Awal
tahun ini (2024), Universitas Nasional Singapura (NUS) meluncurkan Institut
Kecerdasan Buatan dengan tujuan yang berani dan ambisius "untuk memperluas
batasan dari apa yang mungkin".
Direkturnya,
Mohan Kankanhalli, mengatakan bahwa ide di balik institut baru ini adalah untuk
meruntuhkan sekat-sekat disiplin akademis tradisional, untuk "menyatukan
anggota fakultas dari seluruh universitas dengan beragam pengalaman dan
keahlian untuk melakukan penelitian fundamental dengan tujuan bersama".
Secara
umum dipahami bahwa generasi penemuan ilmiah inovatif dan mengubah dunia
berikutnya kemungkinan besar akan datang dengan menggabungkan beragam keahlian
akademis melalui tim sains "interdisipliner" yang baru, dan Institut
AI NUS telah dirancang khusus untuk memungkinkan hal ini. Program ini
mempertemukan para ilmuwan komputer dan pakar teknologi kecerdasan buatan (AI)
bersama para pakar dari berbagai bidang, mulai dari kesehatan, logistik,
manufaktur, robotika, keuangan, keberlanjutan perkotaan, dan sains, serta
humaniora dan ilmu sosial, semuanya dengan harapan dapat mendobrak batasan
pengetahuan manusia untuk menghadapi beberapa tantangan dunia yang paling
mendesak, mulai dari krisis iklim hingga pencegahan pandemi.
“Di
NUS, kami telah lama memprioritaskan dan mengembangkan program penelitian
interdisipliner yang membahas isu-isu relevan global melalui pendekatan
holistik dan multifaset, serta dengan beragam perspektif dan keahlian,” ujar
Liu Bin, Wakil Presiden (Riset dan Teknologi) di universitas tersebut.
Universitas
yang Diakui dalam Peringkat Sains Interdisipliner yang Baru
Dan
kini, strategi visioner ini telah membantu NUS meraih posisi teratas dalam
Peringkat Sains Interdisipliner global yang baru dan inovatif, sebuah cara
yang sepenuhnya baru untuk mengakui, memberi tolok ukur, dan memberi insentif
kepada universitas-universitas yang paling aktif melintasi batas-batas disiplin
ilmu dan melakukan penelitian ilmiah dengan cara-cara baru yang inovatif.
Dikembangkan
melalui kemitraan antara Times Higher Education (THE), mitra data bagi
universitas dan pemerintah di seluruh dunia, dan Schmidt Science Fellows,
sebuah inisiatif yayasan filantropi Schmidt Sciences milik Eric dan Wendy
Schmidt yang mendukung peneliti interdisipliner melalui beasiswa penelitian,
peringkat baru ini menunjukkan beragam praktik baik yang menarik di seluruh
dunia, dengan banyak kejutan.
Dalam
pemeringkatan perdana ini, Massachusetts Institute of Technology menempati
posisi pertama, diikuti oleh rivalnya di Pantai Barat AS, Stanford University,
di posisi kedua, dan AS mendominasi peringkat teratas, dengan tujuh dari 10
besar.
Namun
Singapura juga bersinar, dengan NUS di posisi ketiga, dan negara-kota
tetangganya, Nanyang Technological University, di posisi ke-9. Eropa juga
menempati posisi 10 besar dunia, dengan Wageningen University and Research
Belanda di posisi ke-7.

No comments:
Post a Comment