Friday, 11 July 2025

Tugas Diplomat Mulia, Bukan Menjinjing !

 

Ketika mendengar kata diplomat, bayangan kita mungkin langsung melayang ke perundingan tingkat tinggi, gedung-gedung megah di ibu kota negara, atau pertemuan penting di forum internasional. Namun realitas di lapangan tak selalu semewah itu. Di balik tugas mulianya, banyak diplomat Indonesia justru masih harus menghadapi permintaan-permintaan tak masuk akal, bahkan terkesan melecehkan profesi. Dari menjinjing tas belanjaan hingga mengantar jemput keluarga pejabat yang melancong ke luar negeri, pekerjaan tambahan ini jelas bukan bagian dari tugas resmi mereka.

 

Padahal, Konvensi Wina 1961 dan regulasi resmi dari Kementerian Luar Negeri RI sudah tegas menyebutkan apa saja tugas seorang diplomat. Fokusnya adalah mewakili negara, melindungi WNI di luar negeri, mempromosikan kepentingan nasional, hingga menjalin kerja sama bilateral dan multilateral. Tak satu pun pasal menyebut bahwa diplomat harus menjadi asisten pribadi pejabat dan kerabatnya. Namun, praktik di lapangan tak selalu berjalan seideal aturan tertulis.

 

Banyak diplomat Indonesia, terutama yang bertugas di luar negeri, mengaku harus melayani urusan pribadi para pejabat, lengkap dengan permintaan yang kadang menyulitkan. Di tengah keterbatasan jumlah staf dan beban kerja yang berat, permintaan semacam ini menjadi beban tambahan yang tidak semestinya mereka tanggung. Terlebih lagi, kondisi geopolitik global yang makin kompleks, dari perang dagang hingga konflik bersenjata—membuat peran dan tanggung jawab diplomat semakin berat dan strategis.

 

Pada Juni 2025, misalnya, Kemenlu RI mengoordinasikan evakuasi WNI dari Iran akibat ketegangan militer antara Israel dan Amerika Serikat. Di balik layar, diplomat Indonesia berjibaku menyusun logistik, negosiasi dengan otoritas setempat, hingga memastikan keselamatan WNI. Semua itu dilakukan di tengah tekanan tinggi dan risiko besar. Sementara di waktu yang hampir bersamaan, muncul surat dari salah satu lembaga pemerintah yang meminta perwakilan diplomatik RI di luar negeri untuk mengurusi kepergian keluarga pejabat. Kontras yang menyedihkan.

 

Fenomena ini pun ramai diperbincangkan warganet. Bukan karena kasusnya baru, tetapi karena rasa lelah dan jengah yang selama ini terpendam mulai mengemuka. Banyak diplomat muda bersuara, meski masih secara anonim, tentang pengalaman melayani “rombongan keluarga besar” dari tanah air. “Kami paham tugas kami melayani WNI, tapi kadang permintaannya sungguh di luar batas,” ungkap salah satu diplomat muda sambil tersenyum getir.

 

Meski begitu, para diplomat tetap berpegang pada semangat pengabdian. Mereka berusaha melayani siapa pun warga negara Indonesia yang membutuhkan bantuan di luar negeri—baik pekerja migran, mahasiswa, hingga istri pejabat. Namun, jelas ada batasan antara pelayanan publik dan penyalahgunaan jabatan oleh segelintir orang yang merasa lebih berhak.

 

Sebagai profesi, diplomat memiliki tanggung jawab strategis dan mulia. Dalam kelas-kelas pelatihan diplomat, mereka dibekali kemampuan menyelesaikan konflik, menjalin hubungan internasional, serta menjaga nama baik bangsa. Benjamin Franklin pernah berkata, diplomat sejati adalah orang yang bijaksana, tenang, dan sabar, bahkan dalam menghadapi situasi paling sulit sekalipun.

 

Di Indonesia, pengertian diplomat dijelaskan secara formal dalam Peraturan Menteri Luar Negeri RI No. 6 Tahun 2024, yakni PNS yang bertugas melaksanakan kegiatan diplomasi dalam pelaksanaan politik luar negeri. Tugas utamanya terangkum dalam lima kata kunci: representing, promoting, protecting, negotiating, dan reporting.

 

Nazaruddin Nasution, mantan Duta Besar RI untuk Kamboja, menegaskan bahwa tugas seorang diplomat sangat serius dan tak bisa dipandang remeh. Saat menjabat sebagai Kuasa Usaha ad interim di KBRI Washington DC, ia menjadi penghubung langsung antara Presiden Bill Clinton dan Presiden Soeharto di masa krisis 1998. Dalam situasi itu, diplomat memegang peran kunci yang bisa menentukan arah sejarah bangsa.

 

Selain negosiasi dan perwakilan, pelindungan terhadap WNI menjadi salah satu pilar penting diplomasi. Nazaruddin mengenang perannya dalam peristiwa pembajakan pesawat Garuda di Bangkok pada 1981. Saat itu, diplomat Indonesia bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menyelamatkan 48 penumpang, termasuk WNI. Dalam kondisi genting, diplomasi yang tenang dan efektif menjadi satu-satunya jalan untuk menghindari korban jiwa.

 

Kini, tantangan diplomasi tak hanya datang dari situasi konflik, tetapi juga dari ketimpangan persepsi tentang tugas diplomat itu sendiri. Ketika diplomat Indonesia harus fokus menyelamatkan WNI dari wilayah konflik seperti Myanmar, Afghanistan, atau Irak, masih ada yang memaksa mereka untuk melayani kebutuhan tur pelesiran keluarga pejabat. Ini jelas bertolak belakang dengan esensi profesi diplomasi yang seharusnya dihormati dan dijaga martabatnya.

 

Di kawasan yang lebih stabil seperti Eropa, Amerika, atau Asia-Pasifik, tugas diplomatik lebih banyak berkutat pada promosi kerja sama, fasilitasi bisnis, hingga perlindungan hak-hak warga negara. Namun tetap saja, kadang muncul intervensi dari pihak-pihak yang memanfaatkan posisi mereka untuk kepentingan pribadi.

 

Sudah saatnya kita sebagai bangsa merevisi cara pandang terhadap tugas diplomat. Mereka bukan pesuruh atau petugas serba bisa. Mereka adalah penjaga muka bangsa, perwakilan negara, pelindung warganya di luar negeri, dan penjuru penting diplomasi global. Jika bangsa ini ingin dihormati di mata dunia, hormatilah dulu para diplomatnya.


REFERENSI

Mahdi Muhammad, Kris Mada dan Nur Adji. 11 Juli 2025. Diplomat, Pelajarannya Berunding, Tugasnya Malah Menjinjing. https://www.kompas.id/artikel/tugas-diplomatik-dari-tugas-resmi-hingga-yang-tak-resmi

No comments:

Post a Comment