Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Wednesday 31 December 2008

Pembahasan Standar Produk Organik dengan MAFF Japan

Latar belakang

Indonesia telah mengembangkan sistem akreditasi dan sertifikasi pangan organik yang secara umum untuk menjamin produk pangan organik di Indonesia, dan secara khusus untuk memperoleh pengakuan sertifikasi pangan organik oleh negara lain.


Berdasarkan kerjasama antara Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan Ministry of Agriculture, Fisheries dan Forestry (MAFF) Jepang, lembaga sertifikasi produk Indonesia yaitu PT. Mutu Agung Lestari telah ditetapkan oleh MAFF Jepang sebagai ROCB untuk produk plywood. Ini berarti sertifikat produk plywood Indonesia yang diterbitkan oleh PT. Mutu Agung Lestari diakui dan diterima oleh MAFF Jepang sebagai regulator.


Selaras dengan pendekatan tersebut, Pemerintah Indonesia bermaksud untuk mendapatkan pengakuan sistem akreditasi dan sertfifikasi pangan organik yang berlaku di Indonesia oleh Pemerintah Jepang. Sebagaimana diketahui peraturan di Jepang mensyaratkan semua produk makanan yang masuk ke Jepang wajib diberi label yang dibubuhkan berdasarkan lisensi lembaga sertifikasi yang diregistrasi MAFF Jepang. Pelabelan ini diatur dalam Japanese Agricultural Standard (JAS) Law No. 175 tahun 1950 - The Law Concerning Standardization and Proper Labelling of Agricultural and Forestry Product (revisi per 1 Maret 2006, tertera dalam article 19-8 hingga 19-10), yaitu ketentuan yang mengatur tentang pelabelan produk pertanian dan kehutanan. Aturan lain yang berkaitan dengan standardisasi produk pertanian dan kehutanan adalah aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah (No. 291 tahun 1951) dan yang dikeluarkan oleh MAFF Jepang (No. 62 tahun 1950).


Untuk mencapai maksud tersebut, Indonesia perlu mempunyai lembaga sertifikasi yang diregistrasi oleh pemerintah Jepang sebagai Registered Overseas Certifying Bodies (ROCB) yang dapat memberikan jaminan mutu pangan organik yang akan dipasarkan ke Jepang. Pelaksanaan pembentukan ROCB harus dilakukan secara komprehensif oleh berbagai pihak yang terkait di Indonesia dalam ruang lingkup perdagangan pangan organik ke Jepang.


Pada saat ini Indonesia telah ada 7 (tujuh) lembaga sertifikasi pangan organik (LSPO), yaitu: PT. Sucofindo Services; PT. Mutu Agung Lestari; Biocert; Inofice; Lesos; Persada; dan LSPO Sumbar. Namun mengingat untuk mendapatkan pengakuan sebagai ROCB untuk pangan organik perlu memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh MAFF, BSN mengadakan kunjungan kerja ke Jepang untuk menjajagi kemungkinan adanya MOU dengan pihak pemerintah Jepang, dalam hal ini dengan MAFF Jepang untuk adanya pengakuan sertifikasi pangan organik Indonesia.


Tujuan


Melakukan studi banding untuk mencari informasi tentang penerapan standar dan label pangan organik di Jepang, meliputi:
1. Peraturan tentang pangan organik,
2. Standar pangan organik,
3. Sertifikasi pangan organik,
4. Kemungkinan pengakuan (penerimaan) sertifikat yang dikeluarkan oleh Indonesia (apa persyaratannya dan apakah memerlukan MOU?)

Jadwal Pelaksanaan dan Agenda Kunjungan

1. Tanggal 10 November 208, melakukan persiapan dan kordinasi di Kedutaan Besar Republik Indonesia Tokyo, Jepang;

2. Tanggal 11 November 2008, melakukan kunjungan ke Ministry of Agriculture, Foresty and Fisheries of Japan (MAFF), di Tokyo.


Delegasi yang hadir

Pembahasan standar produk organik dengan pejabat MAFF Jepang dipimpin oleh Prof. Dr. Ir. Zaenal Bachruddin, M.Sc., Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, selaku Ketua Otoritas Kompeten Pangan Organik/OKPO. Sebagai anggota terdiri atas 2 (dua) orang wakil dari BSN, Drs. Suprapto, MPS, Kepala Pusat Sistem Penerapan Standar, dan Utomo, ST, Kepala Sub. Bidang Prasarana Penerapan Standar, serta 1 (satu) orang wakil dari Kedutaaan Besar Republik Indonesia di Jepang, Drh. Pudjiatmoko, Ph.D, Atase Pertanian.

Pelaksanaan Kerja Delri

Persiapan dan Koordinasi di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Tokyo, Jepang

Pertemuan ini dilaksanakan pada tanggal 10 November 2008 di ruang kerja Atase Pertanian, KBRI Tokyo, Jepang. Pertemuan ini dihadiri oleh Sdr. Tulus Budhianto, Atase Perdagangan; Sdr. Achmad Sigit Dwiwahjono, Atase Perindustrian; Drh. Pudjiatmoko, Ph.D, Atase Pertanian; serta tim kunjungan kerja.

Pada awal pertemuan, tim menjelaskan maksud kunjungan ke MAFF Jepang, yang bertujuan untuk menjajagi kemungkinan ekspor produk pangan organik Indonesia, dengan sertifikat pangan organik yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi pangan organik di Indonesia.

Dalam pertemuan diperoleh informasi bahwa produk pangan organik di Jepang mempunyai nilai jual yang lebih baik, dengan demikian produk pangan organik mempunnyai nilai tambah yang prospektif. Selain produk pangan organik, dibahas pula produk lain yang mempunyai potensi untuk dipasarkan ke Jepang antara lain produk pisang, nanas, pepaya, mangga serta produk lainnya. Dalam pertemuan dibahas pula kendala yang dihadapi untuk ekspor ke Jepang seperti pisang masih ada bintik-bintiknya, ukuran belum seragam, dan pasokan tidak bisa berkelanjutan (sustainable).

Pembahasan Standar Produk Organik dengan Pejabat Ministry of Agriculture, Foresty and Fisheries of Japan (MAFF)

Pembahasan Standar Produk Organik dilakukan pada tanggal 11 November 2008, dan tim kunjungan kerja diterima oleh pejabat MAFF Jepang Mr. Masato Shimazaki, Associate Director Labelling and Standard Division Food Safety and Consumer Affairs Bureau, yang didampingi oleh Ms. Norie Kato, Section Chief Labelling and Standard Division Food Safety and Consumer Affairs Bureau.

Pada awal pertemuan Mr. Masato Shimazaki, menjelaskan JAS Law No. 175 Tahun 1950 tentang standardisasi dan label yang sesuai untuk produk pertanian dan kehutanan. Di dalam undang-undang tersebut dijelaskan terdapat empat label atau tanda (mark) sistem standardisasi yang dikembangkan oleh Japanes Agriculture Standard (JAS), yaitu:

1. Label yang digunakan untuk produk makanan olahan (kiri atas);

2. Label yang digunakan untuk produk ayam kampung (kanan atas);

3. Label yang digunakan untuk produk pangan organik (kiri bawah);

4. Label yang digunakan untuk produk sapi gila (kanan bawah).

Untuk produk pertanian dan kehutanan, di Jepang berlaku standar JAS (Japanese Agricultural Standard). Penetapan standar JAS diharapkan dapat meningkatkan kualitas produk, membuat proses produksi lebih efisien, memberikan kontribusi terhadap transaksi yang sederhana dan adil, serta memfasiltasi konsumen dalam memilih secara rasional.

Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Jepang masih mengimpor produk pangan organik dengan persyaratan antara lain harus membubuhkan tanda/label organik berdasarkan lisensi yang diberikan oleh lembaga sertifikasi pangan organik terregistrasi oleh MAFF. Ini berarti masih terbuka kemungkinan ekspor pangan organik dari Indonesia ke Jepang.

Kriteria registrasi lembaga sertifikasi pangan organik untuk dalam negeri Jepang adalah ISO/IEC Guide 65 dan kriteria lainnya yang ditetapkan MAFF. Untuk dapat menjadi Registered Overseas Certifying Bodies (ROCB) selain memenuhi ISO/IEC Guide 65, negara di tempat lembaga sertifikasi pangan organik berada harus mempunyai sistem nasional yang ekuivalen dengan sistem JAS. Jadi lembaga sertifikasi pangan organik Indonesia yang diakreditasi Komite Akreditasi Nasional (KAN) mempunyai peluang yang sangat besar untuk menjadi ROCB karena sistem akreditasi dan sertifikasi di Indonesia untuk pangan organik berdasarkan ISO/IEC Guide 65 dan telah memenuhi persyaratan internasional.

Terdapat 2 cara untuk dapat diakui sebagai ROCB: (1) Lembaga Sertifikasi Pangan Organik (LSPO) dapat langsung mengajukan aplikasi ke MAFF; atau (2) melalui ekuivalensi sistem nasional Indonesia dengan sistem JAS. Jika pendekatan ini dapat dicapai, maka produk pangan organik Indonesia yang menggunakan logo pangan organik jika diekspor ke Jepang, oleh importir Jepang langsung dibubuhi stiker label pangan organik JAS. Ini berarti MAFF mengakui sertifikat penilaian kesesuaian (conformity assessment) yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi pangan organik di Indonesia yang diakreditasi oleh KAN.

Terkait dengan prosedur permohonan menjadi ROCB, LSPO Indonesia mengajukan aplikasi dan memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan oleh MAFF. Semua dokumen, baik melalui aplikasi langsung maupun melalui ekuivalensi sistem nasional harus dalam bahasa Jepang. Dalam kaitan ini MAFF belum melihat perlu adanya MOU (Memorandum of Understanding). MAFF memberi informasi bahwa tidak tersedia bantuan teknis untuk pembentukan ROCB di Indonesia untuk pangan organik. MAFF hanya bisa menjelaskan persyaratan atau hal-hal yang diperlukan oleh pihak Indonesia tetapi tidak dapat membantu bagaimana harus menyiapkan atau membentuk lembaga sertifikasi pangan organik.

Kesimpulan

MAFF dapat memberikan konfirmasi bahwa lembaga sertifikasi pangan organik (LSPO) Indonesia yang diakreditasi KAN berdasarkan ISO/IEC Guide 65, terbuka kemungkinan adanya pengakuan sebagai ROCB. LSPO dapat mengajukan aplikasi langsung secara individu atau melalui ekuivalensi sistem akreditasi dan sertifikasi Indonesia dengan sistem JAS.

Langkah tindak lanjut yang diperlukan

1. Kerjasama antara Departemen Pertanian selaku Otoritas Kompeten Pangan Organik dengan BSN, KAN dan instansi terkait perlu lebih diintesifkan.

2. BSN perlu memberikan insentif kepada LSPO berupa pelatihan untuk pendalaman persyaratan MAFF terkait dengan pengakuan LSPO Indonesia sebagai ROCB.

3. BSN perlu menyiapkan segala dokumen dalam bahasa Jepang untuk persiapan ekuivalensi/kesetaraan sistem akreditasi dan sertifikasi nasional dengan sistem JAS.

4. BSN tetap memelihara komunikasi dengan MAFF baik langsung maupun melalui KBRI Tokyo untuk persiapan permohonan LSPO Indonesia menjadi ROCB.

5. KAN harus segera melakukan survailen dan memantapkan pemenuhan 7 LSPO yang telah diverifikasi oleh OKPO dan telah diserahkan pengelolaan akreditasinya kepada KAN.

Informasi umum tentang SPS (1)

Apa yang disebut SPS ?

