Sunday, 8 June 2025

Vaksin Inaktif


Vaksin inaktif (atau vaksin mati) adalah jenis vaksin yang mengandung patogen (seperti virus atau bakteri) yang telah dimatikan atau diinaktivasi, sehingga tidak dapat bereplikasi atau menyebabkan penyakit. Sebaliknya, vaksin hidup menggunakan patogen yang masih hidup (namun hampir selalu dilemahkan atau attenuated). Patogen untuk vaksin inaktif dikembangkan dalam kondisi yang terkontrol dan dimatikan sebagai upaya untuk mengurangi infektivitas, sehingga mencegah infeksi akibat vaksin tersebut (1).

 

Vaksin inaktif pertama kali dikembangkan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 untuk penyakit kolera, pes, dan tifus (2). Pada tahun 1897, ilmuwan Jepang mengembangkan vaksin inaktif untuk penyakit pes. Pada tahun 1950-an, Jonas Salk menciptakan vaksin inaktif untuk virus polio, yang menjadi vaksin pertama yang aman dan efektif melawan penyakit polio. Saat ini, vaksin inaktif tersedia untuk berbagai patogen, termasuk influenza, polio (IPV), rabies, hepatitis A, CoronaVac, Covaxin, dan pertusis (3)(4).

 

Karena patogen yang diinaktivasi cenderung menghasilkan respons imun yang lebih lemah dibandingkan patogen hidup, beberapa vaksin inaktif memerlukan adjuvan imunologis serta suntikan penguat (booster) berulang untuk menghasilkan respons imun yang efektif terhadap patogen tersebut (1)(5)(6). Vaksin hidup yang dilemahkan umumnya lebih disukai untuk individu yang sehat, karena satu dosis biasanya cukup aman dan sangat efektif. Namun, beberapa orang tidak dapat menerima vaksin hidup karena patogen masih terlalu berisiko bagi mereka (misalnya, lansia atau individu dengan imunodefisiensi). Bagi kelompok ini, vaksin inaktif dapat memberikan perlindungan [butuh referensi].

 

Mekanisme

Partikel patogen dimusnahkan dan tidak dapat bereplikasi, namun tetap mempertahankan sebagian integritasnya agar dapat dikenali oleh sistem imun dan memicu respons imun adaptif (7)(8). Bila diproduksi dengan benar, vaksin ini tidak menimbulkan infeksi, namun proses inaktivasi yang tidak sempurna dapat menyebabkan partikel patogen tetap utuh dan infeksius.

 

Ketika vaksin disuntikkan, antigen akan diambil oleh sel penyaji antigen (antigen-presenting cell/APC) dan dibawa ke kelenjar getah bening regional pada individu yang divaksinasi. APC akan menampilkan bagian dari antigen tersebut (epitop) di permukaannya bersama molekul kompleks histokompatibilitas utama (MHC). APC kemudian dapat berinteraksi dengan dan mengaktivasi sel T. Sel T penolong (helper T cell) yang dihasilkan akan merangsang respons imun yang dimediasi antibodi atau sel, dan membentuk respons adaptif yang spesifik terhadap antigen (9)(10). Proses ini membentuk memori imunologis terhadap patogen tertentu dan memungkinkan sistem imun merespons lebih cepat dan efektif saat terpapar kembali (7)(9)(10).

 

Vaksin inaktif cenderung menghasilkan respons imun yang terutama dimediasi oleh antibodi (3)(11). Namun, pemilihan adjuvan yang tepat dapat memungkinkan vaksin inaktif untuk merangsang respons imun yang lebih kuat yang dimediasi oleh sel (1)(8).

 

Dampak Sosial

Penggunaan vaksin inaktif telah membantu mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat penyakit seperti tetanus, difteri, dan pertusis, sehingga menciptakan masyarakat yang lebih sehat dan stabil. Kesehatan masyarakat meningkat, terutama di negara maju yang memiliki cakupan vaksinasi tinggi, sehingga tercapai kekebalan kelompok (herd immunity) (12).

 

Penurunan angka kejadian penyakit seperti polio, hepatitis A, dan influenza mengurangi jumlah penderita penyakit yang melemahkan, sehingga meningkatkan produktivitas sosial. Keluarga tidak lagi harus merawat anggota keluarga yang menderita penyakit berat, dan anak-anak dapat bersekolah tanpa ketakutan tertular penyakit. Vaksin inaktif turut meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem kesehatan masyarakat, sehingga vaksinasi menjadi praktik yang normal, seperti vaksin flu tahunan dan imunisasi anak rutin, terutama di negara-negara maju (12).

