Vaksin
inaktif (atau vaksin mati) adalah jenis vaksin yang mengandung patogen (seperti
virus atau bakteri) yang telah dimatikan atau diinaktivasi, sehingga tidak
dapat bereplikasi atau menyebabkan penyakit. Sebaliknya, vaksin hidup menggunakan
patogen yang masih hidup (namun hampir selalu dilemahkan atau attenuated).
Patogen untuk vaksin inaktif dikembangkan dalam kondisi yang terkontrol dan
dimatikan sebagai upaya untuk mengurangi infektivitas, sehingga mencegah
infeksi akibat vaksin tersebut (1).
Vaksin
inaktif pertama kali dikembangkan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20
untuk penyakit kolera, pes, dan tifus (2). Pada tahun 1897, ilmuwan Jepang
mengembangkan vaksin inaktif untuk penyakit pes. Pada tahun 1950-an, Jonas Salk
menciptakan vaksin inaktif untuk virus polio, yang menjadi vaksin pertama yang
aman dan efektif melawan penyakit polio. Saat ini, vaksin inaktif tersedia
untuk berbagai patogen, termasuk influenza, polio (IPV), rabies, hepatitis A,
CoronaVac, Covaxin, dan pertusis (3)(4).
Karena
patogen yang diinaktivasi cenderung menghasilkan respons imun yang lebih lemah
dibandingkan patogen hidup, beberapa vaksin inaktif memerlukan adjuvan
imunologis serta suntikan penguat (booster) berulang untuk menghasilkan
respons imun yang efektif terhadap patogen tersebut (1)(5)(6). Vaksin hidup
yang dilemahkan umumnya lebih disukai untuk individu yang sehat, karena satu
dosis biasanya cukup aman dan sangat efektif. Namun, beberapa orang tidak dapat
menerima vaksin hidup karena patogen masih terlalu berisiko bagi mereka
(misalnya, lansia atau individu dengan imunodefisiensi). Bagi kelompok ini,
vaksin inaktif dapat memberikan perlindungan [butuh referensi].
Mekanisme
Partikel
patogen dimusnahkan dan tidak dapat bereplikasi, namun tetap mempertahankan
sebagian integritasnya agar dapat dikenali oleh sistem imun dan memicu respons
imun adaptif (7)(8). Bila diproduksi dengan benar, vaksin ini tidak menimbulkan
infeksi, namun proses inaktivasi yang tidak sempurna dapat menyebabkan partikel
patogen tetap utuh dan infeksius.
Ketika
vaksin disuntikkan, antigen akan diambil oleh sel penyaji antigen (antigen-presenting
cell/APC) dan dibawa ke kelenjar getah bening regional pada individu yang
divaksinasi. APC akan menampilkan bagian dari antigen tersebut (epitop) di
permukaannya bersama molekul kompleks histokompatibilitas utama (MHC). APC
kemudian dapat berinteraksi dengan dan mengaktivasi sel T. Sel T penolong (helper
T cell) yang dihasilkan akan merangsang respons imun yang dimediasi
antibodi atau sel, dan membentuk respons adaptif yang spesifik terhadap antigen
(9)(10). Proses ini membentuk memori imunologis terhadap patogen tertentu dan
memungkinkan sistem imun merespons lebih cepat dan efektif saat terpapar
kembali (7)(9)(10).
Vaksin
inaktif cenderung menghasilkan respons imun yang terutama dimediasi oleh
antibodi (3)(11). Namun, pemilihan adjuvan yang tepat dapat memungkinkan vaksin
inaktif untuk merangsang respons imun yang lebih kuat yang dimediasi oleh sel
(1)(8).
Dampak
Sosial
Penggunaan
vaksin inaktif telah membantu mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat
penyakit seperti tetanus, difteri, dan pertusis, sehingga menciptakan
masyarakat yang lebih sehat dan stabil. Kesehatan masyarakat meningkat,
terutama di negara maju yang memiliki cakupan vaksinasi tinggi, sehingga
tercapai kekebalan kelompok (herd immunity) (12).
Penurunan
angka kejadian penyakit seperti polio, hepatitis A, dan influenza mengurangi
jumlah penderita penyakit yang melemahkan, sehingga meningkatkan produktivitas
sosial. Keluarga tidak lagi harus merawat anggota keluarga yang menderita
penyakit berat, dan anak-anak dapat bersekolah tanpa ketakutan tertular
penyakit. Vaksin inaktif turut meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap
sistem kesehatan masyarakat, sehingga vaksinasi menjadi praktik yang normal,
seperti vaksin flu tahunan dan imunisasi anak rutin, terutama di negara-negara
maju (12).