SPS merupakan singkatan dari Sanitary and Phytosanitary Measures yang artinya tindakan-tindakan yang dilakukan untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan.
Perlindungan dimaksud meliputi 4 hal penting sebagai berikut:

1. Resiko yang ditimbulkan oleh masuknya, pembentukan atau penyebaran dari hama, penyakit, organism pembawa penyakit atau organism penyebab penyakit.

2. Resiko yang ditimbulkan oleh bahan tambahan makanan (food additives), pencemaran, racun atau organism penyebab penyakit yang terkandung dalam makanan, minuman atau bahan makanan.

3. Resiko terkena penyakit-penyakit yang dibawa oleh hewan, tumbuhan atau produk yang dibuat dari padanya.

4. Melakukan pencegahan dan membatasi bahaya lainnya di dalam wilayah negaranya dari masuknya, pembentukan atau penyebaran hama.

Ketentuan SPS ini berlaku secara global, karena ketentuan ini merupakan salah satu persetujuan (agreement) yang disepakati oleh seluruh negara anggota WTO pada pembentukan organisasi ini pada tahun 1994. Indonesia telah meratifikasi perjanjian tersebut dan mengundangkannya dalam hukum positif Indonesia. Regulasi ini tertuang dalam UU No. 7 tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization.

Selama produk yang diperdagangkan terkait dengan aturan SPS maka ketentuan ini digunakan sebagai dasar dalam persyaratan pemenuhan keberterimaan suatu produk. Seluruh anggota WTO, termasuk Indonesia sangat mungkin menggunakan ketentuan SPS dalam perdagangan antar Negara.

Isi dari perjanjian SPS-WTO pengaturan hal-hal sebagai berikut:
1. Ketentuan Umum
2. Hak dan Kewajiban
3. Harmonisasi
4. Kesepadanan
5. Analisis resiko dan penetapan tingkat perlindungan SPS
6. Adaptasi terhadap keadaan regional tranparansi
7. Prosedur pengendalian, Inspeksi dan pemberian persetujuan
8. Bantuan Teknis
9. Perlakuan Khusus dan Berbeda
10. Konsultasi dan penyelesaian perselisihan
11. Administrasi
12. Pelaksanaan
13. Ketentuan Penutup

Isu-isu SPS menjadi sangat penting belakangan ini. Dengan berangsur direduksinya hambatan berupa tariff, kuota serta subsidi dalam perdagangan internasional, maka isu-isu sentral dalam perdagangan saat ini bergerak pada yang disebut dengan hambatan non-tariff barrier. Hambatan ini diidentikan sebagai hambatan yang disebabkan oleh aspek-aspek teknis. Salah satu perjanjian di dalam WTO yang kental dengan aspek teknis tersebut adalah perjanjian tentang Sanitary and Phytosanitary Measures.

Amanah yang perlu diperhatikan oleh Negara anggota WTO sebagai rambu di dalam perdagangan menekankan 3 hal dalam perjanjian SPS yaitu sebagai berikut:
1. Tindakan SPS harus berlandaskan kajian disertai bukti ilmiah
2. Tindakan SPS harus transparan dan tidak boleh melanggar prinsip non diskriminasi
3. Tindakan SPS tidak dijadikan sebagai suatu hambatan terselubung di dalam perdagangan.

Saat ini terdapat tiga lembaga organisasi internasional yang menjadi rujukan dalam setiap tindakan SPS yang dikenal dengan three sisters adalah:
1. Codex Alimentarius Commission
2. International Plant Protection Convention
3. World Organization for Animal Health

Ruang lingkup justifikasi yang dikeluarkan oleh Codex Alimentarius Commission adalah mengatur regulasi teknis yang berkenaan dengan pangan, termasuk aspek keamanan pangan, standar, serta rekomendasi teknis lainnya. International Plant Protection Convention bertugas mengeluarkan standar-standar tentang perlindungan tanaman atau dikenal dengan International Standard for Phytosanitary Measerues (ISPM). Sedangkan World Organization for Animal Health berfungsi menetapkan peraturan (code-code) yang terkait dengan aspek kesehatan hewan.

Bila dilihat dari justifikasi yang dikeluarkan oleh ketiga lembaga diatas, tampaknya ketentuan SPS ini sangat kental nuansanya untuk perdagangan produk-produk pangan dan pertanian saja. Namun tidak sepenuhnya demikian. Pada prinsipnya, selama produk tersebut akan berdampak seperti pada alinea kedua di atas, sangat relevan ketentuan SPS diterapkan. Artinya tidak mesti hanya terbatas pada produk pangan dan pertanian saja.

Contohnya, pada kemasan kayu yang digunakan sebagai packing produk industri impor. Perhatian utama ketentuan SPS dalam hal ini bukan pada produk industri apa yang dikemas, namun pada bahan packing yang terbuat dari kayu. Maka dari itu perlu dilakukan memastikan bahwa tidak terdapat hama penyakit tertentu yang dapat terbawa pada media kayu yang digunakan sebagai kemasan produk industri tersebut.

Bersambung.

Sumber: 30 informasi umum seputar sanitary & Phytosanitary, SPS National Enquiry Point

Tuesday 30 December 2008

JICA’s Projects Implemented in Indonesia in FY 2007

JICA’s Grant Aid (10 projects)
• The Project for Water Supply in Gunungkidul Regency of Yogyakarta Special Territory (6.35)
• The Project for Expansion of Radio Broadcasting Coverage in the Remote Areas (3.57)
• The Project for Promotion of Sustainable Coastal Fisheries (10.70)
• The Project for Human Resource Development Scholarship (0.86)
• The Project for Human Resource Development Scholarship (1.25)
• The Project for Construction of Bridges in the Province of Nusa Tenggara Barat (3.86)
• The Project for Improvement of Animal Health Laboratories for Diagnosis of Avian Influenza and Other Major Diseases of Animals (17.81)
• The Project for Bridge Construction in the Province of Nusa Tenggara Timur (3.21)
• The Project for Rural Water Supply in the Province of Nusa Tenggara Barat and Nusa Tenggara Timur (2.45)
• The Grant Assistance for Underprivileged Farmers (4.20)

(Total of JICA’s Projects: 218 projects)
Notes:
1. This list shows Grant Aid projects expedited by JICA
2. Figures in parentheses are the grant in fiscal 2007 (unit: 100millions of yen).


Development Studies (10 projects)

• The Study on the Improvement of Farmers' Income: Processing and Rural Micro Finance
• Study on Arterial Road Network Development Plan for Sulawesi Island
• The Study for Development of Greater Surabaya Metropolitan Ports in the Republic of Indonesia
• The Feasibility Study for the Strategic Implementation of CNS/ATM (Communications, Navigation, Surveillance and Air Traffic Management) Systems in the Republic of Indonesia
• Study on the Improvement of Employment Services in the Republic of Indonesia
• The Study on Capacity Development for Jeneberang River Basin Management
• The Study on Natural Disaster Management Plan
• Study on Regional Water Supply Development Plan for Greater Yogyakarta
• The Study on Countermeasures for Sedimentation in Wonogiri
• Study on Development of Regional Railway System in Central Java Region

(Total of JICA’s Projects: 117 projects)
Note:
This list represents Development Studies that were reported by the Japanese government to the recipient countries and whose main studies were implemented.


Technical Cooperation Projects (Formerly Project-type Technical Cooperation) (67 projects)

• Industrial Property Rights Administration (extension)
• Project on Capacity Building for Public Private Partnership (PPP) Operation
• Strengthening Spatial Utilization Monitoring System
• The Project to Deliver Safe Drugs to People in Indonesia
• Sulawesi Capacity Development Project
• Micro Finance for African Region: Establishing Micro Finance Institution (MFI)
• Capacity Building for Poverty Reduction
• The Project on Building Administration and Enforcement Capacity Development for Seismic Resilience
• Project for Improvement on the Vaccination Program for Avian Influenza Control in Indonesia
• The Integrated Program for Junior Secondary Education Improvement
• Project for Tourism Product Development
• Aircraft Accident Investigation Project
• ICT Capability Strengthening for e-Local Government
• Project on "Building a Society with a Sense of Safety in Bali"
• Project on Enhancement of Civilian Police Activities (Phase 2)
• The Project on the Capacity Development of the Ministry of Communication and Information Technology concerning Digital Broadcasting Implementation Planning
• Project on Capacity Development for National Center of Indonesian Tsunami Early Warning System
• Tourism Marketing Planning
• The Forest Tree Improvement Project in the Republic Indonesia 2
• Improvement of Customs Administration Project
• Project for Dissemination of Appropriate Dairy Technology Utilizing Local Resources
• Competition Policy
• Local Educational Administration Improvement Program
• Reshaping Telecommunication Policy and Regulation In Comprehensive Market in Indonesia
• Industrial Property Rights Administration
• Project on Dissemination of Sustainable Marine culture Technology
• Improve drug supply management system and promote rational use of drugs
• Project on Human Resource Development for SMEs
• Project for Administration Improvement of Trade Related Regulations, Systems and Procedures
• Project for Shipping and Sea Transportation Improvement
• The Project for Research and Education Development on Information and Communication Technology in Sepuluh Nopember Institute of Technology
• The Project for Improving Higher Education Institutions through University-Industry-Community Links (Hi-Link) in Gadjah Mada University
• Strengthening in service teacher training of mathematics and science education at junior secondary level
• Central Jawa and DIY Earthquake Reconstruction Program Advisory Team
• Development Country Training Course of Artificial Insemination on Dairy Cattle
• Coal Mining Technology Enhancement Project (Flow Up)
• Project on Ensuring Maternal and Child Health Service with MCH Handbook Phase II
• Port Security Management Project
• International Training on Strengthening District Health Planning in the era of decentralization for improvement of the health status of children and mothers
• Enhancement of Marine and Fisheries Administration Under the Decentralization
• Capital Market Development Project
• International Training Course on Vocational Rehabilitation for Persons with Disabilities
• Improvement of Railway Safety Management - Phase 2
• Contingency Exercise on Airport Security
• Forest Fire Prevention Project by Initiative of people in Buffer Zone
• Development of Indonesian Ecolabel Program, Policy and Supporting tools
• Technical Cooperation Project for Modernization of Tax Administration
• Sub Sectoral Program on Mangrove
• Improvement of District Health Management Capacity in South Sulawesi Province Project
• The Project on Self-Sustainable Community Empowerment Network Formulation in Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Province
• Seminar on Decentralization and Role and Function of Parliament and its Secretariat in Japan
• Project on Improvement of Collection Management and Biodiversity Research Capacity of the Research Center for Biology, Indonesian Institute of Sciences in Indonesia
• Support Program for Reform of Indonesian National Police
• Enhancement of Civilian Police Activities for Bali Regional Project
• The project on Improvement of Mediation System
• Capacity building for balance of payments and international economic management
• Monetary Policy Improvement Project
• The Development of Appropriate Technology for Multi-Story Residential Building and Its Environmental Infrastructure for Low Income People in Indonesia
• The Project of Research Cooperation on the Center for Japanese Studies, University of Indonesia, Phase III
• Gunung Halimun-Salak National Park Management
• The Institutional Revitalization Project for Flood Management in Jabodetabek
• Freshwater Aquaculture Development Project in Indonesia
• Project for Empowerment of Water Users Association
• Institutional Support for Food Security
• Project for the promotion of the sustainable coastal fisheries
• Beef Cattle Development Project Utilizing Local Resources in the Eastern Part of Indonesia
• Project for developing the information systems of small area statistics

(Total of JICA’s Projects: 748 projects)
Note:
This list represents Technical Cooperation projects that were reported by the Japanese government to
the recipient countries and which were implemented.

