Friday, 31 August 2012

Perkembangan Teknologi Peternakan di negeri Sakura


Jepang adalah salah satu negara yang masyarakatnya memiliki kualitas hidup yang tinggi. Tingkat konsumsi protein asal hewani sudah sangat baik, tingkat kesadaran pemerintah dan rakyat Jepang terhadap modal memajukan bangsa adalah dengan mencerdaskan SDM juga sangat baik, peningkatan SDM tidak bisa lepas dari asupan pangan asal ternak yang memiliki korelasi positif terhadap tingkat intelegensi SDM. Kesadaran ini juga didukung dengan langkah nyata dalam upaya penyediaan pangan asal ternak yang cukup dan berkualitas. Namun karena keterbatasan lahan maka produksi daging dan susu dalam negeri belum mampu swasembada sehingga Jepang pun melakukan Import dari Negara lain. Produksi daging sapi dalam negeri hanya mampu memenuhi 42% dari kebutuhan, dan produksi daging tersebut 43%nya berasal dari daging sapi wagyu.

Jenis sapi wagyu memiliki kelas terbaik dan mendominasi konsusmi daging sapi di negeri ini. Hal ini lebih disebabkan karena jenis sapi ini memiliki kualitas perlemakan / marbling yang sangat baik (hingga skala 12), dan arah konsusmi masyarakat sudah mengarah kepada kenikmatan dan kesehatan pangan. Sehingga arah program pengembangan peternakan di Jepang khususnya sapi potong pun sudah berorientasi kearah kualitas, bukan hanya kuantitas.

Secara dasar perbedaan sapi dari Negara Amerika atau Australia dengan sapi wagyu ini adalah dari cita rasa, sapi barat mengandalakan cita rasa daging sebagai otot, tetapi wagyu menyuguhkan kehalusan citarasa yang lebih abstrak, dituangkan lewat metamorfosa lemak ke minyak. Maka, dipilihlah sapi yang paling empuk dagingnya dan kurang berkembang ototnya tetapi berpotensi besar dikembangkan lemaknya. Dan perlemakan yang unggul ini lebih dominan disebabkan faktor genetik, terutama pada wagyu berbulu hitam (Japanese black).  Selain itu daging sapi wagyu ini memiliki kadar lemak baik yang lebih tinggi hingga mencapai 52%.

Jepang memiliki 4 jenis sapi potong yang biasa disebut Wagyu yaitu Japanese black, Japanese brown, Japanese shorthorn dan Japanese polled. Keempat jenis sapi wagyu tersebut memilki keunggulan dan ciri khas masing-masing. Japanese black merupakan produsen "marbled beef yang paling bagus, dengan penampilan fisik mencapai tinggi 147 cm dengan berat 720 kg untuk jantan dan tinggi 130 cm dengan BB 450 kg untuk betina. 

Berbeda halnya dengan sapi Japanese brown memilki karakter yang lebih tahan terhadap suhu tinggi dan adaptasi terhadap pakan kasarpun tinggi, tetapi kualitas daging yang dihasil rendah dibanding Javanese black, dan ferformance fisiknya mencapai tinggi 153 dengan BB 1 ton untuk jantan dan betinanya memiliki tinggi 134 cm dengan BB 600 kg.

Sapi Japanese shorthorn memiliki karakter kualitas daging yang memiliki serat tebal dan kualitas perlemakan yang rendah jika dibandingkan dengan sapi Javanese black, tetapi kelebihannya mampu memanfaatkan pakan kasar secara lebih efisien dan mampu beradapatasi pada iklim di daerah bagian utara Jepang serta kemampuan adaptasi terhadap metoda pengembalaan di padangan (performan jantan : 145 cm tinggi dan 1 ton BB, performance betina tinggi : 130 cm dan 580 kg BB. 

Lain lagi halnya dengan sapi jenis Japanese polled merupakan sapi yang memiliki karakter lebih kuat dibanding Japanese black namun kualitas daging dan perlemakan yang rendah, adapun penampilan fisik untuk jantan mencapai tinggi 137 cm dengan BB 800 kg sedangkan sapi betina tinggi sekitar 122 cm dan BB 450 kg.

Persentase jenis sapi penyuplai daging di Jepang, Wagyu menempati urutan teratas sebanyak 43%, nomor dua dairy breed sebanyak 31%, nomor tiga cross breed sebanyak 24%, sedangkan yang lain hanya 2%. 

Harga karkas per kg di Jepang, karkas Wagyu menempati urutan teratas (termahal) yakni 1.500 yen per kg, nomor dua Cross breed yakni 1.100 yen per kg, sedangkan yang termurah dairy breed dengan harga 600 yen per kg.

Peningkatan Produksi Ternak 

Seperti dijelaskan diatas, Jepang memiliki sumber daya lahan yang terbatas dibanding banyak negara lainnya, dengan luasan sekitar 378 ribu km2 (Luas Indonesia 205% dari luasan Jepang). Populasi penduduk mencapai 127 juta dan terletak pada zona daerah beriklim sedang dan dingin serta merupakan daerah pegunungan, sehingga menjadi titik kritis dalam upaya untuk memajukan usaha pembibitan ternak dan meningkatkan kapasitas dalam pengembangan teknologi. 

