Thursday, 16 August 2012

Krisis Tempe dan Tahu


Oleh Dedi Rianto Rahadi1)

Faktor kekeringan di Amerika Serikat berimbas ke Indonesia. Salah satu imbasnya adalah harga kedelai yang terus melambung dan berdampak pada kenaikkan harga barang konsumsi yang berbahan baku kedelai. Sebagai bangsa yang menyukai olahan dari tempe seperti menu tempe bacem, tempe penyet, gorengan tempe, tahu bunting saat ini harus merogoh kocek yang lebih mendalam. Betapa tidak, produsen tempe sedang menjerit karena harga bahan bakunya melonjak tajam.

Sebagian penduduk Indonesia mayoritas terdiri dari kelas ekonomi menengah ke bawah. kurang memungkinkan bagi kelas ekonomi menengah ke bawah untuk mencukupi kebutuhan akan protein dengan membeli protein hewani. Sebagai suatu alternatif protein nabati sangat diminati. Harga yang relative murah, kandungan gizi yang lebih baik, dan rasa yang enak membuat protein nabati (khususnya tempe dan tahu) sangat diminati.

Seiring berjalannya waktu, produk olahan kedelai yang sangat diminati lama kelamaan menunjukan tanda-tanda kelangkaan. Indonesia tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan pasar akan kedelai. Hal itu mengakibatkan Indonesia harus mengimpor kedelai dari luar negeri. Indonesia yang disebut sebagai negara yang subur dan mayoritas penduduknya adalah petani tetap tidak mampu mencukupi permintaan pasar. Mengimpor barang konsumsi pastilah akan memiliki dampak negatif yaitu terjadinya ketergantungan dan bahaya inflasi.

Sebagian kita berpikir biaya operasional untuk menanam kedelai tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh, maka jalan pintas yaitu impor menjadi pilihan. Pernahkah kita berpikir ketika Amerika Serikat sebagai pengekspor kedelai tebesar mengalami kekeringan alias gagal panen? Pernahkah kita berpikir ketika Amerika Serikat merubah kebijakan untuk mengubah tanaman kedelai menjadi jagung? Indonesia selalu mulai berpikir ketika mengalami masalah bukan sebaliknya berpikir sebelum masalah muncul.

Seperti yang dikemukan Supadi (2009), ketergantungan kepada bahan pangan dari luar negeri dalam jumlah besar akan melumpuhkan ketahanan nasional dan mengganggu stabilitas sosial, ekonomi, dan politik. Ketahanan pangan berpengaruh langsung terhadap kesejahteraan rakyat. Pemerintah gagal menjaga stabilitas harga tempe dan membiarkan ketergantungan pada impor yang menyebabkan hancurnya Industri tempe rakyat.

Hukum Permintaan dan Penawaran
Teori permintaan mengatakan jika harga kedelai meningkat maka permintaan terhadap kedelai semakin berkurang, sebaliknya jika harga kedelai turun maka permintaan terhadap kedelai semakin meningkat. Begitu pula pengaruhnya terhadap produk olahan kedelai seperti tempe, tahu dan lain-lain. Jika harga tempe naik maka permintaan terhadap tempe menurun, akibatnya permintaan terhadap kedelai juga menurun. Sebaliknya jika harga tempe turun maka permintaan terhadap tempe meningkat. Begitu pula dengan pendapatan, jika pendapatan konsumen meningkat maka permintaan terhadap kedelai juga meningkat.

Perkembangan jumlah penduduk juga berbanding lurus dengan permintaan kedelai. Jika jumlah penduduk meningkat maka permintaan kedelai juga meningkat disebabkan semakin banyaknya kebutuhan akan produk tersebut. Hal senada dikemukakan Pudjiatmoko, (2008), menjelaskan bahwa permintaan kedelai di Indonesia dipengaruhi oleh harga kedelai domestik, harga kedelai impor, jumlah penduduk dan pendapatan penduduk. Sedangkan menurut Hadipurnomo (2000) permintaan kedelai dipengaruhi oleh harga kedelai domestik, jumlah industry olahan kedelai harga kedelai impor, jumlah penduduk dan permintaan kedelai tahun sebelumnya.

Naiknya harga kedelai di pasar global telah menyebabkan bangkrutnya para produsen tempe nasional. Terlebih tempe merupakan bahan pangan yang sebagian besar dihasilkan oleh UKM. Dalam sebulan terakhir harga kedelai kualitas sedang telah naik dari Rp 6.800 menjadi Rp 7.800 per kg. Bahkan kedelai impor kualitas bagus kini harganya di pasaran telah mencapai Rp 8.300 per kg. Sedangkan harga kedelai lokal kualitas sedang harganya juga terkerek naik menjadi Rp 7.500 per kg.

Sebagian kebutuhan nasional kedelai dipasok dari sumber impor. Departemen Pertanian yang menyatakan, melonjaknya harga kedelai yang mencapai dua kali lipat sejak tahun 2008, berakibat berkurangnya pasokan kedelai di pasar internasional. Departemen Perdagangan menyatakan kebutuhan domestik terhadap kedelai cukup tinggi antara 2,5 juta-3 juta ton per tahun. Sedangkan pasokan dalam negeri yang dihasilkan hanya mencapai 700-800 ribu ton. Dengan demikian lebih dari 75 persen kebutuhan kedelai nasional dipasok impor. ôImpor telah menjadi tujuan utama pemerintah, menjadi strategi dasar dalam menjaga stabilitas harga.