JICA Partnership Program (9 projects)

• Development of a Model System for Participatory Community Waste Water Treatment in Densely Populated Area of Yogyakarta Special Province
• Empowerment of coastal Fishing Community in South Sulawesi, through Technology Transfer of community-based Set-net for Sustainable Fisheries
• A Training Program for Environmental Education Leader in Semarang City
• The Project for Enhancing the Capacity of Dairy Farming Center in Enrekang District
• Bali Mynah Conservation Project
• International Cooperation Project for the restoration of the earthquake-hit area of Java Island
• Training of Community Health Nurses Coordinator in Indonesia
• Capacity Development for water quality management
• Capacity Development for Public Health Improvement in Papua province
• NGO Training for Disaster Risk Reduction in Asia (Malaysia, Afghanistan, India, Indonesia, Cambodia, Sri Lanka, Nepal, Pakistan, Bangladesh, Philippines)

(Total of JICA’s Projects: 165 projects)
Note: -

Source: Japan International Cooperation Agency (JICA) Annual Report 2008

Si manis Baby Carrot cocok buat anak-anak

Di sebuah super market di Tokyo Metropolitan telah dipasarkan baby carrot atau sweet carrot asal Amerika. Satu pak baby carrot seberat 220 gram ini dibandrol harga 119 yen. Sedangkan wortel biasa yang seberat 1000 gram dihargai 399 yen. Sehingga harga per kg baby carrot lebih mahal sekitar 35,58% dari pada harga wortel biasa.


Baby carrot berukuran mini sebesar kelingking dengan garis tengah rata-rata 1,8 cm dan beratnya rata-rata 7 gram per buah.
















Sedangkan wortel biasa (sebelah kiri) yang dijual di supermarket tersebut beratnya rata-rata 205 gram. Babby carrot (sebelah kanan) berukuran sepertigapuluh dari pada wortel biasa.





















Tekstur baby carrot lebih empuk dari pada wortel biasa. Bila diiris melintang setebal 1 mm kemudian diteropong dibawah sinar lampu terlihat baby carrot (sebelah kiri) kurang transparan dibanding wortel biasa. Baby carrot berwarna lebih merah dibanding wortel biasa.

Apabila baby carrot dimakan mentah rasanya manis seperti rasa ubi jalar mentah atau lebih manis dari pada rasa wortel biasa. Dengan rasanya manis-enak ini membuat baby carrot disukai oleh anak-anak baik dimakan mentah maupun dimasak.

Hal ini mengingatkan kita kepada semangat petani inovatif asal Fukushima yang selalu bercita-cita dapat memproduksi sayur-sayuran selain bermutu baik juga rasanya enak sehingga disukai oleh anak-anak (http://atanitokyo.blogspot.com/2008/12/mr-saito-yasuyuki-sang-petani-inovatif.html). Anak-anak suka makanan bergizi akan menjadi sehat, dikemudian hari ketika besar dapat meneruskan pembangunan pertanian di masa mendatang.

Dengan inspirasi dari petani inovatif ini, dimohon para pembaca ikhlas mau menyampaikan kepada penentu kebijakan Republik Indonesia tercinta bahwa anak-anak bangsa ini perlu diberikan makanan bergizi yang terbaik demi kesehatan mereka melalui program Pemerintah "Makan siang bersama bagi anak-anak Sekolah Dasar" yang masih dalam masa pertumbuhan. Berikan mereka makan siang empat sehat lima sempurna. Tanpa pandang bulu mereka semua memperoleh makanan yang bergizi dari kota sampai ke pelosok pedalaman. Tentu dengan suatu program yang dibudjetkan oleh pemerintah. Program ditangani lintas departemen, yang berhubungan dengan pendidikan, kesehatan, sosial, agama, pertanian dan perikanan.

Insya Allah anak-anak yang memperoleh makanan bergizi ini akan tumbuh menjadi anak bangsa yang sehat dan cerdas yang akan menggantikan generasi tua sekarang ini, menjadi pemimpin-pemimpin yang pintar-pintar, mampu meningkatkan kesejateraan rakyat.

Tentu banyak rintangan dan hambatan dalam memproduksi hasil pertanian yang disukai anak-anak, mari singsingkan lengan baju pompakan semangat petani melalui berpikir positif begitu mulianya apabila dapat menyumbangkan peran dalam menyehatkan generasi anak bangsa.

Sunday 28 December 2008

Agricultural Investment and Trade Opportunities in Indonesia (2)

Government Incentives


Import Duties

All investment projects of PMA as well as PMDN projects which are approved by the investment coordinating Board or by the Office of Investment in the respective districts, including existing PMA and PMDN companies expanding their projects to produce similar product(s) in excess of 30% of installed capacities or diversifying their products, will be granted the following facilities:

1. Relief from import duty so that the final tariffs become 5%. In the case of tariffs of import duty which are mentioned in the Indonesian Customs Tariff Book (BTBMI) being 5% or lower, the effective tariffs shall be those in BTBMI:

a. On the importation of capital goods namely machinery, equipments, spare parts and auxiliary equipments for and import period of 2 (two) years, started from the date of stipulation of the decisions on import duty relief.

b. On the importation of goods and materials or raw materials regardless of their types and composition, which are used as materials or components to produce finished goods for the purpose of 2 (two) years full production (accumulated production time).

2. Exemption from the transfer of ownership fee for ship registration deed / certificate made for the first time in Indonesia.

Tax Facilities

1. The government has introduced a tax bill No’s 16, 17, 18, 19 and 20 of 2000 and applied since January 2001. Based on this tax law, the domestic and foreign investors will be granted tax allowances in certain sector and / or area as follows:

a. An investment tax allowance in the form of taxable income reduction as much as 30% of the realized investment spread in 6 (six) years.

b. Accelerated depreciation and amortization.

c. A loss carried forward facility for period of no more than 10(ten) years.

d. A 10% income tax on dividends, and possibly being lower if stipulated in the provisions of an existing particular tax treaty.

2. The government has also introduced provisions No’s 146 of 2000 and 12 of 2000 of 2001 on the importation and or delivery of selected taxable goods, and or the provision of selected taxable services as well as the importation and or delivery of selected strategic goods which are exempted from for certain industries or sectors and or location of projects which are considered a national priority in terms of exports and the development of remote areas, the government will provide tax incentives.

Export Manufacturing

There are many incentives provided for exporting manufacture products. Some of these incentives are as follows:

1. Restitution (drawback) of import on the importation of goods and materials needed to manufacture the exported finishes products.

2. Exemption from value added tax and sales tax on luxury goods and materials purchased domestically, to be used in the manufacturing of the exported products.

3. The company can import raw materials required regardless of the availability of comparable domestic products.

Bonded Zones

The industries companies which are located in the bonded areas are provided with many intensives as follows:

1. Exemption from import duty, excise, income tax of Article 22, value added tax on luxury goods on the importation of capital goods and equipment including raw materials for the production process.

2. Allow to divert their products amounted to 50% of their export (in term of value) for the final products, and 100% of their exports (in term of value) for other than final products to the Indonesian customs area, through normal import procedure including payment of customs duties.

3. Allowed to sell scrap or waste to Indonesian custom area as long as it contains at the highest tolerance of 5% of the amount of the material used in the production process.

Allowed to lend their own machineries and equipments to their subcontractors located outside bonded zones for no longer than 2 (two) years in order to further process their own products.

Exemption of value added tax and sales tax on luxury goods on the delivery of products for further processing from bonded zones to their subcontractors outside the bonded zones or the other way around as well as among companies in these areas.

To be continued.

Source: Guide to Agricultural Investment and Trade Opportunities in Indonesia,Ministry of Agriculture, the Republic of Indonesia

Friday 26 December 2008

Fakta dan data Trainee di Jepang

  1. Interaksi selama trainee melakukan pelatihan di Jepang kadangkala menimbulkan problematika yang memerlukan penyelesaian oleh berbagai kalangan. Dalam rangka menyelesaikan permasalahan yang ada, Bank Indonesia Kantor Perwakilan Tokyo telah bekerjasama dengan Working Group for Technology Transfer (WGTT), melakukan serangkaian kegiatan untuk mengumpulkan fakta dan data di beberapa tempat di Jepang.

    Pada gambar sebelah Bapak Dubes Dr. H. Jusuf Anwar, SH. MA. dan Ibu beserta 3 anggota Darmawanita KBRI Tokyo sedang bersilaturahim dengan Trainee bidang pengolahan ikan di Kesenuma, Prefektur Miyagi.

    Dibawah ini disajikan fakta dan data yang berhasil dikumpulkan oleh WGTT yang didukung oleh BI Perwakilan Tokyo dalam bentuk ringkas dan padat:

    1. Di Jepang terdapat dua skema pelatihan bagi tenaga kerja asing yakni Industrial Training Program (ITP) dan Technical Internship Program (TIP).

    2. Gabungan skema ITP (maksimum 1 tahun) dan skema TIP (dua tahun), mereka bisa melakukan program pelatihan selama 3 tahun di Jepang.

    3. Tahun pertama sebagai kenshusei dengan uang saku sekitar 80.000 yen per bulan. Dua tahun kemudian sebagai Jishusei dengan gaji sekitar 90.000 - 100.000 yen per bulan.

    4. Terdapat 14 negara yang mengirimkan tenaga kerjanya ke Jepang, dan China menduduki urutan pertama dalam jumlah trainee yang dikirim ke Jepang.

    5. Keuntung program pelatihan di Jepang ini adalah: (i) meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan teknik tenaga kerja Indonesia; (ii) memperbaiki etos kerja tenaga kerja Indonesia sehingga lebih produktif.

    6. Terdapat 3 organisasi penyalur Trainee di Jepang yaitu (1) Association for International Manpower Development of Medium and Small Enterprises (IMM Japan); (2) Japan Indonesian Association for Economy Cooperation (JIAEC); dan (3) Japan Vocational Ability Development Association (JAVADA).

    7. Program pengiriman Trainee Indonesia yang pertama kali dilakukan pada tahun 1992.
    Sampai dengan tahun 2006 Indonesia sudah mengirimkan sekitar 75.000 orang trainee ke Jepang, lima tahun terakhir sekitar 5.200 orang per tahun.

    8. Terdapat 7 bidang pekerjaan yakni (1) Pertanian, (2) Perikanan, (3) Konstruksi, (4) Industri pengolahan makanan, (5) Industri Tekstil, (6) Industri Mesin dan Barang Logam, (7) Industri lainnya seperti furniture, percetakan, pengecatan dan pengemasan. Secara keseluruhan, jenis pekerjaan yang tersedia untuk para trainee mencakup 62 jenis pekerjaan dengan 114 sub tahapan pekerjaan tertentu (selective work).

    9. Seleksi di Indonesia terdapat dua tahapan:

    Tahap pertama:
    Seleksi di daerah yang dipusatkan di tingkat propinsi bekerjasama dengan pihak Kantor Wilayah Depnaker. Persyaratannya: (i) Usia antara 18 - 40 tahun, (ii) Pendidikan SLTA dengan telah mengikuti pembekalan minimal 480 jam di BLK, (iii) Berkelakuan baik, sehat jasmani dan rohani, (iv) Lulus seleksi wawancara dan uji kesehatan.

    Tahap ke dua:
    Mengikuti pelatihan sebelum berangkat ke Jepang. Prosesnya sebagai berikut: (i) Pelatihan diberikan kepada calon peserta trainee yang telah lulus seleksi dan diterima oleh perusahaan penyalur trainee yang terdapat di Indonesia, (ii) In housing training selama kurang lebih 4 bulan yang dilaksanakan oleh perusahaan penyalur trainee. Lokasinya diantaranya di Bekasi, Lembang, Bali.

