Perubahan iklim bukan hanya soal naiknya suhu rata-rata
global. Ia memicu sebuah kaskade atau rantai sebab–akibat yang panjang, yang
akhirnya bermuara pada ketahanan pangan dan gizi manusia. Gambar FAO yang
sering dijadikan rujukan memperlihatkan alur keterkaitan ini: perubahan iklim
memengaruhi sistem agro-ekosistem, lalu berdampak pada produksi pertanian dan
pasca-panen, menggerus mata pencaharian masyarakat, hingga akhirnya mengancam
pilar-pilar ketahanan pangan: ketersediaan (availability), akses (access),
pemanfaatan (utilization), dan stabilitas (stability).
Kaskade ini dimulai dari perubahan kondisi fisik
lingkungan. Suhu rata-rata yang terus meningkat menyebabkan pergeseran musim
tanam dan stres panas pada tanaman maupun ternak. Variabilitas curah hujan yang
semakin ekstrem menimbulkan kekeringan di satu sisi dan banjir di sisi lain,
keduanya merusak lahan produktif. Kenaikan muka laut mengancam lahan pesisir
dengan intrusi air asin, sementara pengasaman laut menurunkan produktivitas
ikan dan biota laut lainnya. Semua perubahan ini menjadi pintu masuk bagi disrupsi
yang lebih besar.
Agro-ekosistem—yang mencakup tanaman pangan, ternak,
perikanan, hutan, hingga interaksi dengan hama dan penyakit—mengalami tekanan
langsung. Hasil pertanian cenderung menurun, dan kandungan gizi pada tanaman
pun dapat berkurang. Ternak menghadapi risiko stres panas yang menurunkan
produksi susu dan daging. Perikanan merugi akibat berkurangnya stok ikan serta
migrasi spesies ke wilayah lain. Hama dan penyakit menyebar ke daerah-daerah
baru, sementara hutan semakin rentan terhadap kebakaran dan degradasi.
Dampak berikutnya terasa pada produksi pertanian dan
pasca-panen. Panen menjadi lebih tidak stabil, kualitasnya fluktuatif, dan
kehilangan hasil pasca-panen meningkat akibat infrastruktur penyimpanan dan
distribusi yang rusak oleh bencana iklim. Banjir, badai, dan suhu ekstrem
merusak gudang maupun jalur transportasi, sehingga distribusi pangan terganggu.
Situasi ini memicu kenaikan harga pangan, memperbesar volatilitas pasar, dan
menurunkan pendapatan petani kecil yang sudah rentan.
Masyarakat miskin, terutama rumah tangga yang
menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk makanan, menjadi kelompok
paling terdampak. Ketika pasokan menurun dan harga pangan naik, akses mereka
terhadap makanan bergizi berkurang drastis. Hal ini mendorong mereka
mengonsumsi makanan murah dengan kualitas gizi rendah, yang pada akhirnya
meningkatkan risiko malnutrisi. Anak-anak dan perempuan
menjadi kelompok yang paling rawan terhadap guncangan ini.
Pilar-pilar ketahanan pangan dan gizi pun tergerus. Dari
sisi ketersediaan, produksi pangan yang menurun membuat pasokan tidak mencukupi
kebutuhan. Dari sisi akses, daya beli masyarakat melemah karena harga naik
sementara pendapatan stagnan atau menurun. Pemanfaatan pangan ikut terdampak,
karena kualitas gizi dan keamanan pangan tidak lagi terjamin. Terakhir,
stabilitas sistem pangan kian rapuh akibat ketidakpastian jangka panjang dan
fluktuasi antarmusim.
Contoh konkret bisa dengan mudah kita lihat. Kenaikan
suhu dan kekeringan di Asia Tenggara menekan produksi padi, membuat harga beras
melonjak, dan memaksa keluarga miskin mengurangi konsumsi protein hewani. Banjir
besar di wilayah pesisir merusak gudang dan jalan, sehingga buah dan sayuran
segar hilang dari pasar. Di sisi
lain, pemanasan laut dan pengasaman menyebabkan tangkapan ikan berkurang,
meningkatkan tekanan pada ternak darat, dan ikut mendorong kenaikan harga
protein hewani.
Lebih jauh lagi, ada lingkaran umpan balik yang
memperparah situasi. Pertanian sendiri menyumbang emisi gas rumah kaca dalam
jumlah besar: metana dari sawah dan ternak, dinitrogen oksida dari pupuk, serta
karbon dioksida dari deforestasi. Emisi ini kembali memperkuat
perubahan iklim, menciptakan siklus negatif yang dikenal sebagai climate–food
insecurity loop. Lahan yang
terdegradasi kehilangan kemampuan menyerap karbon, membuat siklus ini semakin
sulit diputus.
Meski demikian, kaskade ini tidak harus berakhir pada
krisis. Ada sejumlah opsi adaptasi yang dapat memperlambat atau bahkan
membalikkan dampaknya. Pertanian dapat diarahkan ke sistem yang lebih tangguh,
misalnya dengan diversifikasi tanaman, penggunaan varietas tahan kekeringan dan
panas, serta pengelolaan air yang efisien. Infrastruktur pasca-panen
dapat diperkuat dengan gudang tahan cuaca, fasilitas pendinginan, dan jalur
distribusi yang lebih andal. Di sisi sosial, jaring pengaman seperti bantuan
pangan, akses kredit mikro, serta program gizi untuk anak dan ibu hamil bisa
melindungi kelompok rentan.
Dari perspektif mitigasi, praktik agroforestri, restorasi
lahan, dan pengelolaan pupuk yang bijak akan menekan emisi sekaligus memperkuat
ketahanan sistem pangan. Ditambah dengan sistem peringatan dini berbasis cuaca
dan iklim, langkah-langkah ini dapat membantu petani membuat keputusan tanam
yang lebih adaptif.
Pada akhirnya, pesan dari kaskade ini jelas: dampak
perubahan iklim terhadap pangan jauh lebih kompleks daripada sekadar penurunan
hasil panen. Ia menyentuh seluruh mata rantai sistem pangan, mulai dari
ekosistem, produksi, distribusi, pendapatan rumah tangga, hingga pola konsumsi.
Karena itu, solusi yang diperlukan bukan hanya teknis, melainkan juga sosial,
ekonomi, dan kebijakan. Tanpa aksi terintegrasi, risiko krisis pangan global
akan terus membayangi.

No comments:
Post a Comment