Friday, 31 May 2024

Mengenali Ayat Kauniyah dalam Al-Quran

Al-Quran yang terdiri atas 6.236 ayat menguraikan berbagai persoalan hidup dan kehidupan, antara lain menyangkut alam raya dan fenomenanya. Uraian-uraian sekitar persoalan tersebut sering disebut ayat-ayat kauniyah.  Disini disarikan tulisan Miftah H. Yusufpati yang berjudul “Ayat-Ayat Kauniyah dalam Al-Quran Menurut Quraish Shihab”.

 

AL-QURAN DAN ALAM RAYA

 

Paling sedikit ada tiga hal yang dapat dikemukakan menyangkut alam raya dan fenomenanya:

 

1. Al-Quran memerintahkan atau menganjurkan kepada manusia untuk memperhatikan dan mempelajari alam raya dalam rangka memperoleh manfaat dan kemudahan-kemudahan bagi kehidupannya, serta untuk mengantarkannya kepada kesadaran akan Keesaan dan Kemahakuasaan Allah Swt.

 

Dari perintah ini tersirat pengertian bahwa manusia memiliki potensi untuk mengetahui dan memanfaatkan hukum-hukum yang mengatur fenomena alam tersebut. Namun, pengetahuan dan pemanfaatan ini bukan merupakan tujuan puncak (ultimate goal).

 

2. Alam dan segala isinya beserta hukum-hukum yang mengaturnya, diciptakan, dimiliki, dan di bawah kekuasaan Allah Swt serta diatur dengan sangat teliti.

 

Alam raya tidak dapat melepaskan diri dari ketetapan-ketetapan tersebut --kecuali jika dikehendaki oleh Tuhan. Dari sini tersirat bahwa:

 

(a) Alam raya atau elemen-elemennya tidak boleh disembah, dipertuhankan atau dikultuskan.

(b) Manusia dapat menarik kesimpulan-kesimpulan tentang adanya ketetapan-ketetapan yang bersifat umum dan mengikat bagi alam raya dan fenomenanya (hukum-hukum alam).

 

3. Redaksi ayat-ayat kauniyah bersifat ringkas, teliti lagi padat, sehingga pemahaman atau penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut dapat menjadi sangat bervariasi, sesuai dengan tingkat kecerdasan dan pengetahuan masing-masing penafsir.

 

Dalam kaitan dengan butir ketiga di atas, Quraish Shihab mengatakan, perlu digarisbawahi beberapa prinsip dasar yang dapat, atau bahkan seharusnya, diperhatikan dalam usaha memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang mengambil corak ilmiah. Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah:

 

(1) Setiap Muslim, bahkan setiap orang, berkewajiban untuk mempelajari dan memahami Kitab Suci yang dipercayainya, walaupun hal ini bukan berarti bahwa setiap orang bebas untuk menafsirkan atau menyebarluaskan pendapat-pendapatnya tanpa memenuhi seperangkat syarat-syarat tertentu.

 

(2) Al-Quran diturunkan untuk seluruh manusia hingga akhir zaman, jadi bukan hanya khusus ditujukan untuk orang-orang Arab ummiyyin yang hidup pada masa Rasul saw. dan tidak pula hanya untuk masyarakat abad ke-20.

 

Mereka semua diajak berdialog oleh Al-Quran serta dituntut menggunakan akalnya dalam rangka memahami petunjuk-petunjuk-Nya. Dan kalau disadari bahwa akal manusia dan hasil penalarannya dapat berbeda-beda akibat latar belakang pendidikan, kebudayaan, pengalaman, dan kondisi sosial mereka serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di masanya. Maka wajarlah apabila pemahaman atau penafsiran seseorang dengan orang lain, baik dalam satu generasi atau tidak, berbeda-beda pula.

 

(3) Menafsirkan Al-Quran harus mengikuti kaidah-kaidah penafsiran yang telah disepakati oleh para ahli yang memiliki otoritas dalam bidang ini. Namun manusia dapat menggunakan akalnya untuk berpikir secara kontemporer sesuai dengan perkembangan zaman dan iptek dalam kaitannya dengan pemahaman Al-Quran.

