Sunday, 13 January 2013

Peranan Unggas Air (Itik) dalam Penyebaran Virus AI


Avian Influenza (AI) merupakan penyakit yang mempunyai dampak ekonomi yang sangat besar  pada perunggasan dan membahayakan kesehatan manusia. Pada pertengahan tahun 2003, laporan outbreak AI terjadi di Indonesia dimana unggas yang terinfeksi AI  menunjukkan gejala klinis seperti pial dan jengger membengkak dan kebiruan (sianosis), muka bengkak dan keluar cairan dari hidung dan mulut, ptekhi subkutan pada kaki dan telapak kaki, tortikolis, diare dan kematian yang sangat tinggi. Beberapa tahun kemudian, dinamika perkembangan kasus AI yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar kasus AI yang terjadi pada unggas dengan kematian mendadak tanpa menunjukkan gejala klinis sebelumnya. Di Indonesia, kasus AI pada manusia ditemukan pertama kali di Kabupaten Tangerang pada tahun 2005. Perkembangan kasus AI pada manusia di Indonesia sebanyak 150 orang kematian dari 182 orang yang positif terinfeksi H5N1 sampai dengan akhir tahun 2011 (DEPKES, 2011).  Umumnya, penyakit influenza pada manusia menyerang saluran pernafasan yang ditandai dengan demam, sakit kepala, nyeri otot (mialgia), batuk, lesi, kebengkakan (coryza), sakit tenggorokan dan batuk (CHIN, 2006).

       Penyakit Avian Influenza disebabkan virus influenza yang berdasarkan taxonominya termasuk dalam family Orthomyxoviridae. Virus ini merupakan virus RNA, berpolaritas negatif, mempunyai envelope dan genomnya bersegmen. Masing-masing segmen dari virus Influenza tipe A terdiri dari protein Polymerase component 2 (PB2), Polymerase component  1(PB1) dan Polymerase component (PA) yang mengkodekan Polymerase, Hemaglutinin (HA), Nucleocapsid (NP), Neuraminidase (NA), Matrix Protein 1 (M1), Matrix Protein 2(M2), Non Structural Protein 1 (NS1) dan Non Structural Protein 2 (N2). Virus  Avian Influenza berdasarkan kemampuannya dalam menimbulkan penyakit pada unggas dikarakterisasi menjadi Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) dan Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) (SENNE et al., 1996; PERDUE dan SWAYNE, 2005), sedangkan berdasarkan genetik dan antigenik, virus influenza dibedakan menjadi tipe A, B dan C. Avian Influenza atau flu burung termasuk virus Influenza tipe A. Virus influenza A dapat menginfeksi berbagai unggas, mamalia dan manusia (ALEXANDER, 1982 ; WEBSTER  et al., 1992). Virus  influenza tipe A dibedakan menjadi beberapa subtipe berdasarkan kombinasi 2 antigen permukaan utama yaitu Hemaglutinin  (HA) dan Neuraminidase (NA). Saat ini, 16 subtipe HA dan 9 subtipe NA telah diidentifikasi yang memungkinkan berpotensi menjadi 144 kombinasi subtipe. Virus AI subtipe H5N1 dianggap sebagai agen yang bertanggung jawab terhadap pandemik influenza pada manusia yang terjadi akhir-akhir ini (FOUCHIER  et al., 2005).

       Unggas air liar Anseriformes (itik, entok dan angsa) dan Charadriiformes (burung camar (laut), burung laut, burung liar) yang keberadaannya tersebar di dunia  merupakan reservoir alami dan inang virus influenza A yang paling heterogen (WEBSTER et al., 1992). Unggas air liar merupakan reservoir yang unik  untuk  virus avian influenza dikarenakan  burung air terutama unggas air merupakan reservoir semua subtipe H dan N virus avian influenza dimana virus AI berkembangbiak dalam jumlah besar didalam saluran pencernaan unggas air tanpa menimbulkan gejala klinis (OLSEN et al., 2006). Keragaman sirkulasi virus AI pada unggas air semakin memperkuat dugaan bahwa unggas air berperan penting dalam penularan virus AI ke manusia (BAIGENT et al., 2003).
 