    10. Selama proses pelatihan di Indonesia para calon peserta trainee memperoleh fasilitas akomodasi dan makan yang biayanya telah diperhitungkan dengan penghasilan mereka selama 3 tahun kedepan sebagai trainee di Jepang.

    11. Proses off the job training di Jepang sekitar 1 bulan sebelum ditempatkan di perusahaan-perusahaan (Saitama dan Chiba). Para calon trainee diberikan pelajaran lanjutan bahasa Jepang dan pengenalan kebudayaan dan adat-istiadat masyarakat Jepang. Pada saat ini belum menerima uang saku, hanya diberikan akomodasi.

    12. Tahun pertama sebagai trainee (kenshusei), selama 11 bulan efektif pihak perusahaan memberikan kesempatan kepada para trainee untuk memperoleh informsi tambahan terkait dengan pekerjaan misalnya tentang keselamatan dan kesehatan kerja (3 K).

    13. Penyuluhan mengenai keselamatan dan kesehat kerja pada minggu pertama bulan Juli mengingat motto 3 K " Lalai satu detik akan mengakibatkan cacat seumur hidup ".

    14. Selama tahun pertama ini para trainee menerima uang saku (allowance) diterima bersih, sektor pertanian sekitar 60.000 yen, dan sektor industri rata-rata berkisar 80.000 yen perbulan.

    15. Pihak perusahaan berkewajiban menyediakan akomodasi bagi para trainee dan pembayaran allowance umumnya sekitar tanggal 25 setiap bulannya.

    16. Jam kerja satu hari adalah 8 jam (40 jam per minggu) umumnya dimulai dari pukul 08.00 pagi sampai dengan pukul 17.00 sore.

    17. Pekerjaan yang mereka lakukan berbeda dengan keinginan mereka sewaktu mengisi formulir jenis pekerjaan yang diinginkan pada saat in housing training di Indonesia.

    18. Program pelatihan yang diselenggarakan perusahaan penyalur hanya terbatas pada kursus bahasa Jepang.

    19. Ketidakpastian masa depan setelah kembali ke Indonesia, tenaga kerja yang dapat ditampung di perusahaan Jepang di Indonesia jumlahnya masih sangat terbatas. Selain itu, gaji yang ditawarkan perusahaan Jepang yang ada di Indonesia relatif rendah (walaupun sudah sesuai dengan standar gaji Indonesia) sehingga kurang menarik.

    20. Banyak diantara para trainee yang berkeinginan berwiraswasta setelah kembali ke Indonesia, tetapi sebagian besar dari mereka menyatakan kurang memperoleh informasi tentang bagaimana dan apa yang harus dilakukan untuk memulai usaha mereka dan tidak memiliki pengetahuan untuk merencanakan keuangan mereka.

    21. Sampai saat ini belum tampak lembaga keuangan yang menunjang keinginan mereka untuk berwiraswasta tersebut.

    Sumber: Merajut Masa Depan dari Negeri Sakura, WGTT.

Wednesday 24 December 2008

Mr. Saito Yasuyuki Sang Petani Inovatif dari Fukushima

Petani yang inovatif ini bernama Mr. Saito Yasuyuki, bertempat tinggal di kota Fukushima, Prefektur Fukushima. Pada salah satu green housenya, dia biasa menanam timun sayur. Kali ini Mr. Saito Yasuyuki mencoba menggunakan tanah yang telah ditreatment dengan Zeolit untuk menanam sayur Kyonatsu. Dia menjelaskan kepada kami yang datang bersilaturahim di tempat kediamannya. Kami dari Deptan, KBRI Tokyo perusahaan Nitto Funka Kogyo Co. Ltd. mengunjungi pertaniannya pada tanggal 24 Desember 2008. Menurutnya, sayuran Kyonatsu biasa dijadikan bahan untuk masakan Nabe, sayur-sayuran direbus bersama-sama jamur dan ikan. Dimakan mentahpun enak.

Petani ini pandai meyakinkan orang lain termasuk kami, Staf Khusus Menteri Pertanian Peningkatan Daya Saing dan Inovasi Pertanian Dr. Rudi Lumanto dan Kepala Biro Perencanaan Departemen Pertanian Dr. Mappaona yang didampingi Perusahaan Nitto Funka Kogyo Co. Ltd. Sayuran yang dia budidayakan merupakan sayuran tanpa menggunakan pestisida sehingga aman untuk dimakan mentah. Untuk meyakinkan dengan cekatan dia mencabut sayuran Konatsu dan memberikan contoh memakannya tanpa dicuci. Para tamupun mengikuti termasuk Bapak Mappaona seperti tampak pada Gambar samping. “Kono yasai wa oishii desu” (Sayuran ini enak), kata Bapak Kepala Biro menggunakan bahasa Jepang dengan fasih. Diraba dengan jari tekstur sayur ini memang terasa lembut, ketika dikunyah dilidah terasa lembut dan enak.

Petani ini percaya diri sehingga dapat menyampaikan pengalaman dan hasil penelitiannya dengan lancar kepada Pejabat dari Deptan RI, dengan gaya yang meyakinkan. Dia biasa menanam mentimun, kali ini dia mencoba menanam sayur Kyonatsu mengunakan tanah yang telah ditreatment dengan zeolit. Meskipun baru sekali tanam, menurut penilaian para tamu hasil panen sayurnya sangat bagus. Tetapi menurut petani inovatif ini masih perlu menunggu beberapa kali percobaan yang memakan waktu sekitar tiga tahun untuk memperoleh hasil panenan yang bermutu terbaik. Tampak pada gambar, Mr. Saito bersemangat menerangkan kepada kami dengan mimik muka dan gerakan tangannya yang atraktif.
Istrinya diaktifkan dalam mengelola pertaniannya, tampak dia sedang melakukan persiapan pembenihan. Dia merasa bangga dengan produk pertanian yang mereka hasilkan.
Penyemaian benih Kabocha (pumpkin) mereka berdua siapkan sendiri. Kabocha ini termasuk genus Cucurbita dan famili Cucurbitaceae, biasa digoreng dengan tepung menjadi tempura yang banyak disukai turis asing yang rasanya manis-gurih. Orang Jepang sendiri tentu juga suka dengan rasa kelezatan ini terutama setelah dicelupkan ke dalam kecap Jepun.



Penyemaian benih kyuri (mentimun Jepang) juga mereka siapkan sendiri. Dia bercerita pada suatu waktu, seorang ibu datang di kebun mentimunnya dengan anaknya yang masih sekolah di SD. Kata sang ibu tersebut kepada Mr. Saito "Saya mohon maaf ya Pak Saito, anak kami tidak suka makan sayur". Sejurus kemudian Pak Saito petani inovatif memetikan mentimun yang berukuran sedang, lalu diberikan kepada sang anak, dengan berkata: "Coba sedikit ..... saja ini timun istimewa". Setelah dimakan, sang anak berkata: " Kok ngasihnya sedikit, rasanya enak...". Si Ibu tersenyum simpul, dan Petani Inovatif meyakinkan bahwa sebagai petani dia berusaha untuk memproduksi hasil pertanian yang rasanya enak sehingga disukai oleh anak-anak yang tidak suka sayur. He... he...he...

Media penumbuh telah disiapkan untuk ditanami bibit yang sudah cukup umur.














Green house dilengkapi dengan pengatur temperature secara otomatis. Tampak tempatur dalam ruang pembenihan dipertahankan suhunya 30,8-35,4 derajat C.












Biasa menyiapkan pupuk kandang dan media penumbuh sendiri. Tampak Mr. Saito sedang memperlihatkan kepada kami media yang berbahan dasar dari zeolit.












Petani Inovatif melakukan pengujian mutu tanahnya sendiri. Tampak peralatan untuk mengecek kwalitas tanahnya berupa Kit Dr. Soil. Dengan alat ini petani dapat menguji kesuburan atau kandungan unsur hara tanah pertaniannya. Dia juga rajin mendiskusikannya hasil pengujiannya dengan dosen di Universitas Tehnik dan Pertanian Tokyo.






Melihat teladan petani Inovatif di Jepang ini, Bapak Rudi Lumanto dan Bapak Mappaona ingin segera melangkah ke depan mendorong Deptan menerbitkan buku tentang inovasi petani Indonesia dalam melakukan usaha taninya. Kemudian petani kita bina untuk selalu melakukan inovasi baru agar dapat bersaing dengan petani dari manca negara dalam menyediakan produk yang bermutu baik dan aman untuk dikonsumsi. Semoga di Indonesia dimasa mendatang akan semakin banyak petani inovatif seiring dengan program peningkatan pembangunan SDM bidang pertanian melalui pelatihan petani muda Indonesia di Jepang.

Tuesday 23 December 2008

Diet sarapan pagi dengan sebuah pisang

Di Negara Kesatuan Republik Indonesia banyak sekali menghasilkan pisang dengan berbagai jenis. Pisang Ambon sudah menjadi buah meja yang sering kita temui ada di rumah makan.

Sebuah pisang Ambon punya nilai gizi 3 kali sebuah apel sedang. Pisang mengandung sejumlah besar karbohidrat yang tidak dapat dilarutkan yang disebut Resistent Starch. Resistent starch mempunyai kemampuan merangsang pembakaran lemak. Pisang mengandung enzim yang dapat membantu mempercepat pencernaan dan dengan demikian mengurangi jumlah waktu yang diperlukan usus bekerja untuk mencerna makanan, sehingga lebih cocok dalam metabolisme penurunan berat badan. Pisang ditambah dengan air akan mempercepat atau menghilangkan gejala sembelit.

Karena keunggulan dari buah pisang tersbut dewasa ini masyarakat Jepang sedang ngetren diet sarapan pagi dengan satu buah pisang, sehingga terdapat kecenderungan kebutuhan pisang di Jepang meningkat. Bagi produsen pisang silahkan meningkatkan produksinya dan diekspor ke Jepang, kalau dari Indonesia tanpa bea masuk lho...

Bagi yang ingin menurunkan berat badan silahkan mencoba diet yang sedang populer ini sebagai berikut:


1. Sarapan pagi dengan satu buah pisang.
2. Makan siang dan malam seperti biasa, tetapi jangan sampai kenyang.
3. Cukup minum air putih dengan suhu kamar, tidak dingin dan tidak panas.
4. Kunyah makanan dengan sempurna dan nikmati rasanya.
5. Boleh makan makanan ringan pukul 3 sore tetapi jangan makan es krim, donut dan keripik kentang, serta jangan makan dessert ketika makan malam.
6. Tidurlah lebih awal, berhenti makan 4 jam sebelum tidur.
7. Berolah raga secukupnya, tidak dipaksakan.


Sumber: Morning Banana Diet

Saturday 20 December 2008

Tahun 2008 Indonesia swasembada Beras

Lebih dari 24 tahun menunggu, akhirnya swasembada beras tercapai juga. Swasembada tahun 2008 ini berbeda dibandingkan tahun 1984 karena swasembada kali ini tanpa sedikit pun dibarengi impor beras. Lain cerita pada 1984, di mana swasembada masih dibarengi dengan impor beras 414.300 ton. Mengapa kita bisa swasembada beras?

Pertanyaan ini penting diajukan sebagai refleksi sekaligus pijakan dalam upaya mempertahankan swasembada beras 2009 dan pada tahun-tahun yang akan datang.