 

(4) Salah satu sebab pokok kekeliruan dalam memahami dan menafsirkan Al-Quran adalah keterbatasan pengetahuan seseorang menyangkut subjek bahasan ayat-ayat Al-Quran. Seorang mufasir mungkin sekali terjerumus kedalam kesalahan apabila ia menafsirkan ayat-ayat kauniyah tanpa memiliki pengetahuan yang memadai tentang astronomi, demikian pula dengan pokok-pokok bahasan ayat yang lain.

 

Dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip pokok di atas, ulama-ulama tafsir memperingatkan perlunya para mufasir - khususnya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan penafsiran ilmiah - untuk menyadari sepenuhnya sifat penemuan-penemuan ilmiah, serta memperhatikan secara khusus bahasa dan konteks ayat-ayat Al-Quran.

 

PENAFSIRAN ILMIAH

 

Quraish Shihab menjelaskan bahwa disepakati oleh semua pihak bahwa penemuan-penemuan ilmiah, di samping ada yang telah menjadi hakikat-hakikat ilmiah yang dapat dinilai telah memiliki kemapanan, ada pula yang masih sangat relatif atau diperselisihkan sehingga tidak dapat dijamin kebenarannya.

 

Atas dasar larangan menafsirkan Al-Quran secara spekulatif, maka sementara ulama Al-Quran tidak membenarkan penafsiran ayat-ayat berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah yang sifatnya belum mapan.

 

Seorang ulama berpendapat bahwa "Kita tidak ingin terulang apa yang terjadi atas Perjanjian Lama ketika gereja menafsirkannya dengan penafsiran yang kemudian ternyata bertentangan dengan penemuan para ilmuwan."

 

Ada Pula yang berpendapat bahwa "Kita berkewajiban menjelaskan Al-Quran secara ilmiah dan biarlah generasi berikut membuka tabir kesalahan kita dan mengumumkannya."

 

Abbas Mahmud Al-Aqqad (penulis yang memiliki peran penting dalam perkembangan dunia intelektual Mesir yang karya-karyanya menjadi referensi-referensi bagi wacana beragam keilmuan pada masanya) memberikan jalan tengah. Seseorang hendaknya jangan mengatasnamakan Al-Quran dalam pendapat-pendapatnya, apalagi dalam perincian penemuan-penemuan ilmiah yang tidak dikandung oleh redaksi ayat-ayat Al-Quran.

 

Dalam hal ini, Abbas Mahmud Al-Aqqad (penulis yang memiliki peran penting dalam perkembangan dunia intelektual Mesir yang karya-karyanya menjadi referensi-referensi bagi wacana beragam keilmuan pada masanya) memberikan contoh menyangkut ayat 30 Surah Al-Anbiya' yang oleh sementara ilmuwan Muslim dipahami sebagai berbicara tentang kejadian alam raya, yang pada satu ketika merupakan satu gumpalan kemudian dipisahkan Tuhan.

 

Setiap orang bebas memahami kapan dan bagaimana terjadinya pemisahan itu, tetapi ia tidak dibenarkan mengatasnamakan Al-Quran menyangkut pendapatnya, karena Al-Quran tidak menguraikannya.

 

Setiap Muslim berkewajiban mempercayai segala sesuatu yang dikandung oleh Al-Quran, sehingga bila seseorang mengatasnamakan Al-Quran untuk membenarkan satu penemuan atau hakikat ilmiah yang tidak dicakup oleh kandungan redaksi ayat-ayat Al-Quran, maka hal ini dapat berarti bahwa ia mewajibkan setiap Muslim untuk mempercayai apa yang dibenarkannya itu, sedangkan hal tersebut belum tentu demikian.

 

Pendapat yang disimpulkan dari uraian Al-Aqqad di atas, bukan berarti bahwa ulama dan cendekiawan Mesir terkemuka ini menghalangi pemahaman suatu ayat berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan.

 

Tidak! Sebab, menurut Al-Aqqad lebih lanjut, "Dahulu ada ulama yang memahami arti 'tujuh langit' sebagai tujuh planet yang mengitari tata surya --sesuai dengan perkembangan pengetahuan ketika itu. Pemahaman semacam ini merupakan ijtihad yang baik sebagai pemahamannya (selama) ia tidak mewajibkan atas dirinya untuk mempercayainya sebagai akidah dan atau mewajibkan yang demikian itu terhadap orang lain."

