Menurunkan Angka Kemiskinan Melalui Peningkatan
Pendidikan dan Kesejahteraan Sosial
I. Pendahuluan
Kemiskinan bukan hanya tentang ketidakmampuan seseorang
memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga mencerminkan ketimpangan dalam akses
terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan peluang hidup yang layak.
Masalah ini bersifat multidimensional dan saling terkait. Oleh karena itu,
pendekatan pengentasan kemiskinan tidak bisa dilakukan secara parsial,
melainkan harus menyeluruh, berkelanjutan, dan melibatkan lintas sektor. Salah
satu pilar utama untuk memutus rantai kemiskinan adalah peningkatan kualitas pendidikan
dan kesejahteraan sosial, terutama pada kelompok usia produktif dan anak-anak.
II. Akar Permasalahan Kemiskinan
1. Rendahnya Akses terhadap Pendidikan
Kemiskinan sering kali berawal dari minimnya akses
terhadap pendidikan yang bermutu. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun
2023 menunjukkan bahwa sekitar 9,54% penduduk miskin di Indonesia tidak
menyelesaikan pendidikan dasar. Banyak keluarga di pedesaan atau wilayah
terpencil tidak mampu membiayai pendidikan anak-anak mereka karena penghasilan
yang terbatas. Akibatnya, anak-anak harus berhenti sekolah dan bekerja membantu
orang tua demi mencukupi kebutuhan sehari-hari, sehingga kesempatan mereka
untuk keluar dari lingkaran kemiskinan menjadi tertutup.
2. Kemiskinan yang Diturunkan Antar Generasi
Kemiskinan bersifat menurun antargenerasi. Anak-anak yang
dibesarkan oleh orang tua dengan pendidikan rendah cenderung mengalami
keterbatasan akses informasi, motivasi belajar yang kurang, serta terbatasnya
jaringan sosial. Menurut UNESCO, anak-anak dari rumah tangga miskin memiliki
kemungkinan 4 kali lebih besar untuk tidak menyelesaikan sekolah
dibandingkan anak-anak dari rumah tangga menengah. Hal ini menjelaskan mengapa
siklus kemiskinan sulit diputus jika tidak ada intervensi sistemik.
3. Angka Harapan Lama Sekolah yang Pendek
Rata-rata lama sekolah (RLS) di Indonesia pada tahun 2023
hanya mencapai 8,69 tahun, artinya sebagian besar penduduk hanya
menempuh pendidikan sampai kelas IX SMP. Padahal, negara-negara maju memiliki
RLS sekitar 13–15 tahun, yang memungkinkan warganya untuk memiliki
keterampilan kerja lebih tinggi dan daya saing yang lebih kuat. Pendidikan yang
pendek membatasi peluang untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan penghasilan
yang mencukupi.
III.
Perbandingan Sistem Pendidikan Negara Maju dan Berkembang
Negara-negara
maju seperti Finlandia, Jerman, dan Jepang memiliki sistem pendidikan yang
inklusif, berkualitas, dan dibiayai oleh negara. Rata-rata lama sekolah
penduduknya mencapai 15 tahun atau lebih, dengan fokus pada pembentukan
karakter, literasi digital, dan kompetensi abad 21. Sementara itu, negara
berkembang termasuk Indonesia, masih menghadapi tantangan serius seperti
kurangnya tenaga pengajar, infrastruktur sekolah yang tidak merata, serta kurikulum
yang belum sepenuhnya adaptif. Ketimpangan
kualitas pendidikan ini menjadi salah satu alasan mengapa kesenjangan sosial
dan ekonomi terus melebar.
IV. Faktor Gizi dan Kecerdasan dalam Siklus
Kemiskinan
Asupan gizi yang tidak memadai juga memainkan peran besar
dalam menurunkan potensi akademik anak. Laporan Global Nutrition Report 2022
menunjukkan bahwa 24,4% balita di Indonesia mengalami stunting, yaitu
kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi kronis. Anak-anak yang mengalami
stunting cenderung memiliki kecerdasan dan konsentrasi yang rendah, sehingga
sulit mengikuti pelajaran dan berprestasi di sekolah. Hal ini pada akhirnya
membatasi mereka dalam melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
V. Strategi Solusi untuk Pengentasan Kemiskinan
1. Pendidikan Dasar dan Menengah Wajib 12 Tahun
Kebijakan wajib belajar 12 tahun harus ditegakkan secara
konsisten dan didukung dengan sarana prasarana yang merata. Pemerintah perlu
memastikan anak usia 7–18 tahun mendapatkan akses pendidikan tanpa
diskriminasi, termasuk di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar). Program
Indonesia Pintar dan BOS (Bantuan Operasional Sekolah) adalah contoh kebijakan
afirmatif yang perlu terus ditingkatkan kualitas dan jangkauannya.
2. Beasiswa
bagi Anak Berbakat dan Berprestasi
Untuk
memaksimalkan potensi anak-anak dari keluarga miskin namun berbakat, program
beasiswa prestasi seperti KIP Kuliah dan LPDP harus diperluas. Pemerintah dapat
bekerja sama dengan sektor swasta dan BUMN untuk menyediakan beasiswa yang
menanggung tidak hanya biaya pendidikan, tetapi juga kebutuhan hidup dasar
selama masa studi.
3. Intervensi
Gizi yang Menyeluruh
Intervensi
gizi harus dilakukan sejak dini. Program school feeding di
sekolah dasar dapat mencegah anak-anak berangkat sekolah dalam keadaan lapar.
Di samping itu, program susu ibu hamil dan menyusui selama 1000 hari
pertama kehidupan (HPK) sangat krusial untuk mencegah stunting. Menurut WHO,
investasi di masa HPK akan memberi dampak jangka panjang terhadap kualitas
sumber daya manusia.
4. Pengembangan Lapangan Kerja
Upaya mengurangi kemiskinan tidak akan efektif tanpa
penyediaan lapangan kerja. Pemerintah harus mendorong investasi
sektor riil dan mendukung UMKM yang menyerap banyak tenaga kerja. Pelatihan
vokasional dan program kewirausahaan bagi lulusan sekolah menengah perlu
diperluas agar mereka bisa langsung produktif di dunia kerja atau menciptakan
usaha sendiri.
VI. Penutup
Pengentasan kemiskinan adalah pekerjaan besar yang
menuntut keterlibatan seluruh pemangku kepentingan. Pendidikan yang
berkualitas, gizi yang cukup, serta kesempatan kerja yang luas merupakan
fondasi untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera. Oleh karena itu, sinergi
antara pemerintah pusat dan daerah, masyarakat sipil, dunia usaha, serta
lembaga internasional sangat diperlukan agar upaya menurunkan angka kemiskinan
bisa berkelanjutan dan berdampak nyata.

No comments:
Post a Comment