Wednesday, 24 September 2025

Kaskade Dampak Perubahan Iklim terhadap Sistem Pangan


 

Perubahan iklim bukan hanya soal naiknya suhu rata-rata global. Ia memicu sebuah kaskade atau rantai sebab–akibat yang panjang, yang akhirnya bermuara pada ketahanan pangan dan gizi manusia. Gambar FAO yang sering dijadikan rujukan memperlihatkan alur keterkaitan ini: perubahan iklim memengaruhi sistem agro-ekosistem, lalu berdampak pada produksi pertanian dan pasca-panen, menggerus mata pencaharian masyarakat, hingga akhirnya mengancam pilar-pilar ketahanan pangan: ketersediaan (availability), akses (access), pemanfaatan (utilization), dan stabilitas (stability).

 

Kaskade ini dimulai dari perubahan kondisi fisik lingkungan. Suhu rata-rata yang terus meningkat menyebabkan pergeseran musim tanam dan stres panas pada tanaman maupun ternak. Variabilitas curah hujan yang semakin ekstrem menimbulkan kekeringan di satu sisi dan banjir di sisi lain, keduanya merusak lahan produktif. Kenaikan muka laut mengancam lahan pesisir dengan intrusi air asin, sementara pengasaman laut menurunkan produktivitas ikan dan biota laut lainnya. Semua perubahan ini menjadi pintu masuk bagi disrupsi yang lebih besar.

 

Agro-ekosistem—yang mencakup tanaman pangan, ternak, perikanan, hutan, hingga interaksi dengan hama dan penyakit—mengalami tekanan langsung. Hasil pertanian cenderung menurun, dan kandungan gizi pada tanaman pun dapat berkurang. Ternak menghadapi risiko stres panas yang menurunkan produksi susu dan daging. Perikanan merugi akibat berkurangnya stok ikan serta migrasi spesies ke wilayah lain. Hama dan penyakit menyebar ke daerah-daerah baru, sementara hutan semakin rentan terhadap kebakaran dan degradasi.

 

Dampak berikutnya terasa pada produksi pertanian dan pasca-panen. Panen menjadi lebih tidak stabil, kualitasnya fluktuatif, dan kehilangan hasil pasca-panen meningkat akibat infrastruktur penyimpanan dan distribusi yang rusak oleh bencana iklim. Banjir, badai, dan suhu ekstrem merusak gudang maupun jalur transportasi, sehingga distribusi pangan terganggu. Situasi ini memicu kenaikan harga pangan, memperbesar volatilitas pasar, dan menurunkan pendapatan petani kecil yang sudah rentan.

 

Masyarakat miskin, terutama rumah tangga yang menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk makanan, menjadi kelompok paling terdampak. Ketika pasokan menurun dan harga pangan naik, akses mereka terhadap makanan bergizi berkurang drastis. Hal ini mendorong mereka mengonsumsi makanan murah dengan kualitas gizi rendah, yang pada akhirnya meningkatkan risiko malnutrisi. Anak-anak dan perempuan menjadi kelompok yang paling rawan terhadap guncangan ini.

 

Pilar-pilar ketahanan pangan dan gizi pun tergerus. Dari sisi ketersediaan, produksi pangan yang menurun membuat pasokan tidak mencukupi kebutuhan. Dari sisi akses, daya beli masyarakat melemah karena harga naik sementara pendapatan stagnan atau menurun. Pemanfaatan pangan ikut terdampak, karena kualitas gizi dan keamanan pangan tidak lagi terjamin. Terakhir, stabilitas sistem pangan kian rapuh akibat ketidakpastian jangka panjang dan fluktuasi antarmusim.

 

Contoh konkret bisa dengan mudah kita lihat. Kenaikan suhu dan kekeringan di Asia Tenggara menekan produksi padi, membuat harga beras melonjak, dan memaksa keluarga miskin mengurangi konsumsi protein hewani. Banjir besar di wilayah pesisir merusak gudang dan jalan, sehingga buah dan sayuran segar hilang dari pasar. Di sisi lain, pemanasan laut dan pengasaman menyebabkan tangkapan ikan berkurang, meningkatkan tekanan pada ternak darat, dan ikut mendorong kenaikan harga protein hewani.

 

Lebih jauh lagi, ada lingkaran umpan balik yang memperparah situasi. Pertanian sendiri menyumbang emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar: metana dari sawah dan ternak, dinitrogen oksida dari pupuk, serta karbon dioksida dari deforestasi. Emisi ini kembali memperkuat perubahan iklim, menciptakan siklus negatif yang dikenal sebagai climate–food insecurity loop. Lahan yang terdegradasi kehilangan kemampuan menyerap karbon, membuat siklus ini semakin sulit diputus.

 

Meski demikian, kaskade ini tidak harus berakhir pada krisis. Ada sejumlah opsi adaptasi yang dapat memperlambat atau bahkan membalikkan dampaknya. Pertanian dapat diarahkan ke sistem yang lebih tangguh, misalnya dengan diversifikasi tanaman, penggunaan varietas tahan kekeringan dan panas, serta pengelolaan air yang efisien. Infrastruktur pasca-panen dapat diperkuat dengan gudang tahan cuaca, fasilitas pendinginan, dan jalur distribusi yang lebih andal. Di sisi sosial, jaring pengaman seperti bantuan pangan, akses kredit mikro, serta program gizi untuk anak dan ibu hamil bisa melindungi kelompok rentan.

 

Dari perspektif mitigasi, praktik agroforestri, restorasi lahan, dan pengelolaan pupuk yang bijak akan menekan emisi sekaligus memperkuat ketahanan sistem pangan. Ditambah dengan sistem peringatan dini berbasis cuaca dan iklim, langkah-langkah ini dapat membantu petani membuat keputusan tanam yang lebih adaptif.

 

Pada akhirnya, pesan dari kaskade ini jelas: dampak perubahan iklim terhadap pangan jauh lebih kompleks daripada sekadar penurunan hasil panen. Ia menyentuh seluruh mata rantai sistem pangan, mulai dari ekosistem, produksi, distribusi, pendapatan rumah tangga, hingga pola konsumsi. Karena itu, solusi yang diperlukan bukan hanya teknis, melainkan juga sosial, ekonomi, dan kebijakan. Tanpa aksi terintegrasi, risiko krisis pangan global akan terus membayangi.


No comments:

Post a Comment