Pengembangan usaha pembibitan ternak yang dilakukan melalui peningkatan kemampuan genetik ternak, sehingga dengan harapan dapat menghasilkan produk yang berkualitas tinggi dengan yang rendah. Inilah yang menjadi arah dalam pengembangan dunia peternakan di Jepang dewasa ini. Sehingga program peningkatan produktivitas ternak sangatlah penting. Pengertian peningkatan produktivitas ternak yaitu dapat meningkatkan pendapatan peternak dan menyuplai produk peternakan dengan stabil dan aman untuk masyarakat melalui peningkatan kualitas dan kuantitas produk.
1. Peningkatan Kualitas

a)    Perbandingan daging sapi yang berkualitas tinggi: 39.4% (1995) menjadi 48.1 % (2007)
b)    Fat (%) : 3,44 (1975) menjadi 3,99 (205)
c)    SNF(%): 8,18 (1975) menjadi 8,79 (2005)

Peningkatan kualitas ini memiliki dampak pada peternak yaitu dapat meningkatkan nilai tambah pada produk peternakan, dan dapat meningkatkan keuntungan pada usaha peternakan. Sedangkan pada tingkat konsumen dapat mengkonsumsi produk peternakan yang disesuaikan dengan kebutuhan.

2. Peningkatan kuantitas
a)    Penambahan berat badan/ hari untuk sapi potong 0,60 kg (1975) menjadi 0,73 kg (2005)
b)    Produksi susu/ekor untuk sapi perah dari 4,5 kg (1975) menjadi 7,9 kg (2005)

Tentunya peningkatan kuantitas inipun memberi keuntungan bagi peternak yaitu dapat menurunkan biaya produksi pada produk peternakan dan perbaikan pada usaha peternakan cadangkan bagi konsumen tentunya memberi jaminan suplai pada produk peternakan secara stabil dan dapat membelinya dengan harga yang rasional.

Teknologi Pakan 

Selain faktor genetik yang merupakan hasil dari proses yang begitu panjang, tentunya keunggulan genetik tersebut tidak akan tampil secara optimal ketika pakan sebagai faktor dominan diabaikan. Bahkan di Jepang pengelolaan peternakan dilakukan secara modern meskipun di tingkat peternak kecil, sangat familiar dengan teknologi mekanisasi.   

Pemanfaat lahan di Jepang terdiri dari 66% hutan, 12,6% lahan pertanian, 4,9% lahan untuk bangunan, 3,6% wilayah air, 3,5% jalan dan 9% Iain2. Sedangkah pembagian lahan pertanian terdiri dari 38,1% pady field, 21,1% forage crops, 13% sayuran, gandum-ganduman 6,2%, buah 6% dan Iain2 15,5%.

Dengan pemanfaatan lahan sekitar 21% (901.500 ha) untuk tanaman pakan, dapat memproduksi TDN sebanyak 4.305 ton sedangkan kebutuhan mencapai 5.546 ton sehingga mampu memenuhi hingga 78% dari kebutuhan roughage berbeda halnya dengan bahan-bahan campuran konsentrat yang hampir 90% dipenuhi oleh import.

Terdapat tiga sistem pemeliharaan yang banyak ditemui di Negara Jepang

1. Dua puluh empat jam sapi berada di pengembalaan, dengan system rotasi paddock. Teduhan hanya pohon secara alami. Bahkan banyak peternak yang tidak menambahkan konsentrat pada ternaknya, namun mineral block disebarkan di pengembalaan guna mengantisipasi rendahnya unsur mikro pada rumput padangan. Sistem inipun terbagi menjadi 2 metoda yang banyak diterapkan oleh peternak di Jepang, yaitu :

1) Sistem rotasi dengan rata-rata luasan   pengembalaan   hanya berkisar 0,5 ha (grazing 3 bulan dan housing 5-6 bulan)

2)  Sistem tradisional continuous grazing seluas 2 ha ditempatkan beberapa ekor sapi berdasarkan daya tampung padang pengembalaannya (grazing 1 bulan dan housing 7-8 bulan).

Biaya produksi untuk menghasilkan calf pada metoda tradisional lebih tinggi dibanding dengan metoda rotasi, sehingga sekarang banyak peternak beralih pada system rotasi yang memanfaatkan solar electrical fence.

2. Dua puluh empat jam sapi berada di kandang, pada sistem ini tentunya kualitas permablingan akan lebih baik. Pada sistem ini pemberian pakan biasanya terdiri dari dua cara :

1)    Menggunakan complete feed, yang merupakan campuran dari silase, hay dan konsentrat, bahkan banyak peternak yang memfermentasi kembali complete feednya melalui penerapan teknologi silase.

2)    Pemberian hay / silase terpisah dengan konsentrat.  Namun dari kedua cara tersebut mineral blok senantiasa tersedia dikandang.

3. Sistem angon, kandang berada disisi padang pengembalaan, jika merasa kepanasan/kedinginan sapi dengan sendirinya kembali ke kandang.

Sumber :

Hesti Natalia, Perkembangan Teknologi Peternakan di negeri Sakura.  Infofeed Volume 2 No. 2 Juli 21012. Hal. 28-29

No comments:

Post a Comment