Perlu diingatkan bahwa sejak munculnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, tidak ada lagi kemampuan pemerintah mengontrol budidaya pertanian. Petani bebas memilih komoditas apa yang akan mereka tanam tanpa ada tekanan atau paksaan untuk menanam komoditas tertentu yang diinginkan pemerintah.
Sejak itu, impor beras terus meningkat dan puncaknya tahun 1999, di mana impor beras mencapai 4,7 juta ton atau tertinggi sepanjang sejarah Indonesia. Melalui UU itu pula, era ”liberalisasi” budidaya pertanian dimulai karena tidak ada kendali pemerintah atas usaha tani. Satu-satunya faktor yang menjadi acuan petani memilih komoditas yang akan mereka tanam adalah faktor keuntungan.

Mudah diingat bahwa tahun 2007/2008 terjadi lonjakan harga komodita, baik di pasar domestik maupun internasional. Harga beras di Thailand bahkan melambung hingga 800 dollar AS per ton, beras Vietnam mencapai 600 dollar AS per ton. Begitu pula harga beras China, India, dan Pakistan melonjak. Lonjakan harga komoditas memicu ketakutan di antara negara-negara pengekspor beras.

China, India, dan Pakistan bahkan menghentikan ekspor sementara waktu. Akibatnya, suplai beras ke pasar dunia merosot. Melihat gejala buruk itu, Pemerintah Indonesia berkomitmen meningkatkan produksi tanaman pangan, di antaranya beras, jagung, dan kedelai.

Peningkatan produktivitas

Salah satu insentif yang diberikan pemerintah adalah menaikkan harga pembelian pemerintah untuk gabah dan beras, baik di tingkat petani maupun usaha penggilingan. Dengan begitu, diharapkan keuntungan petani meningkat dan muncul kegairahan untuk menanam padi. Luas tanam padi musim hujan periode Oktober 2007-Maret 2008 mencapai 7,86 juta hektar atau 3,4 persen di atas pencapaian luas tanam pada periode sama 2006/2007.

Ada beberapa faktor penting dalam mendukung peningkatan produktivitas, antara lain iklim kondusif, benih unggul, pupuk, suplai air, serangan hama penyakit, dan pengelolaan pascapanen.

Beberapa hal yang telah pemerintah lakukan sehingga swasembada beras tercapai adalah sebagai berikut:

1. Pemberian bantuan penggunaan benih varietas unggul menjadi salah satu pilihan melalui program Program Peningkatan Produksi Beras (P2BN),. Pada musim tanam 2008 pemerintah mengalokasikan bantuan benih padi dalam APBN sebanyak 37.500 ton dengan sasaran areal tanam 1,5 juta hektar. Disediakan juga bantuan benih dalam bentuk Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU), cadangan benih nasional, dan bantuan benih dalam bentuk subsidi harga kepada petani.

2. Peningkatan luas tanam padi hibrida ditingkatkan dengan memberikan bantuan benih hibrida sebanyak 1.285 ton dengan sasaran luas tanam 86.000 ton untuk tahun ini.

3. Perbaikan distribusi pupuk untuk mengurangi akibat kelangkaan suplai pupuk tahun 2007/2008. Dari 5,8 juta ton kebutuhan pupuk urea, pemerintah hanya mampu mengalokasikan 4,3 juta ton pada musim tanam tahun 2008.

4. Perbaikan system irigasi sehingga stabilitas suplai air cukup baik. Musim tanam padi Oktober 2007-September 2008 yang menjadi basis penghitungan produksi padi 2008 nyaris tanpa ada gangguan suplai air yang berarti.

5. Melakukan usaha perbaikan pasca panen. Musim panen 2008, Departemen Pertanian memperbaiki kualitas panen dengan memperkecil potensi kehilangan hasil. Deptan mengalokasikan dana Rp 80 miliar untuk meningkatkan kualitas gabah petani dalam program gerakan pengamanan pascapanen. Dana itu untuk pembelian peralatan pertanian pascapanen, pendampingan, dan pengawalan. Alat-alat itu berupa sabit bergerigi (103.000 buah), alat perontok padi manual (1.000), alat perontok padi mekanik (400), dan 40.000 terpal ukuran 8 meter x 8 meter.

6. Jaminan pasar oleh Perum Bulog semakin memantapkan petani untuk menanam padi. Peningkatan pembelian beras Bulog tahun 2007 yang mencapai 1,76 juta ton dan tahun 2008 sebanyak 3,1 juta ton. Hal ini membuat petani bersemangat untuk menanam padi. Maka dari itu untuk masa mendatang perlu diperhatikan jaminan pasar oleh Bulog untuk mendorong stabilisasi harga beras di tingkat petani, pada level yang stabil tinggi.

7. Pemerintah dapat melakukan penanggulangan hama dan penyakit. Pada musim tanam di musim hujan 2007/2008, ada serangan tikus, hama penggerak batang, tungro, kresek, dan blas yang terjadi pada 208.931 ha atau di atas serangan hama yang terjadi pada musim tanam di musim hujan 2006/2007 yang hanya 143.312 ha.

8. Bencana banjir 2007/2008 lebih banyak terjadi pada tanaman padi muda sehingga replanting bisa segera dilakukan dan luas lahan puso dapat diminimalkan. Data Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Deptan menunjukkan, bencana banjir dan kekeringan musim tanam Oktober 2007-Maret 2008 hanya merendam tanaman padi seluas 335.056 hektar. Bandingkan dengan musim tanam 2006/2007 yang mencapai 485.868 ha.

9. Untuk masa mendatang pemerintah harus melakukan pengendalian laju konversi lahan. Tanpa menghentikan itu, swasembada beras hanya akan berlangsung sesaat karena lahan untuk penanaman padi semakin menyempit sementara jumlah penduduk semakin besar. Sehingga impor beras menjadi tak terelakan lagi.

Sumber : Kompas Selasa, 16 Desember 2008

Lima Puluh Tahun Hubungan Indonesia-Jepang: Refleksi terhadap Implementasi ODA Jepang di Indonesia

Oleh: Asra Virgianita (Staf Pengajar Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI & Peneliti di Pusat Studi Jepang UI)

1. Pendahuluan

Tahun 2008 merupakan momen penting bagi hubungan Indonesia-Jepang, karena bertepatan dengan peringatan 50 tahun hubungan kedua negara. Tak dapat dipungkiri bahwa Jepang, melalui kebijakan bantuan luar negerinya khususnya Official Development Assistance (ODA), berperan penting dalam proses pembangunan di Indonesia. Begitupun sebaliknya, Indonesia sebagai salah satu negara tujuan investasi Jepang, negara penyedia minyak, gas bumi dan sumber daya alam telah menempatkannya sebagai negara yang berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi Jepang. Selain itu, sebagai salah satu negara yang berpenduduk cukup besar dan berpengaruh dalam bidang politik, ekonomi dan keamanan di kawasan Asia Tenggara, Indonesia mempunyai arti penting bagi Jepang dalam kerangka keamanan kawasan.

Lima puluh tahun hubungan Indonesia-Jepang bukan merupakan waktu yang singkat dan dilewati dengan mudah. Pasang surut juga mewarnai perjalanan hubungan kedua negara. Berkaitan dengan ODA, sejak tahun 1989 jumlah bantuan Jepang melebihi jumlah bantuan yang diberikan oleh Amerika Serikat yang notabene adalah negara super power. Jepang merupakan satu-satunya negara di Asia yang menjadi donor terbesar hingga saat ini. Walaupun demikian, sorotan terhadap ODA Jepang terus berlangsung, baik yang menyangkut kompleksitas administrasi/birokrasi, motif pemberian, trennya maupun berbagai kontroversi terhadap implementasi ODA Jepang baik di tingkat domestik maupun internasional. Sebagai salah satu negara penerima ODA Jepang terbesar, praktek ODA Jepang di Indonesia cukup banyak mendapatkan sorotan.

Berkaitan dengan hal tersebut, tulisan ini bermaksud menganalisa implementasi kebijakan ODA Jepang ke Indonesia, dengan memfokuskan pada distribusi bantuan ODA Jepang di Indonesia berdasarkan tipe dan sektor dengan membagi analisa pada dua pokok bahasan yaitu implementasi ODA di masa pemerintahan Soeharto dan setelah jatuhnya Soeharto. Tulisan ini diharapkan akan memberikan pemahaman tentang bagaimana kebijakan ODA Jepang di Indonesia, bagaimana respon, perubahan atau penyesuaian dalam menghadapi gejolak perubahan di tingkat domestik baik di Indonesia maupun Jepang, dan kondisi global.

2. Perspektif Bantuan Luar Negeri dan ODA Jepang

The Development Assistance Committee (DAC) mendefinisikan bantuan luar negeri sebagai aliran dana yang diberikan oleh negara maju kepada negara berkembang untuk membantu mengurangi keterbatasan dalam melakukan pembangunan. Keterbatasan tersebut mencakup keterbatasan keahlian (skill limitation), keterbatasan tabungan (saving limitation) dan keterbatasan dalam nilai tukar mata uang asing/keterbatasan pada cadangan devisa (foreign exchange limitation).[i] Dengan membantu mengurangi keterbatasan tersebut melalui aliran dana, negara penerima bantuan diharapkan dapat melakukan pembangunan ekonomi yang maksimal. Poin ini memberikan justifikasi bagi negara maju untuk memainkan peran dalam pembangunan negara berkembang melalui kebijakan bantuan luar negeri (foreign aid policy).

Fenomena bantuan luar negeri banyak dianalisis dari berbagai sudut pandang. Kaum idealis melihat secara positif bahwa bantuan luar negeri merupakan suatu keharusan bagi negara-negara maju untuk membantu pembangunan di negara-negara berkembang dan terbelakang. Di sisi lain, kaum realis melihatnya secara sinis bahwa bantuan luar negeri merupakan suatu implementasi dari national interest negara donor, atau dengan kata lain sebagai alat bagi negara donor untuk mencapai tujuan ekonomi dan politik. Sementara itu kaum strukturalis memandang bahwa bantuan luar negeri sebagai a tool of control untuk menjaga hubungan sosial dan politik yang tidak seimbang antara negara donor dan negara penerima bantuan.

Implementasi ODA Jepang juga tidak luput dari kritik. David Arase memaparkan bahwa Jepang menggunakan ODA sebagai alat buying power atau membeli kekuasaan. Arase juga menggunakan istilah asli di Jepang untuk menyebut ODA yaitu keizai kyouryoku (kerjasama ekonomi), untuk memperlihatkan bahwa Jepang tidak melihat ODA sebagai bantuan (aid/assistance), tapi merupakan kerjasama ekonomi yang sarat dengan kepentingan bisnis dan ekonomi Jepang.[ii] Sementara itu, Sudarsono Harjosoekarto menyimpulkan bahwa ODA, investasi dan perdagangan merupakan komponen penting pembentuk hubungan ekonomi yang asimetris antara Jepang dan Indonesia. Hal ini dikarenakan ketergantungan Indonesia kepada Jepang lebih besar daripada ketergantungan Jepang kepada Indonesia. Hubungan asimetris tersebut dicirikan oleh status Jepang sebagai donor ODA terbesar di Indonesia, Jepang sebagai pasar utama bagi ekspor Indonesia, serta Jepang sebagai sumber investasi asing dan teknologi yang penting bagi Indonesia.[iii]

Berbeda dengan Sudarsono, Thee Kian Wie melihat interaksi antara bantuan dengan investasi asing dari Jepang dapat membantu terlaksananya proyek-proyek pembangunan yang penting bagi Indonesia. Selain itu program pinjaman yang dianggarkan oleh Overseas Economic Cooperation Fund (telah berganti nama menjadi Japan Bank for International Cooperationa/JBIC) dialokasikan juga untuk membantu pembiayaan bagi sektor swasta Jepang yang akan berinvestasi pada proyek pembangunan yang penting bagi Indonesia.[iv] Sedangkan dalam hal kerjasama teknis dan hibah, melalui institusi yang dinamakan JICA (Japan International Cooperation Agency), selain menyediakan pinjaman berbunga rendah, JICA juga menyediakan bantuan pelaksanaan survey dan konsultasi teknis bagi sektor swasta yang akan menanamkan inverstasinya di Indonesia. Bagi Thee, program-program tersebut pada akhirnya membantu kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia yang berusaha menarik investor-investor asing dalam rangka mengembangkan industri berorientasi ekspor.