 

Jenis

Vaksin inaktif dapat dibedakan berdasarkan metode yang digunakan untuk mematikan patogen (5)(1):

  • Vaksin patogen utuh yang diinaktivasi, diproduksi dengan mematikan seluruh patogen menggunakan panas, bahan kimia, atau radiasi (6), meskipun hanya formaldehida dan beta-propiolakton yang secara luas digunakan dalam vaksin manusia (13)(14).
  • Vaksin virus terpecah (split virus), diproduksi dengan menggunakan deterjen untuk mengganggu selubung virus (5)(15). Teknik ini umum digunakan dalam pengembangan banyak vaksin influenza (16).

 

Sebagian kecil sumber menggunakan istilah vaksin inaktif secara luas untuk mencakup semua vaksin non-hidup. Berdasarkan definisi ini, vaksin inaktif juga mencakup vaksin subunit dan vaksin toksoid (3)(9).

 

Contoh

Jenis vaksin inaktif meliputi (17):

  • Viral:
    • Vaksin polio suntik (vaksin Salk)
    • Vaksin hepatitis A
    • Vaksin rabies
    • Sebagian besar vaksin influenza
    • Vaksin ensefalitis akibat gigitan kutu (tick-borne encephalitis)
    • Beberapa vaksin COVID-19: CoronaVac, Covaxin, QazVac, Sinopharm BIBP, Sinopharm WIBP, TURKOVAC, CoviVac
  • Bakterial:
    • Vaksin tifus suntik
    • Vaksin kolera
    • Vaksin pes
    • Vaksin pertusis sel utuh (whole-cell pertussis)

 

Kelebihan dan Kekurangan

 

Kelebihan:

  • Patogen yang diinaktivasi lebih stabil dibandingkan patogen hidup. Stabilitas ini memudahkan penyimpanan dan distribusi vaksin inaktif (9)(18)(19).
  • Tidak seperti vaksin hidup yang dilemahkan, vaksin inaktif tidak dapat kembali menjadi bentuk virulen dan menyebabkan penyakit (7)(11). Misalnya, terdapat beberapa kasus langka di mana virus polio hidup dalam vaksin oral polio (OPV) menjadi virulen kembali, sehingga vaksin polio inaktif (IPV) menggantikan OPV di banyak negara yang telah mengendalikan transmisi virus polio liar (7)(10).
  • Tidak seperti vaksin hidup yang dilemahkan, vaksin inaktif tidak bereplikasi dan tidak dikontraindikasikan untuk individu dengan gangguan sistem imun (7)(8)(9).
  • Tidak seperti vaksin hidup yang dilemahkan, vaksin inaktivasi tidak dapat bereplikasi dan tidak dikontraindikasikan bagi individu dengan gangguan sistem imun (7)(8)(9).

 

Kekurangan

·    Vaksin inaktivasi memiliki kemampuan yang lebih rendah dalam menghasilkan respons imun yang kuat untuk memberikan kekebalan jangka panjang dibandingkan dengan vaksin hidup yang dilemahkan. Oleh karena itu, adjuvan dan suntikan penguat (booster) sering kali diperlukan untuk membentuk dan mempertahankan kekebalan yang protektif (3)(11)(18).

·   

P   Ada pembuatan vaksin yang berasal dari organisme utuh yang dimatikan, patogen harus dikultur terlebih dahulu dan kemudian diinaktivasi. Proses ini memperlambat produksi vaksin jika dibandingkan dengan vaksin genetik (7)(10)(9).

·  

    Vaksin inaktivasi cenderung menghasilkan kekebalan yang kurang tahan lama, sehingga sering kali membutuhkan beberapa dosis, yang dapat menjadi tantangan dalam kesehatan masyarakat. Sebagai contoh, vaksin influenza memerlukan pembaruan dan pemberian ulang setiap tahun, sementara vaksin hepatitis A biasanya memerlukan dua dosis yang diberikan dalam rentang waktu enam bulan.

