Indonesia
yang Agraris dan Rentan Iklim — Mengapa Sektor Pangan Kita di Ujung Kerusakan?
Indonesia dikenal sebagai negeri
agraris. Dari Sabang sampai Merauke, sawah, ladang, dan tambak bukan hanya
menjadi lanskap khas pedesaan, tetapi juga sumber kehidupan jutaan keluarga. Hingga
hari ini, sekitar sepertiga tenaga kerja Indonesia masih bergantung pada sektor
pertanian. Meski kontribusinya terhadap produk domestik bruto (GDP) hanya
berkisar 12–13 %, peran sektor ini tetap vital karena menopang pangan, lapangan
kerja, dan ketahanan ekonomi nasional.
Namun,
ketergantungan ini juga menyimpan kerentanan besar. Perubahan iklim kini bukan
sekadar isu masa depan. Gelombang panas, banjir bandang, pergeseran musim
hujan, dan kenaikan muka laut sudah nyata dirasakan petani. Gangguan ini
merusak panen, menekan produksi padi, dan mengguncang rantai pasok pangan. Dampaknya mulai menghantam dapur
rumah tangga di seluruh Indonesia.
Betapa Agrarisnya Indonesia?
Data resmi menegaskan betapa
pentingnya sektor pangan bagi negeri ini. Pertanian,
kehutanan, dan perikanan menyumbang rata-rata 12–13 % dari GDP nasional dalam
dua dekade terakhir. Sekitar 28–29 % tenaga kerja Indonesia masih
menggantungkan hidup pada sektor pertanian, terutama di pedesaan. Pada tahun
2023, Badan Pusat Statistik mencatat produksi padi sekitar 53,6 juta ton gabah
kering giling, setara 30,9 juta ton beras konsumsi. Angka ini menunjukkan
adanya tren penurunan luas panen dan fluktuasi hasil produksi, sebuah sinyal
tekanan serius terhadap sistem pangan nasional.
Kontribusi Pertanian terhadap GDP
Indonesia (2000–2024)
Produksi Padi Indonesia (2015–2023)
Mekanisme
Kerusakan Iklim terhadap Pertanian
Perubahan iklim
merusak pertanian melalui berbagai cara. Suhu ekstrem dan gelombang panas
memperpendek fase kritis tanaman seperti padi dan jagung sehingga produktivitas
menurun. Pergeseran pola curah hujan membuat sebagian daerah dilanda banjir,
sementara daerah lain mengalami kekeringan panjang. Kenaikan permukaan laut
menyebabkan intrusi garam ke lahan sawah pesisir, terutama di pantai utara
Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Kondisi iklim yang lebih hangat dan lembap juga
mempercepat siklus hama dan penyakit tanaman serta hewan ternak. Tak hanya itu,
banjir dan longsor merusak irigasi, jalan tani, dan gudang penyimpanan sehingga
distribusi pangan terganggu.
Bukti
Empiris: Padi di Bawah Tekanan
Bukti empiris
menunjukkan bahwa padi, sebagai komoditas pangan utama, berada di bawah tekanan
besar. BPS mencatat penurunan luas panen antara 2022 dan 2023, dengan produksi
yang semakin berfluktuasi. Laporan World Bank menegaskan bahwa sektor pertanian
Indonesia adalah salah satu yang paling rentan terhadap dampak iklim. Bahkan,
studi global menunjukkan bahwa kenaikan suhu hanya satu derajat Celsius saja
sudah cukup untuk menekan hasil tanaman pokok secara signifikan. Jika tren ini
berlanjut tanpa adanya adaptasi, ketersediaan beras—makanan pokok lebih dari
250 juta orang Indonesia—akan semakin rapuh.
Dampak
Sosial dan Ekonomi
Kerentanan iklim
pada sektor pangan menimbulkan dampak berlapis. Ketika panen gagal, pendapatan
rumah tangga pedesaan menurun drastis. Gangguan pasokan di sentra produksi
beras dapat memaksa pemerintah melakukan impor besar-besaran, yang pada
akhirnya memicu lonjakan harga pangan. Jika harga pangan bergizi naik tajam,
risiko gizi buruk terutama pada anak-anak pun ikut meningkat.
Jalan Keluar: Adaptasi dan Kebijakan
Meski ancamannya besar, ada sejumlah
langkah adaptasi yang mulai dilakukan, meskipun skalanya masih terbatas.
Pertanian cerdas iklim seperti penggunaan varietas tahan kekeringan, sistem
irigasi hemat air, agroforestry, dan manajemen tanah berkelanjutan mulai
diterapkan di beberapa wilayah. Layanan informasi cuaca yang lebih akurat untuk
petani, sistem peringatan dini, dan pemetaan panen berbasis data juga sedang
dikembangkan. Infrastruktur tahan bencana, seperti jaringan irigasi yang lebih
kuat dan gudang berpendingin, menjadi kebutuhan mendesak. Selain itu, jaring
pengaman sosial berupa asuransi indeks cuaca, kredit mikro berbasis iklim,
serta diversifikasi mata pencaharian petani perlu diperluas agar masyarakat
pedesaan lebih tangguh menghadapi guncangan.
Kebijakan nasional harus segera
memberi fokus lebih besar pada adaptasi iklim di sektor pertanian. Penerapan
teknologi adaptif bagi petani kecil perlu digencarkan, layanan agronomi digital
harus dipermudah aksesnya, dan lahan sawah produktif wajib dilindungi dari alih
fungsi. Perluasan pembiayaan berbasis iklim juga menjadi kunci agar petani
mampu berinvestasi dalam teknologi dan praktik adaptasi.
Kesimpulan
Indonesia memang negara agraris,
tetapi tanpa adaptasi yang cepat dan terukur, sektor pangan justru bisa menjadi
titik rawan krisis. Ancaman perubahan iklim tidak sekadar tercermin dalam angka
statistik, melainkan nyata dalam kehidupan petani, dalam pasokan beras
keluarga, dan dalam harga pangan yang kita bayarkan di pasar.
Dengan kebijakan yang berpihak,
investasi teknologi yang tepat, dan perlindungan bagi petani kecil, Indonesia
masih punya peluang besar untuk menjaga piring makan rakyatnya tetap penuh.
Namun tanpa langkah serius, sektor pangan bisa benar-benar berada di ujung
kerusakan.
#KrisisPangan
#IklimEkstrem
#NasibPetani
#PertanianIndonesia
#KetahananPangan
No comments:
Post a Comment