Hampir senada dengan Thee, Ohno juga menggambarkan secara positif kebijakan ODA Jepang. Menurut Ohno, ada dua faktor historis yang membuat visi bantuan dan pembangunan Jepang berbeda dengan negara donor lainnya, yaitu, pertama, Jepang merupakan satu-satunya negara donor yang non barat dengan sejarah kesuksesan industrialisasi. Jepang berhasil mengatasi kehancuran setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II dengan menguatkan manufacturing base yang berkontribusi dalam perdagangan dan investasi yang kemudian mampu mendorong pembangunan dan mengurangi kemiskinan.

Kedua, keputusan Jepang setelah perang untuk menolak penggunaan kekuatan militer menekan ODA berperan sebagai alat diplomasi.[v] Jepang juga mempunyai keunikan dalam pembagian distribusi ODA yang besar, yaitu berupa pinjaman. Hal ini didasari argumen bahwa loan aid dapat memobilisasi sumber daya yang lebih besar seperti membiayai proyek infrastruktur yang berskala besar. Di saat bersamaan, dituntut juga kedisiplinan negara penerima dalam mengatur kemampuan hutang (debt management capacity) dan tanggung jawab donor untuk menjamin keberlanjutan proyek yang dijalankan. Lingkup waktu dari hubungan donor-resipien relatif lebih lama di bawah skema loan aid, yang menuntut pembagian tanggung jawab negara donor-resipien.[vi]
Selain itu di antara berbagai negara donor di dunia, ODA Jepang memiliki paling tidak 2 kekhasan, yaitu menganut prinsip sel help effort dan small government.[vii]

1. Self Help Effort

Prinsip ini dapat dikatakan merupakan karakter paling penting yang dimiliki oleh ODA Jepang. Kemunculan asas ini didasarkan pengalaman Jepang dalam membangun perekonomiannya dengan penerapan asas self help. Adapun yang dimaksud dengan asas self help adalah pemberian bantuan atas permintaan negara resipien (request based aid), dan tidak ada unsur politik (conditionality). Akan tetapi mengingat bahwa bantuan luar negeri juga dipandang sebagai alat untuk mencapai kepentingan negara donor, pelaksanaan request based aid sesungguhnya perlu dipertanyakan, apakah benar-benar telah dilaksanakan berdasarkan kebutuhan negara penerima bantuan. Kasus pembangunan waduk di Kedung Ombo, Jawa Tengah tahun 1985-1989[viii] dan proyek bendungan di Koto Panjang, Padang[ix] yang di danai oleh ODA Jepang dan selesai dibangun pada tahun 1997, merupakan dua contoh kasus yang dipandang lebih bernuansa bisnis yang sarat dengan praktek korupsi, ketimbang mementingkan kebutuhan negara penerima bantuan.

Terkait dengan penerapan conditionality dalam pemberian bantuan, tidak seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat yang sangat kental dengan political aid conditionality[x], Jepang termasuk negara yang dalam pelaksanaan ODA tidak memberlakukan prasyarat atau kondisi-kondisi tertentu (non conditionality). Hal ini seringkali menuai kritik, karena Jepang dianggap tidak serius dalam menerapkan ODA Charter tahun 1992, dengan jelas menyebutkan bahwa ODA Jepang akan mempertimbangkan pelaksanaan hak asasi manusia (HAM) di negara penerima bantuan. Seperti pada peristiwa Dili tahun 1991, sementara negara donor lainnya seperti AS mengancam akan menghentikan bantuannya ke Indonesia, Jepang malahan meningkatkan bantuannya pada tahun berikutnya.

2. Small Government

Small government yang dimaksud disini adalah kecilnya persentase dana yang disediakan oleh pemerintah Jepang untuk pelaksanaan ODA yaitu hanya 0,35% dari pendapatan pemerintah. Hal ini berarti pendapatan pemerintah bukan merupakan sumber utama ODA Jepang. Sebagian besar dana ODA berasal dari pajak, dana pensiun dan tabungan pos. Dana-dana masyarakat ini dipinjam oleh pemerintah dengan bunga rendah, dan karena itu harus dikembalikan kepada masyarakat. Hal ini membawa konsekuensi tidak adanya praktek pemutihan utang dalam konsep ODA. Selain itu konsekuensi lain adalah komposisi ODA Jepang untuk proyek-proyek komersial jauh lebih besar daripada proyek-proyek sosial, hal ini dikarenakan proyek-proyek komersial dapat memberikan imbalan dengan cepat.[xi]

Dalam pendistirbusiannya, ODA terdiri dari beberapa bentuk/tipe yaitu hibah (grants) dan pinjaman (loan). Hibah merupakan bentuk bantuan yang tidak harus dikembalikan atau tidak dikenakan bunga pembayaran), terdiri dari bantuan hibah (grant aid), kerjasama teknis (technical cooperation), dan kontribusi ke institusi international. Sedangkan pinjaman adalah bentuk bantuan yang mensyaratkan pengembalian dengan bunga dalam jangka waktu tertentu.[xii]

Dalam menganalisa performa ODA, Nishigaki menyarankan pengukuran dilakukan dengan memperhatikan beberapa elemen yaitu:[xiii]

1. Performa kuantitatif, dengan menganalisa kuantitas ODA yang disalurkan dari waktu ke waktu (dinamika aliran dana ODA yang dialirkan dari negara donor ke negara penerima).

2. Performa kualitatif.; melakukan perbandingan proporsi ODA berbentuk hibah dengan ODA berbentuk pinjaman dari total dana ODA yang disalurkan. Semakin besar proporsi hibah dibandingkan pinjaman, maka makin tinggi kualitas bantuan tersebut. Pengukuran ini, seringkali terlihat sebagai suatu pengukuran yang sederhana yaitu hanya melakukan perbandingan antara jumlah pinjaman dan hibah yang diberikan, tanpa mengeksplorasi proses dan dampak proyek yang dibiayai dengan pinjaman dan hibah. Akan tetapi, pengukuran seperti ini minimal bisa memberikan gambaran tentang karakter negara donor.

3. Keterikatan bantuan; hal ini dikaitkan dengan penetapan persyaratan yang dilakukan negara donor kepada negara penerima, apakah negara donor mewajibkan penerima ODA untuk mengimpor barang dan jasa dari negara donor (tied aid) atau bisa dibeli dari negara donor maupun negara berkembang lainnya (partially untied) atau membebaskan negara penerima donor membeli barang dan jasa dari negara manapun.

4. Distribusi geografis; meninjau distribusi ODA di berbagai wilayah,
sehingga dapat terlihat kawasan-kawasan yang mendapatkan porsi ODA terbesar, sedang, kecil atau tidak sama sekali. Khusus untuk ukuran ini, penulis melihat bahwa ukuran ini agak sulit diberlakukan dalam implementasi ODA Jepang, khususnya di Indonesia mengingat ODA Jepang dapat dikatakan tidak memiliki preferensi geografis. Preferensi ODA Jepang lebih pada kepentingan ekonomi, yaitu di mana ada peluang bisnis di situlah investasi akan ditanamkan.

5. Distribusi sektoral; meninjau distribusi ODA di negara penerima dengan melihat sektor-sektor (sosial, ekonomi, produksi, dan sebagainya) yang menjadi fokus penyaluran ODA suatu negara. Semakin besar nilai dan persentase ODA di suatu sektor, maka negara donor tersebut dapat disimpulkan menfokuskan bantuannya dan memiliki interest pada sektor tersebut.

3. Implementasi ODA Jepang ke Indonesia

3.1 Masa Pemerintahan Soeharto (1967-1998)

Dalam kebijakan pemerintahan Soeharto, ODA ditempatkan sebagai salah satu sumber dana yang penting dalam APBN. Kontribusi ODA mencapai seperlima dari jumlah total pendapatan negara, dan Jepang tercatat sebagai pemberi bantuan terbesar bagi Indonesia dengan mengalokasikan 16% dari total ODA Jepang ke Indonesia. Sejak tahun 1987, Indonesia termasuk negara terbesar yang menyerap ODA Jepang.[xiv]. Diperlihatkan pasang surut ODA Jepang di Indonesia sejak tahun 1967-1998.

Distribusi ODA Jepang ke Indonesia diawali pada tahun 1967, ketika pemerintahan Soeharto menerima ODA Jepang dalam bentuk pinjaman sebesar 10,80 milyar yen. Jumlah ini kemudian terus bertambah secara signifikan dari tahun ke tahun. Jika dilihat dari data pada Tabel 1, secara keseluruhan proporsi pinjaman selalu mendominasi implementasi ODA Jepang ke Indonesia pada periode tersebut. Sementara kerjasama teknis dan hibah secara bergantian menempati prioritas kedua dan ketiga dalam pendistribusian ODA Jepang. Bahkan tercatat pada tahun 1974, porsi pinjaman mencapai 97% dari total ODA Jepang yang disalurkan ke Indonesia, sementara hibah sama sekali tidak mendapatkan porsi. Hal ini kemudian direspon oleh masyarakat anti Jepang dengan melakukan protes atas kebijakan tersebut. Pemerintah Jepang merespon protes tersebut dengan mengeluarkan doktrin Fukuda, yang diluncurkan oleh PM Takeo Fukuda. Doktrin Fukuda berisi inisiatif untuk mempererat hubungan antara Jepang dan negara-negara ASEAN.[xv] Pada tahun berikutnya ODA Jepang kemudian mengalami peningkatan yang signifikan, akan tetapi peningkatan tersebut tetap didominasi pinjaman yang mendapat alokasi 91% dari total bantuan di tahun 1978.

Di tahun 1980, pemerintah Jepang memperkenalkan konsep comperehensive security policy (sogo anzen housho), yang menekankan penggunaan bantuan ekonomi sebagai alat untuk menjamin keamanan Jepang. Konsep ini semakin memperjelas fungsi dan motif ODA bagi Jepang, dan tentu saja membawa dampak pada pelaksanaannya. Periode ini kemudian ditandai dengan semakin besarnya ODA Jepang yang diarahkan ke negara-negara Asia Timur dan Tenggara. Periode ini dapat dikatakan sebagai periode perluasan kepentingan ekonomi Jepang. Tidak hanya itu, secara politik, bantuan ekonomi Jepang pada periode ini juga ditujukan untuk membangun citra Jepang sebagai negara yang bersahabat.