       Umumnya, itik merupakan salah satu unggas air yang sensitif terhadap infeksi AI. Penelitian yang dilakukan HANSON et al. (2005) menunjukkan hasil bahwa beberapa subtipe hemaglutinin yaitu H2, H7, H8 dan H1 dapat dideteksi dari berbagai jenis itik (Anas crecca, Anas cyanoptera, Anas discors, Anas acuta, dan Anas discors) yang tinggal di Texas. Keberadaan itik yang tersebar luas di dunia dan kemampuan itik untuk dapat berpindah atau berpergian dalam jarak yang sangat jauh dan dihubungkan sebagai carrier dari satu daerah ke daerah yang lain (BROCHET et al., 2010; NAGY et al., 2009). Penggembalaan itik secara bebas dan berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya terutama pada saat musim panen merupakan faktor yang berperan terhadap penyebaran virus HPAI H5N1 (GILBERT et al., 2006).  Di Indonesia, pengembalaan itik secara berpindah pada musim panen juga terjadi dimana itik secara berkelompok dibiarkan bebas berkeliaran untuk mencari makan sendiri di sawah yang habis panen dan selanjutnya, itik ini akan berpindah ke sawah lain apabila makanan di sawah sebelumnya sudah mulai habis. Perpindahan itik ini berlangsung selama beberapa hari dan dalam jarak yang cukup jauh dimana kondisi ini sangat mendukung terjadinya penyebaran virus oleh itik yang terinfeksi virus AI dari satu tempat ke tempat lainnya melalui shedding virus. Gambar 1 menunjukkan penggembalaan unggas air (itik) secara berpindah dari sawah satu ke sawah lain di Indonesia pada saat musim panen.

                       http://bbalitvet.litbang.deptan.go.id/ind/images/stories/peranan%20unggas%20air%20itik%201.jpg     http://bbalitvet.litbang.deptan.go.id/ind/images/stories/peranan%20unggas%20air%20itik%202.jpg
                    Gambar 1. Penggembalaan itik sistem berpindah (Foto: Livestockreview, 2012; Zakialjufri.com, 2010)
       Apabila infeksi dan shedding  virus terjadi terus menerus, virus LPAI akan mempunyai kemampuan untuk bermutasi menjadi HPAI. Virus AI yang tidak patogenik dalam itik dapat menjadi virus patogenik melalui evolusi atau adaptasi dalam tubuh itik, dan virus tersebut akan bersifat sangat patogenik apabila menginfeksi ayam peliharaan atau peternakan ayam. Hal ini menunjukkan kemampuan itik untuk menularkan virus kepada unggas lain tanpa menderita penyakit yang parah (HULSE-POST et al., 2005; KEAWCHAROEN et al., 2008). Namun demikian, virus AI H5N1 akhir-akhir ini dapat menyebabkan penyakit yang parah pada itik dengan angka kematian yang tinggi, dan itik yang terinfeksi AI baik dengan gejala klinis atau tanpa menunjukkan gejala klinis dan mampu mengeluarkan virus AI dalam jumlah yang sangat besar melalui kloaka dan oropharing (STRUM-RAMIREZ, 2004).