Jenis
Vaksin
inaktif dapat dibedakan berdasarkan metode yang digunakan untuk mematikan
patogen (5)(1):
- Vaksin patogen utuh yang
diinaktivasi,
diproduksi dengan mematikan seluruh patogen menggunakan panas, bahan
kimia, atau radiasi (6), meskipun hanya formaldehida dan beta-propiolakton
yang secara luas digunakan dalam vaksin manusia (13)(14).
- Vaksin virus terpecah (split
virus),
diproduksi dengan menggunakan deterjen untuk mengganggu selubung virus
(5)(15). Teknik ini umum digunakan dalam pengembangan banyak vaksin
influenza (16).
Sebagian
kecil sumber menggunakan istilah vaksin inaktif secara luas untuk
mencakup semua vaksin non-hidup. Berdasarkan definisi ini, vaksin inaktif juga
mencakup vaksin subunit dan vaksin toksoid (3)(9).
Contoh
Jenis
vaksin inaktif meliputi (17):
- Viral:
- Vaksin polio suntik (vaksin
Salk)
- Vaksin hepatitis A
- Vaksin rabies
- Sebagian besar vaksin influenza
- Vaksin ensefalitis akibat
gigitan kutu (tick-borne encephalitis)
- Beberapa vaksin COVID-19:
CoronaVac, Covaxin, QazVac, Sinopharm BIBP, Sinopharm WIBP, TURKOVAC,
CoviVac
- Bakterial:
- Vaksin tifus suntik
- Vaksin kolera
- Vaksin pes
- Vaksin pertusis sel utuh (whole-cell
pertussis)
Kelebihan
dan Kekurangan
Kelebihan:
- Patogen yang diinaktivasi lebih
stabil dibandingkan patogen hidup. Stabilitas ini memudahkan penyimpanan
dan distribusi vaksin inaktif (9)(18)(19).
- Tidak seperti vaksin hidup yang
dilemahkan, vaksin inaktif tidak dapat kembali menjadi bentuk virulen dan
menyebabkan penyakit (7)(11). Misalnya, terdapat beberapa kasus langka di
mana virus polio hidup dalam vaksin oral polio (OPV) menjadi virulen kembali,
sehingga vaksin polio inaktif (IPV) menggantikan OPV di banyak negara yang
telah mengendalikan transmisi virus polio liar (7)(10).
- Tidak seperti vaksin hidup yang
dilemahkan, vaksin inaktif tidak bereplikasi dan tidak dikontraindikasikan
untuk individu dengan gangguan sistem imun (7)(8)(9).
- Tidak seperti vaksin hidup yang
dilemahkan, vaksin inaktivasi tidak dapat bereplikasi dan tidak
dikontraindikasikan bagi individu dengan gangguan sistem imun (7)(8)(9).
Kekurangan
· Vaksin inaktivasi memiliki kemampuan yang
lebih rendah dalam menghasilkan respons imun yang kuat untuk memberikan
kekebalan jangka panjang dibandingkan dengan vaksin hidup yang dilemahkan. Oleh
karena itu, adjuvan dan suntikan penguat (booster) sering kali diperlukan untuk
membentuk dan mempertahankan kekebalan yang protektif (3)(11)(18).
·
P Ada pembuatan vaksin yang berasal dari
organisme utuh yang dimatikan, patogen harus dikultur terlebih dahulu dan
kemudian diinaktivasi. Proses ini memperlambat produksi vaksin jika
dibandingkan dengan vaksin genetik (7)(10)(9).
·
Vaksin inaktivasi cenderung menghasilkan
kekebalan yang kurang tahan lama, sehingga sering kali membutuhkan beberapa
dosis, yang dapat menjadi tantangan dalam kesehatan masyarakat. Sebagai contoh,
vaksin influenza memerlukan pembaruan dan pemberian ulang setiap tahun,
sementara vaksin hepatitis A biasanya memerlukan dua dosis yang diberikan dalam
rentang waktu enam bulan.
Referensi
- Petrovsky
N, Aguilar JC (October 2004). "Vaccine adjuvants: current state and
future trends". Immunology and Cell Biology. 82 (5): 488–496. doi:10.1111/j.0818-9641.2004.01272.x. PMID 15479434. S2CID 154670.
- Plotkin
SA, Plotkin SL (October 2011). "The development of
vaccines: how the past led to the future". Nature Reviews.