Namun sangat disayangkan seringkali kondisi seperti ini dimanfaatkan oleh oleh sebagian mafia untuk mencari keuntungan sesaat. Pernyataan pemerintah untuk membebaskan bea masuk kedelai menjadi pintu masuk bagi sebagian mafia guna mencari keuntungan. Pembebasan bea masuk (BM) kedelai, memperbanyak impor serta memberikan subsidi harga bukan merupakan cara tepat jangka panjang untuk mengatasi permasalahan kesulitan pengrajin tempe dan tahu dalam negeri.

“Justru itu akan membebani pemerintah sendiri karena selain tetap sangat tergantung dengan impor juga mengurangi pendapatan dari BM hingga beban subsidi. Harusnya yang dilakukan adalah mempercepat swasembada dan menjaga harga jual petani,”Mempercepat swasembada kedelai bisa dilakukan pemerintah dengan merangsang petani bertanam komoditas itu mulai dari pemberian benih gatis, pembinaan cara bertanam baik dan benar hingga menjaga kestabilan harga. Swasembada juga bisa dicapai dengan mengharuskan perusahaan swasta bermitra dengan petani bahkan mewajibkan perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) yakni PT. Perkebunan Nusantara bertanam kedelai.

Solusi
Bagi pengusaha. menyusul melonjaknya harga kedelai setidaknya ada dua kiat yang dilakukan kalangan pengusaha tahu dan tempe yakni menyesuaikan harga jual atau mengurangi porsi ukuran dan berat tahu. Keduanya memang merugikan konsumen, dimana konsumen harus mengeluarkan lebih uang atau memperoleh ukuran yang berkurang. Strategi ini diharapkan dapat dimengerti oleh konsumen karena ini yang dapat mereka lakukan agar bias bertahan. Terpenting produsen tidak berbuat curang dengan mengganti bahan baku yang dapat membahayakan konsumen. Mogok kerja atau membuang tempe dan tahu justru merugikan produsen itu sendiri.

Bagi pemerintah, solusi membuka kran impor bukanlah solusi yang tepat untuk jangka panjang. Kondisi ini membuat pemerintah menjadi tidak mandiri. Memberikan kesempatan bagi investor untuk membuka lahan kedelai itu lebih baik. Buat kebijakan secara komprehensive untuk memberikan kesempatan bagi daerah sebagai penghasil khusus kedelai secara professional. Menurut Subandi (2007), paling tidak ada lima strategi penting yang harus dilaksanakan untuk menjamin keberhasilan peningkatan produksi kedelai nasional, yaitu: (1) Perbaikan harga jual; (2) Pemanfaatan potensi lahan; (3) Intensifikasi pertanaman; (4) Perbaikan proses produksi; dan (5) Konsistensi program dan kesungguhan aparat.

Perbaikan Harga Jual
Harga jual yang rendah di tingkat petani sehingga kurang kompetitif dibandingkan komoditas palawija lainnya, merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan petani kurang berminat membudidayakan kedelai. Peningkatan harga jual di tingkat petani merupakan kunci utama dalam mengembalikan minat petani untuk menanam kedelai. Untuk memenuhi kebutuhan kedelai di Indonesia, pemerintah terpaksa melakukan impor kedelai, terutama dari negara Amerika Serikat sebagai pengekspor utama. Terjadinya perubahan kebijakan pengelolaan lahan pertanian di Amerika Serikat dari tanaman kedelai ke tanaman jagung (sebagai sumber ethanol) menyebabkan produksi kedelai dunia mulai berkurang sementara permintaan selalu meningkat. Akibatnya, selain harga kedelai di pasaran dunia dan lokal yang naik lebih dari dua kali lipat, ketersediaan kedelai di pasar juga sudah mulai langka.

Pemanfaatan potensi lahan yang tersedia untuk mendukung peningkatan produksi kedelai antara lain dapat dilakukan dengan penanaman kedelai sebagai tanaman utama ataupun sebagai tanaman sela, diantaranya penanaman kedelai secara tumpang sari dengan ubikayu, kelapa sawit, kelapa, atau tanaman tua lainnya. Menurut Subandi (2007), dengan menerapkan teknologi maju, kedelai yang ditumpang sarikan dengan ubikayu dapat berproduksi mencapai 2 t/ha sedangkan ubikayu 30 t/ha.

Proses produksi yang mampu memberikan produktivitas tinggi, efisien, dan berkelanjutan yakni melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Menurut Balitkabi (2008), PTT adalah salah satu pendekatan dalam usahatani yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani serta melestarikan lingkungan produksi. Dalam implementasinya, PTT mengintegrasikan komponen teknologi pengelolaan lahan, air, tanaman, dan organisme pengganggu tanaman (LATO) secara terpadu Konsistensi program dan kesungguhan aparat.
1)Ketua Program Magister Manajemen (S2) Universitas Bina Darma, Anggota Dewan Riset
Daerah Prov. Sumsel

Sumber : Sriwijaya Post - Selasa, 31 Juli 2012 (http://palembang.tribunnews.com/2012/07/31/krisis-tempe-dan-tahu)

No comments:

Post a Comment