Saturday, 20 September 2025

Rahasia Al-Hamid: Mengapa Hanya Allah yang Layak Dipuji?



Saudara sekalian, salah satu dari Asmaul Husna adalah Al-Hamid, yang artinya Maha Terpuji. Allah disebut Al-Hamid karena Dialah satu-satunya yang sempurna secara mutlak, tanpa kekurangan sedikit pun, baik pada zat-Nya, sifat-Nya, perbuatan-Nya, maupun ciptaan-Nya. Kesempurnaan itulah yang membuat Allah layak dipuji dalam segala hal.

 

Berbeda dengan manusia, kita tidak sempurna. Kita punya banyak keterbatasan dan kekurangan. Karena itulah manusia disebut fakir, lemah, dan selalu bergantung kepada Allah. Bahkan manusia yang paling mulia sekalipun tetap tidak bisa menyamai kesempurnaan Allah. Namun, di antara manusia, kesempurnaan sifat paling banyak terkumpul pada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Beliaulah manusia terpuji yang akidahnya, akhlaknya, tutur katanya, dan perbuatannya sempurna.

 

Para sahabat Nabi memiliki sifat-sifat yang menonjol, meski tidak semuanya terkumpul dalam diri masing-masing. Umar bin Khattab, misalnya, dikenal dengan ketegasannya, sementara sahabat lain unggul dalam kelembutan. Tetapi seluruh sifat mulia itu terkumpul hanya pada diri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

 

Makna Al-Hamid

 

Secara bahasa, Al-Hamid berarti Yang Maha Terpuji. Allah terpuji dalam zat-Nya, sifat-Nya, dan segala perbuatan-Nya. Segala pujian yang ada di dunia pada hakikatnya kembali kepada Allah. Jika ada seseorang dipuji karena kelebihannya, sesungguhnya yang dipuji adalah Allah yang telah menganugerahkan kelebihan itu. Bahkan ketika orang memuji ciptaan, keindahan alam, atau kebaikan sesama, semuanya tetap bersumber dari Allah.

 

Karena itu, Saudara sekalian, kita tidak boleh mengaitkan keburukan kepada Allah. Segala yang datang dari-Nya adalah baik dan terpuji, meskipun terkadang kita tidak menyukainya. Kalau kita mengalami ujian atau penderitaan, itu bukan bukti bahwa Allah tidak adil, melainkan bagian dari kasih sayang dan hikmah-Nya.

 

Pujian Bukan Milik Kita

 

Pujian yang kita terima sebenarnya bukan milik kita. Kelebihan yang ada pada diri kita hanyalah titipan Allah. Betapa mudahnya Allah mencabut pujian itu. Seseorang yang dipuji karena suaranya bisa tiba-tiba kehilangan suara. Seorang yang dipuji karena kepandaiannya bisa hilang ingatannya hanya karena sedikit gangguan pada otak. Bahkan satu organ saja, seperti ginjal atau jantung, bila bermasalah, sudah cukup membuat manusia tak berdaya.

 

Lebih banyak mana antara kelebihan dan kekurangan kita? Tentu lebih banyak kekurangannya. Namun Allah menutupi aib dan kelemahan kita, lalu menampakkan satu-dua kelebihan sehingga orang lain bisa menghargai kita. Maka sesungguhnya yang dipuji itu bukan kita, melainkan Allah yang menutupi kekurangan kita.

 

Nikmat Allah Tak Terhitung

 

Allah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 53: “Dan apa saja nikmat yang ada padamu, maka dari Allah-lah (datangnya).” Semua nikmat yang kita nikmati, baik besar maupun kecil, semuanya bersumber dari Allah. Bahkan nikmat yang paling sederhana seperti bisa bernapas, minum air, atau melihat dengan mata, adalah anugerah yang tak ternilai.

 

Nikmat Allah begitu banyak sampai tak mungkin dihitung. Dalam surat An-Nahl ayat 18 disebutkan: “Jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya.” Aneh sekali jika nikmat Allah tak terhitung, tetapi manusia masih sering merasa sulit untuk bahagia. Ini karena kita lebih sering mengingat kesulitan daripada mensyukuri nikmat.

 

Syukur dan Alhamdulillah

 

Saudara sekalian, ada perbedaan antara syukur dan hamd (pujian). Syukur diucapkan ketika kita menerima nikmat. Misalnya, ketika seseorang memberi sesuatu, kita berkata, syukran. Namun Alhamdulillah diucapkan bukan hanya ketika menerima nikmat, tetapi juga ketika mendapat musibah. Karena kita yakin semua perbuatan Allah baik, meski kadang tidak sesuai dengan keinginan kita.

 

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengajarkan, ketika mendapat nikmat yang diharapkan, beliau membaca: “Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmush-shalihat.” Dan ketika mendapat musibah, beliau tetap mengucapkan: “Alhamdulillahi ‘ala kulli hal.”

 

Tingkatan Orang dalam Mengucap Alhamdulillah

 

Ada tiga tingkatan manusia dalam memuji Allah dengan ucapan Alhamdulillah:

1.     Orang awam, yang memuji Allah ketika mendapat nikmat jasmani, seperti harta, makanan, atau kesehatan.

2.     Orang khawas (istimewa), yang memuji Allah karena nikmat rohani, seperti bisa shalat, membaca Al-Qur’an, atau menunaikan haji.

3.     Orang khawasul-khawas (istimewa di atas istimewa), yang memuji Allah bukan karena nikmat, tetapi semata-mata karena Allah memang layak dipuji. Inilah derajat tertinggi dalam memuji Allah.

 

Pembelajaran akhir

 

Saudara sekalian yang dimuliakan Allah, Al-Hamid berarti Allah-lah satu-satunya yang Maha Terpuji. Semua nikmat berasal dari-Nya, semua kebaikan bersumber dari-Nya, dan semua pujian kembali kepada-Nya. Maka jadilah hamba yang terpuji dengan meluruskan akidah, memperbaiki akhlak, menjaga tutur kata, serta tidak menyandarkan keburukan kepada Allah.

 

Ingatlah empat hal penting tentang nikmat:

1.     Nikmat Allah tidak bisa dihitung.

2.     Nikmat Allah tidak bisa dideskripsikan secara penuh.

3.     Nikmat sampai kepada kita bukan karena kita baik, tetapi karena Allah Maha Baik.

4.     Kita sering kurang mensyukurinya.

 

Semoga kita senantiasa menjadi hamba yang bersyukur, sabar, dan selalu mengucapkan Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin dalam setiap keadaan.


#AlHamid 

#AsmaulHusna 

#Tauhid 

#Syukur 

#Keimanan

No comments:

Post a Comment