (Biologik) Jilid I. Direktorat Jenderal Peternakan. Cetakan ke-2. Air Akar.
Anonimus. 1988. Manual of ASEAN Standards for Animal vaccines. ASEAN Secretariat, Penebar Swadaya. Indonesia.
Anonimus. 2000. Indeks Gbat Hewan Indonesia edisi IV, Direktorat Jenderal Peterakan, Jakarta.
Cavanagh, D., Davis, P.J. and Cook, J.K.A. 1992.
Infectious Bronchitis virus: evidence for recombination within the Massachusetts serotype. Avian Pathology. 21,401-408.
Cook, J.K.A. and Huggins, M.B. 1986. Newly isolated serotype of infectious bronchitis virus: their role in Disease. Avian Pathology, 15. 129-138.
Cubillos, A., Ulloa, J. Cubillos, V and Cook, J.K.A. 1991. Characterization of strains of infectious bronchitis isolated in Chile. Avian pathology, 20, 85-99.
Darminto. 1992. Serotyping of infectious bronchitis viral isolates. Penyakit Hewan, 24(44), 76-81.
Darminto. 1995. Diagnosis, Epidemiology and Control of two Major Avian Viral respiratory Diseases in Indonesia: Infectious bronchitis and Newcastle Disease. PhD Thesis. Department of Biomedical and Tropical Veterinary Science, James Cook University of North Queensland, Townsville, Australia.
Davelaar, F.G., B. Konwenhoven, and A.G. Burger. 1986. The diagnosis and control of infectious bronchitis variant infection. In: Acute virus infection of poultry (eds. J.B. McFerran and M.S. McNulty). Martinus NijhoffPublishers, Lancaster. pp. 103-121.
Gelb, J., Wolff, J.B. and Moran, C.A. 1991. Variant serotype of infectious bronchitis virus isolated from commercial layer and broiler chickens. Avian Diseases, 35, 82-87.
Hofstad, M.A. 1984. Avian infectious bronchitis. In:
Disease of Poultry, 8th edition, (eds. M.S. Hofstad, H.J. Barnes, B.W. Calnek, W.M. Reid, and H.W. Jr. Yoder). Iowa State University Press, Ames. Iowa, USA. pp. 429-443.
Jungherr, E.L., Chromiak, T. W. and Luginbuhl, R.E. 1956. Immunologic differences in strains of infectious bronchitisvirus. Proceeding of 60th Annual Meeting of the United states Livestock Sanitary Association, Chicago, IL (pp. 203-209).
Schalk,A.F. and Hawn, M.C. 1931. An apparently new respiratory disease of baby chicks. Journal of the American Veterinary Medical Association. 8: 413422.
Sumber : Buletin Pengujian Mutu Obat Hewan nomor 8 tahun 2001.