 

Bint Al-Syathi' dalam bukunya, Al-Qur'an wa Al-Qadhaya Al-Washirah, secara tegas membedakan antara pemahaman dan penafsiran. Sedangkan Al-Thabathaba'i, mufasir besar Syi'ah kontemporer, lebih senang menamai penjelasan makna ayat-ayat Al-Quran secara ilmiah dengan nama tathbiq (penerapan).

 

Pendapat-pendapat di atas agaknya semata-mata bertujuan untuk menghindari jangan sampai Al-Quran dipersalahkan bila di kemudian hari terbukti teori atau penemuan ilmiah tersebut keliru.

 

Segi Bahasa Al-Quran

 

Seperti yang telah dikemukakan di atas, para mufasir mengingatkan agar dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran --khususnya yang berkaitan dengan penafsiran ilmiah-- seseorang dituntut untuk memperhatikan segi-segi bahasa Al-Quran serta korelasi antar ayat.

 

Sebelum menetapkan bahwa ayat 88 Surah Al-Naml (yang berbunyi, Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka ia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan), ini menginformasikan pergerakan gunung-gunung, atau peredaran bumi, terlebih dahulu harus dipahami kaitan ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya.

 

Apakah ia berbicara tentang keadaan gunung dalam kehidupan duniawi kita dewasa ini atau keadaannya kelak di hari kemudian. Karena, seperti diketahui, penyusunan ayat-ayat Al-Quran tidak didasarkan pada kronologis masa turunnya, tetapi pada korelasi makna ayat-ayatnya, sehingga kandungan ayat terdahulu selalu berkaitan dengan kandungan ayat kemudian.

 

Demikian pula halnya dengan segi kebahasaan. Ada sementara orang yang berusaha memberikan legitimasi dari ayat-ayat Al-Quran terhadap penemuan-penemuan ilmiah dengan mengabaikan kaidah kebahasaan.

 

Ayat 22 Surah Al-Hijr, diterjemahkan oleh Tim Departemen Agama dengan, "Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit ..."

 

Terjemahan ini, di samping mengabaikan arti huruf fa; juga menambahkan kata tumbuh-tumbuhan sebagai penjelasan sehingga terjemahan tersebut menginformasikan bahwa angin berfungsi mengawinkan tumbuh-tumbuhan.

 

Menurut Quraish Shihab, terjemahan dan pandangan di atas tidak didukung oleh fa anzalna min al-sama' ma'a yang seharusnya diterjemahkan dengan maka kami turunkan hujan. Huruf fa' yang berarti "maka" menunjukkan adanya kaitan sebab dan akibat antara fungsi angin dan turunnya hujan, atau perurutan logis antara keduanya sehingga tidak tepat huruf tersebut diterjemahkan dengan dan sebagaimana tidak tepat penyisipan kata tumbuh-tumbuhan dalam terjemahan tersebut. Bahkan tidak keliru jika dikatakan bahwa menterjemahkan lawaqiha dengan meniupkan juga kurang tepat.

 

Quraish Shihab menjelaskan kamus-kamus bahasa mengisyaratkan bahwa kata tersebut digunakan antara lain untuk menggambarkan inseminasi. Sehingga, atas dasar ini, Hanafi Ahmad menjadikan ayat tersebut sebagai informasi tentang fungsi angin dalam menghasilkan atau mengantarkan turunnya hujan, semakna dengan Firman Allah dalam surah Al-Nur ayat 43: "Tidakkah kamu lihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)-nya, kemudian dijadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya ..."

 

Quraish Shihab mengatakan memang sebab-sebab kekeliruan dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran antara lain adalah kelemahan dalam bidang bahasa Al-Quran, serta kedangkalan pengetahuan menyangkut objek bahasan ayat.

 

"Karena itu, walaupun sudah terlambat, kita masih tetap menganjurkan kerja sama antardisiplin ilmu demi mencapai pemahaman atau penafsiran yang tepat dari ayat-ayat Al-Quran dan demi membuktikan bahwa Kitab Suci tersebut benar-benar bersumber dari Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Esa," demikian Quraish Shihab.

 

SUMBER

Miftah H. Yusufpati. Ayat-Ayat Kauniyah dalam Al-Quran Menurut Quraish Shihab. Sindonews 20 Maret 2023. https://kalam.sindonews.com/newsread/1050929/69/ayat-ayat-kauniyah-dalam-al-quran-menurut-quraish-shihab-1679223794

No comments:

Post a Comment