Di awal tahun 1990, seiring dengan berakhirnya perang dingin dengan kekalahan pada blok komunis, Amerika Serikat (AS) kemudian menjadikan isu demokrasi sebagai kunci kebijakan luar negerinya dan negara-negara sekutunya, termasuk dalam penyaluran ODA. Political conditionality menjadi prasyarat bagi negara-negara dalam menyalurkan bantuannya ke negara-negara berkembang, termasuk di dalamnya adalah terlaksananya prinsip demokrasi, good governance dan hak asasi manusia. Jepang sebagai salah satu negara sekutu AS, mau tidak mau harus mengikuti kebijakan tersebut, yaitu dengan merumuskan ODA Charter tahun 1992 yang menyebutkan ”Full attention should be paid to efforts for promoting democratization and introduction of a market oriented economy and the situation regarding the scuring of basic human rights and freedom in the recipient countries.”[xvi] ODA Charter 1992 kemudian ditindaklanjuti oleh Pemerintah Jepang dengan mengumumkan The Partnership for Democratic Development (PPD) pada bulan Juni 1996. Tujuan inisiatif tersebut adalah membantu negara resipien untuk mengembangkan berbagai aspek yang mendukung demokratisasi seperti pengembangan sistem hukum dan pemilu serta pengembangan kapasitas sumber daya manusia. Dengan PPD ini, pemerintah Jepang telah meluaskan bantuan keuangan dan teknis ke beberapa negara yaitu Kamboja, Filipina, Vietnam, Uzbekistan, Pakistan, Polandia, El Savador dan Korea Selatan. [xvii]

Akan tetapi perumusan Piagam ODA dan keterlibatan Jepang dalam PPD kelihatannya tidak memberikan dampak pada distribusi ODA Jepang di Indonesia. Ditunjukkan kegiatan-kegiatan pada sektor public works and utilities mendapatkan jumlah proyek yang lebih besar (54,12% dari total proyek) untuk bantuan dalam bentuk pinjaman pada tahun 1993-1998, daripada sektor-sektor lain, seperti kesehatan masyarakat (0% dari total proyek), pengembangan sumber daya manusia (9% dari total proyek), sektor jasa sosial (4% dari total proyek) dan 0,91% untuk program jaringan pengaman sosial.

Sementara itu untuk hibah, sektor pengembangan sumber daya manusia menempati prioritas keempat berdasarkan total hibah yang diberikan. Akan tetapi, bila dilihat dari jumlah proyek, sektor tersebut mendapatkan jumlah proyek terbesar dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Walaupun demikian, hal ini tidak berarti bahwa sektor tersebut telah menjadi prioritas, karena dibandingkan dengan jumlah anggaran untuk sektor energy, public works and utilities, dan mining and industry, sektor-sektor tersebut tetap menjadi tujuan utama dana hibah ini. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam implementasinya, ODA Jepang tidak mengalami perubahan signifikan dalam pengalokasian anggarannya. Sektor-sektor non komersial, seperti pengembangan sumber daya manusia, sektor sosial menduduki prioritas lebih rendah daripada sektor-sektor komersial.

Inisiatif untuk memprioritaskan bantuan pada kegiatan-kegiatan yang mendukung pembangunan sosial & politik lebih dipengaruhi oleh faktor perkembangan dunia international, daripada keinginan pemerintah Jepang sendiri. Kebijakan yang dibuat seolah-olah hanya untuk mendapatkan pengakuan internasional, tanpa menformulasikan program yang lebih jelas untuk pengimplementasiannya. Selain itu faktor domestik dalam negeri Indonesia ikut memberikan andil mengingat pemerintahan Soeharto saat itu tidak memberikan ruang bagi pembangunan politik, dan hanya menfokuskan kebijakannya pada pembangunan ekonomi yang bertumpu pada indutrialisasi.

Dalam hal distribusi geografis bantuan, Pulau Jawa menempati posisi pertama dengan 39% proyek pinjaman. Sementara itu, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Irian Jaya dan Maluku mendapatkan porsi 18,6%; 5,9%, 4,9% dan 0,1%. Bahkan Nusa Tenggara tercatat tidak mendapatkan dana pinjaman ODA Jepang.[xviii] Penyebaran georafis ODA Jepang ini didukung oleh kebijakan pembangunan Pemerintahan Soeharto yang memusatkan pembangunan di Pulau Jawa dan Sumatera. Terkait dengan status keterikatan bantuan, tercatat bahwa pada periode awal penyaluran bantuan, persentase pinjaman terikat cukup tinggi yaitu 71,35% dibandingkan dengan bentuk pinjaman mengikat sebagian dan pinjaman yang tidak mengikat sama sekali. Akan tetapi, kondisi ini terus mengalami perubahan, hingga pada periode 1982-1998 jumlah pinjaman yang tidak mengikat mencapai nilai 99,8%.[xix]

Peiode ini kemudian diakhiri dengan jatuhnya pemerintahan Soeharto yang didahului dengan terjadinya krisis keuangan di Asia pada pertengahan tahun 1997. Indonesia, dalam mengatasi krisis keuangan, mendapatkan bantuan dari berbagai pihak terutama Jepang. Ada dua alasan yang bisa menjelaskan hal tersebut, pertama, Jepang mempunyai investasi yang cukup besar di Indonesia. Pemerintah Jepang khawatir situasi ekonomi yang tidak terkendali akan menimbulkan ketidakstabilan politik yang bisa menimbulkan chaos. Hal ini tentu saja akan memberikan dampak pada berbagai kegiatan investasi/usaha ekonomi Jepang di Indonesia. Oleh karena itu, Jepang sangat aktif membantu dan mempertahankan kestabilan ekonomi di Indonesia saat itu. Alasan kedua adalah, pemerintah Jepang ingin menunjukkan tanggung jawab dan partisipasi aktif sebagai komunitas internasional dalam menanggulangi masalah regional/global (international responsibility).

3.2. Periode Pasca Soeharto

Jatuhnya Soeharto, membawa perubahan cukup besar dalam sistem perpolitikan Indonesia. Tekanan agar pemerintah Indonesia segera melakukan reformasi politik dan ekonomi gencar dilakukan oleh masyarakat domestik dan internasional. Hal ini juga turut mempengaruhi kebijakan ODA Jepang setelah jatuhnya Soeharto. Secara umum tren ODA Jepang tahun 1997.

Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kondisi domestik maupun internasional. Misalnya tahun 1998-2000, jumlah ODA Jepang yang disalurkan cukup signifikan yaitu 0,35% dari ODA per GNP. Hal ini sebagai dampak diberikannya bantuan untuk economic recovery setelah krisis ekonomi mengguncang Asia. Kemudian tahun berikutnya sampai tahun 2004 terjadi penurunan, karena perekonomian Jepang yang tidak cukup baik perkembangannya, dan pada tahun 2005 meningkat kembali, karena perekonomian mulai membaik dan kelihatannya hal tersebut juga merupakan upaya menghadapi pengaruh pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina. Pemerintah Jepang khawatir bahwa pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina, akan meningkatkan pengaruh politik Cina terutama di kawasan Asia.

Selain itu dalam periode ini juga terjadi peristiwa besar yaitu serangan di World Trade Center, Amerika Serikat, pada tanggal 11 September 2001, yang telah memaksa Jepang untuk melakukan revisi ulang ODA Charter 1992. Poin penting yang ditambahkan dalam revisi ini adalah penekanan pada peace settlement. Serangan 11 September 2001 ini telah menjadi jalan justifikasi bagi Pemerintahan Koizumi saat itu untuk mengikuti kebijakan Amerika menangani masalah terorisme dengan mengirimkan militer Jepang ke luar negeri seperti yang terjadi di Irak dan Afgahanistan. Berkaitan dengan hal tersebut, Prof Murai menekankan agar Pemerintah Jepang berhati-hati dalam menggunakan ODA untuk “peace settlement” karena hal tersebut sangat mudah dicampuradukkan dengan tujuan militer.[xx] Khusus untuk Indonesia, peristiwa serangan tersebut semakin menempatkan Indonesia pada posisi kunci bagi Jepang mengingat Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Indonesia diharapkan dapat memainkan peran dalam membantu menangani masalah terorisme ini, yang diyakini oleh kalangan dunia barat dilakukan oleh para penganut Islam radikal.

Mengacu pada data Tabel 4, pada tahun 1999-2002 ODA Jepang di Indonesia menurun secara signifikan sebagai dampak dari memburuknya perekonomian Jepang, dan mulai difokuskannya ODA Jepang ke wilayah lain seperti Afrika dan Timur Tengah. Hal ini juga seiring dengan menurunnya jumlah investasi Jepang ke Indonesia pasca krisis ekonomi. Indonesia yang pada masa sebelum krisis ekonomi menduduki peringkat pertama negara tujuan investasi Jepang di kawasan Asia Tenggara, maka setelah krisis ekonomi & politik, Indonesia hanya berada pada posisi ketiga negara tujuan investasi Jepang, dengan mendapatkan porsi 21%.

Yang menarik pada periode ini adalah, pada tahun 1999 Jepang memberikan bantuan di bidang politik yaitu bantuan untuk melaksanakan Pemilu, baik dengan memberikan bantuan kepada pemerintah Indonesia maupun ikut serta mengirimkan pemantau pemilu internasional. Hal ini merupakan yang pertama dalam sejarah ODA Jepang di Indonesia. Akan tetapi perlu dicatat bahwa pada saat Pemilu 1999, Jepang adalah negara yang termasuk lambat memberikan respon atas permintaan dukungan Indonesia untuk menyelenggarakan Pemilu. Alasan yang dikemukakan adalah saat itu Pemerintah Jepang sedang mencari dan merumuskan skema dana yang harus digunakan karena sebelumnya tidak ada alokasi dana untuk bantuan pelaksanaan Pemilu di Indonesia.Walau terkesan agak lambat dalam merespon tuntutan reformasi politik di Indonesia, Pemerintah Jepang mulai aktif melakukan kegiatan-kegiatan yang mendukung demokratisasi seperti melibatkan NGO sebagai partner.
Selain itu, dalam Country Assistance Strategy for Indonesia tahun 2004, pemerintah Jepang juga dengan nyata menempatkan penciptaan masyarakat yang demokratis dan adil (“creation of a democratic and equitable society”) sebagai pilar kedua dalam prioritas area bantuan.Adapun kegiatan yang didesain sebagai bagian dari pilar kedua tersebut adalah pengentasan kemiskinan dengan menciptakan lapangan kerja melalui pembangunan pertanian dan perikanan, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan, meningkatkan jasa publik di bidang pendidikan, kesehatan dan obat-obatan; reformasi pemerintah di bidang hukum (judiciary), polisi (police service), bantuan untuk desentralisasi; serta pemeliharaan lingkungan dan pencegahan bencana. Tidak adanya pergeseran yang signifikan dalam komposisi bantuan berdasarkan bentuk/tipenya. Dari data tersebut, terlihat porsi pinjaman tetap menempati prioritas utama bentuk bantuan Jepang ke Indonesia. Walaupun mengalami penurunan sebesar kurang lebih 9-10% dari periode sebelumnya, porsi pinjaman tetap mendominasi implementasi ODA Jepang ke Indonesia dengan mengarahkan 80% dari total proyek pada sektor public works and utilities, sementara sektor sosial hanya mendapatkan 10% dari total proyek. Dibandingkan dengan negara Amerika latin seperti Mexico yang memberikan porsi 39,3% proyek di sektor tersebut, Peru 35,6% dan Brazil 29,1%, maka Indonesia termasuk negara yang memberikan porsi lebih kecil (8,3%) untuk sektor sosial. Begitupun bila dibandingkan dengan negara di ASEAN seperti Malaysia, Thailand yang memberikan porsi 20% dan 10,3% di sektor yang sama.

Sementara itu dalam hal distribusi geografis, walaupun sampai saat ini masih banyak proyek-proyek yang dipusatkan di Pulau Jawa, terlihat adanya pergeseran dalam pengalokasian proyek berdasarkan wilayah. Inisiatif untuk melaksanakan proyek di beberapa daerah Indonesia bagian timur seperti proyek dengan Pemerintah Sulawesi Selatan dalam rangka mendukung terlaksananya otonomi daerah dapat dinilai sebagai langkah positif ODA Jepang dalam upaya melakukan penyebaran/pemerataan proyek pembangunan, dan dalam merespon perkembangan domestik Indonesia.