       Virus influenza selama periode infeksi dapat dikeluarkan itik dalam jumlah besar melalui feses selama 7 hari, bahkan mungkin sampai 21 hari. Itik air sangat peka dan mudah terinfeksi oleh virus influenza AI melalui makanan dan air yang dikonsumsi (KIDA et al., 1980).  Habitat itik yang dekat dengan lingkungan air sangat memungkinkan untuk transmisi virus influenza melalui air.  Air merupakan suatu media yang disukai untuk penyebaran virus AI nonvirulent dan sebagian virus AI sangat virulent diantara spesies unggas yang berkumpul dalam suatu lahan yang basah (unggas air, burung laut dan burung pantai). Virus AI masih dapat bersifat infektif dalam air yang tergenang selama 4 hari pada suhu 22oC dan lebih dari 30 hari pada suhu 0oC. Virus AI akan bertahan dalam periode yang lebih lama lagi jika berada dalam daerah atau lahan dingin (STALLKNECHT et al., 1990). Di Indonesia, laporan kasus AI umumnya akan meningkat pada saat musim hujan dimana kelembaban tinggi menjadi faktor pendukung terhadap perkembang biakan dan penyebaran virus AI di lingkungan. Hasil penelitian terhadap sirkulasi virus AI subtipe H5 pada unggas termasuk unggas air di Jawa Barat, Banten, Jawa Timur sepanjang tahun 2008 sampai 2009 yang dilakukan HEWAJULI dan DHARMAYANTI (Unpublised, 2012) menunjukkan bahwa virus AI subtipe H5 ditemukan pada sebagian besar unggas termasuk unggas air yang dikoleksi pada musim hujan sedangkan sebagian besar unggas yang diambil sampelnya pada musim kemarau tidak teridentifikasi virus AI subtipe H5. Suhu yang tinggi pada musim kemarau kemungkinan menyebabkan virus AI yang ada di lingkungan menjadi inaktif. CHANG et al. (2004) menyatakan bahwa virus AI dapat diinaktifasi pada suhu 560C selama 3 jam atau suhu 600C  selama 30 menit, dengan pH <5 atau="atau" ph="ph">8. Gambar 2 menunjukkan kebiasaan  unggas air yang sering berhubungan dengan lingkungan air merupakan faktor resiko terhadap penularan virus AI ke lingkungan sekitar.
  
                                     http://bbalitvet.litbang.deptan.go.id/ind/images/stories/peranan%20unggas%20air%20itik%203.jpg
                         Gambar 2. Itik yang berpotensi menularkan virus AI ke lingkungan (foto: Kulinerkita, 2009)

      Pada dasarnya, virus Avian Influenza tidak dengan mudah menginfeksi manusia (BEARE et al.,1991) dikarenakan manusia tidak memiliki reseptor  a(2,3) sialyllactose (Neu-Ac2,3Gal) untuk penempelan virus dengan sel epitel. Meskipun demikian, gen virus AI dapat ditularkan diantara manusia dan spesies unggas sebagaimana yang diperlihatkan oleh virus human reasortant yang menyebabkan pandemik influenza pada tahun 1957 dan 1968 (KAWAOKA et al.,1989). Struktur virus Influenza A yang termasuk virus RNA, single stranded, dan terdiri dari 8 segmen dengan gen yang berbeda adalah faktor-faktor yang kemungkinan berpotensi besar sebagai penyebab terjadinya  genetic reassortment pada infeksi campuran dengan virus yang berbeda dalam tubuh unggas serta dapat merubah virus AI menjadi virus yang patogen pada manusia (ALEXANDER, 1982; DASZAK et al., 2006; HEENEY, 2000). Di Indonesia, masyarakat setempat mempunyai kebiasaan bertempat tinggal atau hidup berdampingan dengan unggas peliharaan dan unggas air  dalam satu lingkungan tempat tinggal. Kondisi ini seperti yang terlihat pada Gambar 3. memberikan peluang yang sangat besar terjadi pencampuran genetik antara virus influenza manusia dan unggas.
  
                                           http://bbalitvet.litbang.deptan.go.id/ind/images/stories/peranan%20unggas%20air%20itik%204.jpg        
                            Gambar 3.Manajemen pemeliharaan itik yang sering kontak dengan manusia (Foto: Faisal, 2012)

    Faktor-faktor yang berperan terhadap peningkatan kasus zoonosis pada manusia meliputi kontak antara manusia dan hewan baik hewan peliharaan maupun domestik dengan frekuensi yang tinggi serta peningkatan jumlah perdagangan hewan liar di dunia (KARESH et al., 2005). Penularan dari manusia ke manusia merupakan faktor resiko yang sangat berbahaya dalam menyebarkan semua jenis penyakit patogen. Namun demikian, penularan langsung dari hewan ke manusia untuk beberapa penyakit zoonosis seperti Avian Influenza juga merupakan faktor resiko yang sangat penting untuk diwaspadai dan diperlukan suatu upaya pengendalian penyebaran virus AI dengan memutus mata rantai penyebaran tersebut sehingga munculnya wabah penyakit dapat diminimalkan. FAO bersama dengan WHO telah bekerjasama dalam perencanaan upaya pengendalian dan pemberantasan outbreak HPAI yang terjadi di dunia akhir-akhir ini.