Microbiology. 9 (12) (published 2011-10-03): 889–893. doi:10.1038/nrmicro2668. PMID 21963800. S2CID 32506969.
- Wodi AP, Morelli V (2021). "Chapter
1: Principles of Vaccination" (PDF). In Hall E, Wodi AP,
Hamborsky J, Morelli V, Schilllie S (eds.). Epidemiology
and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases (14th ed.).
Washington, D.C.: Public Health Foundation, Centers for Disease Control
and Prevention.
- Brown,
Jonathan (1997). The History of Medicine: A Scandalously Short
Introduction (1st ed.). W.W. Norton & Company. pp. 1–530. ISBN 978-0-393-31611-7.
- WHO Expert Committee on Biological
Standardization (19 June 2019). "Influenza".
World Health Organization (WHO). Retrieved 22 October 2021.
- "Types
of Vaccines". Vaccines.gov. U.S. Department of Health and
Human Services. 23 July 2013. Archived from the original on
9 June 2013. Retrieved 16 May 2016.
- Vetter V, Denizer G, Friedland LR,
Krishnan J, Shapiro M (March 2018). "Understanding
modern-day vaccines: what you need to know". Annals of
Medicine. 50 (2): 110–120. doi:10.1080/07853890.2017.1407035. PMID 29172780. S2CID 25514266.
- Slifka MK, Amanna I (May 2014). "How
advances in immunology provide insight into improving vaccine
efficacy". Vaccine. 32 (25): 2948–2957. doi:10.1016/j.vaccine.2014.03.078. PMC 4096845. PMID 24709587.
- Pollard AJ, Bijker EM (February
2021). "A
guide to vaccinology: from basic principles to new developments". Nature
Reviews. Immunology. 21 (2): 83–100. doi:10.1038/s41577-020-00479-7. PMC 7754704. PMID 33353987.
- Karch CP, Burkhard P (November
2016). "Vaccine
technologies: From whole organisms to rationally designed protein
assemblies". Biochemical Pharmacology. 120: 1–14. doi:10.1016/j.bcp.2016.05.001. PMC 5079805. PMID 27157411.
- Pecetta, Simone; Ahmed, S. Sohail;
Ellis, Ronald; Rappuoli, Rino (2023). "Technologies for Making New
Vaccines". Plotkin's Vaccines. pp. 1350–1373.e9. doi:10.1016/B978-0-323-79058-1.00067-0. ISBN 978-0-323-79058-1.
- Oshinsky, David M. (2005). Polio: An American Story. Oxford
University Press. ISBN 978-0-19-515294-4.[page needed]
- Sanders
B, Koldijk M, Schuitemaker H (2015). "Inactivated Viral
Vaccines". Vaccine Analysis: Strategies, Principles, and
Control. pp. 45–80. doi:10.1007/978-3-662-45024-6_2. ISBN 978-3-662-45023-9. PMC 7189890. S2CID 81212732.
- Hotez,
Peter J.; Bottazzi, Maria Elena (27 January 2022). "Whole
Inactivated Virus and Protein-Based COVID-19 Vaccines". Annual
Review of Medicine. 73 (1): 55–64. doi:10.1146/annurev-med-042420-113212. ISSN 0066-4219. PMID 34637324. S2CID 238747462.
- Chen
J, Wang J, Zhang J, Ly H (2021). "Advances
in Development and Application of Influenza Vaccines". Frontiers
in Immunology. 12: 711997. doi:10.3389/fimmu.2021.711997. PMC 8313855. PMID 34326849.
- Gemmill
I, Young K, et al. (National Advisory Committee on Immunization
(NACI)) (May 2018). "Summary
of the NACI literature review on the comparative effectiveness and
immunogenicity of subunit and split virus inactivated influenza vaccines
in older adults". Can Commun Dis Rep. 44 (6): 129–133. doi:10.14745/ccdr.v44i06a02. PMC 6449119.
- Ghaffar
A, Haqqi T. "Immunization". Immunology.
The Board of Trustees of the University of South Carolina. Archived
from the
original on 26 February 2014. Retrieved 2009-03-10.
- Clem AS (January 2011). "Fundamentals
of vaccine immunology". Journal of Global Infectious
Diseases. 3 (1): 73–78. doi:10.4103/0974-777X.77299. PMC 3068582. PMID 21572612.
- "Inactivated
whole-cell (killed antigen) vaccines - WHO Vaccine Safety Basics". vaccine-safety-training.org.
World Health Organization (WHO). Retrieved 2021-11-11.
No comments:
Post a Comment