 

 

Referensi

  1. Petrovsky N, Aguilar JC (October 2004). "Vaccine adjuvants: current state and future trends". Immunology and Cell Biology. 82 (5): 488–496. doi:10.1111/j.0818-9641.2004.01272.xPMID 15479434S2CID 154670.
  2. Plotkin SA, Plotkin SL (October 2011). "The development of vaccines: how the past led to the future". Nature Reviews. Microbiology. 9 (12) (published 2011-10-03): 889–893. doi:10.1038/nrmicro2668PMID 21963800S2CID 32506969.
  3.  Wodi AP, Morelli V (2021). "Chapter 1: Principles of Vaccination" (PDF). In Hall E, Wodi AP, Hamborsky J, Morelli V, Schilllie S (eds.). Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases (14th ed.). Washington, D.C.: Public Health Foundation, Centers for Disease Control and Prevention.
  4. Brown, Jonathan (1997). The History of Medicine: A Scandalously Short Introduction (1st ed.). W.W. Norton & Company. pp. 1–530. ISBN 978-0-393-31611-7.
  5.  WHO Expert Committee on Biological Standardization (19 June 2019). "Influenza". World Health Organization (WHO). Retrieved 22 October 2021.
  6.  "Types of Vaccines". Vaccines.gov. U.S. Department of Health and Human Services. 23 July 2013. Archived from the original on 9 June 2013. Retrieved 16 May 2016.
  7.  Vetter V, Denizer G, Friedland LR, Krishnan J, Shapiro M (March 2018). "Understanding modern-day vaccines: what you need to know". Annals of Medicine. 50 (2): 110–120. doi:10.1080/07853890.2017.1407035PMID 29172780S2CID 25514266.
  8.  Slifka MK, Amanna I (May 2014). "How advances in immunology provide insight into improving vaccine efficacy". Vaccine. 32 (25): 2948–2957. doi:10.1016/j.vaccine.2014.03.078PMC 4096845PMID 24709587.
  9.  Pollard AJ, Bijker EM (February 2021). "A guide to vaccinology: from basic principles to new developments". Nature Reviews. Immunology. 21 (2): 83–100. doi:10.1038/s41577-020-00479-7PMC 7754704PMID 33353987.
  10.  Karch CP, Burkhard P (November 2016). "Vaccine technologies: From whole organisms to rationally designed protein assemblies". Biochemical Pharmacology. 120: 1–14. doi:10.1016/j.bcp.2016.05.001PMC 5079805PMID 27157411.
  11.  Pecetta, Simone; Ahmed, S. Sohail; Ellis, Ronald; Rappuoli, Rino (2023). "Technologies for Making New Vaccines". Plotkin's Vaccines. pp. 1350–1373.e9. doi:10.1016/B978-0-323-79058-1.00067-0ISBN 978-0-323-79058-1.
  12.  Oshinsky, David M. (2005). Polio: An American Story. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-515294-4.[page needed]
  13. Sanders B, Koldijk M, Schuitemaker H (2015). "Inactivated Viral Vaccines". Vaccine Analysis: Strategies, Principles, and Control. pp. 45–80. doi:10.1007/978-3-662-45024-6_2ISBN 978-3-662-45023-9PMC 7189890S2CID 81212732.
  14. Hotez, Peter J.; Bottazzi, Maria Elena (27 January 2022). "Whole Inactivated Virus and Protein-Based COVID-19 Vaccines". Annual Review of Medicine. 73 (1): 55–64. doi:10.1146/annurev-med-042420-113212ISSN 0066-4219PMID 34637324S2CID 238747462.
  15. Chen J, Wang J, Zhang J, Ly H (2021). "Advances in Development and Application of Influenza Vaccines". Frontiers in Immunology. 12: 711997. doi:10.3389/fimmu.2021.711997PMC 8313855PMID 34326849.
  16. Gemmill I, Young K, et al. (National Advisory Committee on Immunization (NACI)) (May 2018). "Summary of the NACI literature review on the comparative effectiveness and immunogenicity of subunit and split virus inactivated influenza vaccines in older adults". Can Commun Dis Rep. 44 (6): 129–133. doi:10.14745/ccdr.v44i06a02PMC 6449119.
  17. Ghaffar A, Haqqi T. "Immunization". Immunology. The Board of Trustees of the University of South Carolina. Archived from the original on 26 February 2014. Retrieved 2009-03-10.
  18.  Clem AS (January 2011). "Fundamentals of vaccine immunology". Journal of Global Infectious Diseases. 3 (1): 73–78. doi:10.4103/0974-777X.77299PMC 3068582PMID 21572612.
  19. "Inactivated whole-cell (killed antigen) vaccines - WHO Vaccine Safety Basics". vaccine-safety-training.org. World Health Organization (WHO). Retrieved 2021-11-11.

 

No comments:

Post a Comment