       Upaya-upaya pengendalian penyebaran dan pemberantasan virus AI yang sudah menjadi program pemerintah selama ini sebaiknya harus secara nyata diterapkan di lapangan dalam rangka upaya untuk memotong mata rantai penyebaran virus AI dari unggas. Pada tahun 2004, Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian mengeluarkan kebijakan strategi No. 17/Kpts/ PD.640/F/02/04 yang  meliputi 1). penerapan biosekuriti yang tepat, 2). depopulasi selektif di daerah tertular, 3). vaksinasi, 4). pengendalian lalu lintas unggas, 5). surveilen dan penelusuran, 6). peningkatan kesadaran masyarakat, 7). pengisian kandang kembali, 8). stamping out di daerah tertular baru, 9). monitoring, pelaporan dan evaluasi. Sembilan langkah ini diharapkan mampu mencegah penyebaran penyakit AI lebih lanjut. Namun demikian, penyakit ini telah meluas hampir ke seluruh wilayah Indonesia sejak diketemukan tahun 2003. Sampai dengan tahun 2011, propinsi yang tidak terjadi kasus AI adalah Maluku, Papua, Papua Barat dan Maluku Utara tetapi pada April tahun 2012, penyakit AI telah menjadi endemis di 32 propinsi dan hanya 1 propinsi yang dinyatakan bebas AI yaitu propinsi Maluku Utara. Untuk itu, suatu pengembangan  strategi alternatif  untuk pencegahan dan pengendalian penyebaran virus AI yang efektif sangat diperlukan. Program pengendalian dan pemberantasan AI memerlukan suatu pendekatan yang komprehensif dan intensif mencakup tindakan pencegahan, pengendalian dan pemberantasan AI pada unggas pekarangan, peternakan unggas komersial, itik dan sepanjang rantai pemasaran unggas serta melibatkan semua pihak. Pada tahun 2012, strategi utama pengendalian AI yang ditetapkan pemerintah melalui Direktorat Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian dititik beratkan pada 1) peraturan perundangan, 2) public awareness, 3) biosekuriti di farm dan rantai pemasaran unggas, 4) depopulasi terbatas di daerah endemis dan stamping out didaerah bebas, 5) surveilans yang meliputi partisipasi, prevalensi, pembebasan dan monitoring dinamika virus, 6) pengawasan lalu lintas, 7) vaksinasi tertarget di daerah kasus tinggi, 8) restrukturisasi perunggasan (DIRKESWAN, 2012).  

      Pengendalian HPAI tidak bisa hanya dilakukan melalui pendekatan teknis saja. Selain bervariasinya masalah otoritas yang menangani kesehatan hewan di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota serta besarnya populasi unggas di Indonesia, banyak faktor lain yang menjadikan kendala pengendalian seperti aspek kesehatan masyarakat, dampak ekonomi, sosial budaya, politik, dan efek  psikologis kasus AI sangat menonjol sehingga penanggulangan penyakit AI sangat kompleks (SYAH, 2011). Selain itu, kerjasama yang baik antara masing-masing instansi yang berkaitan dengan kesehatan hewan dan manusia serta masyarakat harus selalu dibina dalam upaya pengendalian dan pemberantasan penyebaran virus AI dari unggas ke manusia.

Sumber : http://bbalitvet.litbang.deptan.go.id/ind/index.php/component/content/article/37-berita-utama/360-peranan-unggas-air-itik-dalam-penyebaran-

No comments:

Post a Comment