4. Kesimpulan

Secara keseluruhan performa ODA Jepang di Indonesia dapat dinilai secara positif dan negatif. Dalam hal performa kuantitiatif terjadi penyaluran dana yang berkesinambungan setiap tahun, akan tetapi komposisi pinjaman yang mencapai 80%-90% di kedua periode yang telah dibahas, menunjukkan performa kualitatif ODA Jepang di Indonesia masih rendah. Hal ini sekaligus menunjukkan besarnya pinjaman dan ketergantungan Indonesia kepada Jepang. Dalam hal distribusi sektoral, implementasi ODA Jepang di kedua periode belum menunjukkan perubahan yang berarti, dimana masih terfokusnya bantuan pada sektor infrastruktur, dan minimnya alokasi dana ODA Jepang pada sektor-sektor pengembangan sosial dan politik. Sektor-sektor komersial tetap menjadi tujuan utama ODA Jepang. Hal ini bisa dipahami mengingat dua karakter yang dimiliki oleh ODA Jepang yaitu self help effort dan small government, yang konsekuensinya menuntut Pemerintah Jepang memberikan alokasi dana yang lebih besar pada proyek-proyek komersial. Mengingat kondisi Indonesia pada sektor-sektor sosial masih lemah, misalnya tingkat pendidikan di Indonesia masih rendah, angka kemiskinan dan tingkat pengangguran masih tinggi, diperlukan upaya untuk membantu pembangunan sektor tersebut. Jepang dapat berperan membantu pembangunan sektor sosial melalui peningkatan alokasi dana ODA untuk proyek pengembangan sumber daya manusia baik melalui pelatihan di dalam/luar negeri maupun upaya penciptaan lapangan kerja serta kegiatan-kegiatan yang melibatkan masyarakat yang harus segera diwujudkan termasuk melibatkan civil society/NGOs dalam berbagai program.

Implementasi ODA Jepang pasca Soeharto mulai menunjukkan perubahan seiring dengan terjadinya perubahan situasi sosial, ekonomi dan politik. Selain itu beberapa peristiwa bencana alam yang melanda Indonesia beberapa tahun belakangan ini seperti di Aceh, Yogya dan Jawa Tengah, menempatkan Jepang sebagai negara pemberi bantuan terbesar dalam membantu menangani akibat bencana tersebut. Di bidang politik, Jepang terlihat mulai menformulasikan berbagai kegiatan/program yang mendukung terwujudnya masyarakat Indonesia yang demokratis dan makmur, seperti bantuan untuk pelaksanaan pemilu, desentralisasi, reformasi pemerintahan, dan berbagai kegiatan lainnya. Akan tetapi apabila dicermati dari pembahasan di atas, Jepang terkesan sangat hati-hati dalam mengimplementasikan proyek pembangunan di bidang politik (demokratisasi).

Kepercayaan bahwa pembangunan masyarakat yang demokratis akan menuntut ketidakstabilan politik, merupakan salah satu alasan mengapa Jepang terlihat lambat merespon tuntutan demokratisasi atau reformasi politik di Indonesia. Mengingat besarnya investasi Jepang di Indonesia, ketidakstabilan politik tentu tidak dikehendaki oleh Jepang. Alasan lain adalah Jepang menjadikan aid policy sebagai alat untuk mencapai kepentingan ekonominya dan memberikannya tanpa memberlakukan conditionality. Mengingat conditinality dapat dinilai sebagai salah satu bentuk intervensi negara donor terhadap negara penerima bantuan, kebijakan bantuan Jepang yang terfokus pada kerjasama ekonomi daripada menekankan kepentingan politik, memiliki aspek positif . Hal ini menjadikan ODA Jepang berbeda dengan bantuan dari negara donor lainnya seperti Amerika Serikat dan Perancis yang menggunakan bantuannya untuk ”mempromosikan” apa yang mereka anggap dan pahami sebagai nilai-nilai kebebasan dan demokrasi yang universal.

Selain itu, secara positif dapat dikatakan pula bahwa besarnya bantuan ODA Jepang di Indonesia menunjukkan kepercayaan Jepang kepada Indonesia dan sekaligus mengindikasikan nilai strategis Indonesia baik di bidang ekonomi maupun keamanan bagi Jepang. Hal ini menandakan bahwa hubungan yang terjalin antara Indonesia dan Jepang adalah hubungan yang saling membutuhkan dan saling mengisi. Akan tetapi mengingat Jepang sebagai negara pemberi donor terbesar di Indonesia, sebagai pasar utama bagi ekspor Indonesia, serta sumber utama investasi asing dan pembangunan teknologi, maka hubungan antara kedua negara ini mengindikasikan hubungan interdependensi yang asimetris. Walaupun demikian, kekhawatiran bahwa suatu saat pemerintah Jepang akan dapat melakukan intervensi kebijakan ekonomi, politk, dan keamanan terhadap pemerintahan Indonesia akibat ketergantungan Indonesia kepada ODA Jepang, merupakan kehawatiran yang agak berlebihan. Jepang dalam aid policy-nya telah menekankan penggunaan prinsip non conditionality. Di satu sisi, pemerintah Indonesia harus berupaya menjaga dan menaikkan posisi tawar dengan Jepang (termasuk dengan negara donor lainnya) untuk menggeser hubungan interdependensi yang asimetris ini menjadi hubungan simetris. Salah satunya dengan pemanfaatan dana ODA Jepang (plus bantuan luar negeri lainya) seefisien mungkin, dan digunakan untuk mendukung sektor-sektor yang menjadi tujuan utama pembangunan Indonesia. Pemerintah Indonesia harus terus menerus mengupayakan perbaikan pengelolaan dan pemanfaatan ODA Jepang dan bantuan luar negeri lainnya, baik perbaikan pada aspek kebijakan, kelembagaan maupun sumber daya manusia. Terjaganya kredibilitas Indonesia di mata negara donor termasuk Jepang akan menaikkan posisi tawar Indonesia. Dengan demikian, hubungan saling membutuhkan dan saling mengisi yang sudah terjalin selama 50 tahun antara Indonesia dan Jepang akan menjadi landasan kuat bagi tercapainya kemitraan strategis (strategic partnership) yang nyata .


________________________________________
[i] Akira, Nishigaki & Shimomura Yasutami. 1998. The Economis of Development Assistance: Japan's ODA in a Symbiotic World, Tokyo: LTCB International Library Foundation, 85-86, dalam Purnamasari, Mesi. 2004. ODA Jepang di Indonesia dalam Konteks Hubungan Jepang-Asia Tenggara. Skripsi Departemen HI, FISIP Universitas Indonesia, 17.
[ii] Arase, David. 1995. Buying Power: The Political Economy of Japan's Foreign Aid, London: Lynne Rienner Publishers., dalam Setianingtyas, Anastasia Nicola Ayu. 2006. Interaksi antar Aktor dalam Penyelenggaraan ODA Jepang: Studi Kasus Proyek Kotopanjang di Indonesia Periode 1979-2004. Skripsi Departemen HI FISIP Universitas Indonesia, 2006, 11.
[iii] Sudarsono Harjosoekarto, 1993. Japan's Role in Indonesia Development. The Indonesian Quarterly, Vol. XXI, No.4, 4th Quarter, 1993, 410, lihat Purnamasar, Op.cit.,15.
[iv] Wie, Thee Kian. 1994. Interactions of Japanese Aid and Direct Investment in Indonesia. ASEAN Economic Bulletin, Vol. II/No.1, July, 25-33, lihat Purnamasari, Ibid.
[v] Setelah serangan 11 September 2001, kemudian terjadi penyerangan ke Afghanistan dan Irak yang dilakukan oleh Amerika Serikat, dimana Pemerintah Jepang memberikan dukungan terhadap serangan tersebut dan mengalokasikan dana ODA sebagai salah satu sumber dana operasional. ODA Jepang dikritik baik oleh masyarakat Jepang sendiri maupun internasional karena Jepang dianggap telah menggunakan ODA tidak hanya untuk kepentingan bisnis tetapi juga telah berperan di bidang militer, lihat http://www.kotopan.jp/Eng.html
[vi] Ohno, Izumi. 2003. Japan’s ODA at a Crossroads: Striving for A New Vision. Japan Economic Current, No. 31, April, 4-7.
[vii] Lihat Setianingtyas, Op.Cit.,48-60.
[viii] Proyek waduk Kedung Ombo dibiayai USD 156 juta dari dana Bank Dunia, USD 25,2 juta dari Bank Exim Jeapng, dan APBN. Waduk mulai diairi pada 14 Januari1989 dengan menenggelamkan 37 desa, 7 kecamatan di 3 kabupaten, yaitu Sragen, Boyolali dan Grobogan. Sebanyak 5268 keluarga kehilangan tanah akibat pembangunan waduk tersebut, Koran Tempo, 10 September 2001.
[ix] Proyek Bendungan Koto Panjang didanai dengan pinjaman ODA Jepang sebesar USD 300 juta. Dampak dari pembangunan bendungan ini adalah ditenggelamkannya 12,400 hektar tanah dan 23,00 orang kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian, lihat http://www.kotopan.jp/Eng.html
[x] Political aid conditionality adalah syarat yang diberlakukan oleh negara donor kepada negara penerima bantuan untuk melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi termasuk menghargai hak asasi manusia.
[xi] Setianingtyas, Op.Cit.
[xii] Ibid, 86.
[xiii] Akira, Nishigaki & Yasutami, 199-240, lihat Purnamasari, Op.Cit.,20.
[xiv] ODA Jepang telah disalurkan sejak tahun 1958 yang dimulai dalam bentuk Repatriation War Program, yaitu program pengembalian harta pampasan perang yang dilakukan oleh Pemerintah Jepang kepada negara-negara bekas jajahannya. Lihat Ministry of Foreign Affairs. 1998. Japan’s Official Development Assistance 1998, (ODA) Annual Report.
[xv] Kojima, Takaaki. 2006. Japan and ASEAN Partnership for a Stable and Prosperous Future, 3-5.
[xvi] Ministry of Foreign Affairs.1993. Japan’s Official Development Assistance (ODA) Annual Report, 33.
[xvii] www.mofa.go.jp/policy/oda/category/democratiz/1999/jica.html
[xviii] Mengingat porsi pinjaman mencapai 89,64%, maka persebaran georarifs pinjaman diyakini dapat mewakili persebaran geograifs ODA Jepang di Indonesia, lihat Purnamasari, 93-96.
[xix] Ibid.
[xx] Prof. Murai Yoshinori, Japan’s ODA to Indonesia, dapat diakses melalui: www.nindja.org/modules/news2/print.php?storyid=1
[xxi] Interview dengan Staf Japan International Cooperation Agency (JICA) Divisi Asia Tenggara, Tokyo, 11Juni, 2003.
[xxii] Pilar pertama adalah “sustainable growth driven by the private sector” dan pilar ketiga adalah “peace and stability”, Country Assistance Strategy for Indonesia, October 2004, Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Interview dengan Staf JICA Pusat, untuk wilayah Asia Tenggara, Tokyo, 29 Januari, 2007.
[xxiii] Ibid.
[xxiv] www.jbic.or.id/oeco.php
[xxv] Japan Bank International Cooperation Annual Report, 2002.
Daftar Pustaka
Buku, Jurnal dan Laporan
[1] Akira, Nishigaki & Shimomura Yasutami. 1998. The Economis of Development Assistance: Japan’s ODA in a Symbiotic World, Tokyo: LTCB International Library Foundation, 199-240
[2] Alam, Bachtiar. (2001). Japan’s ODA to Indonesia: Statistical Data, Jakarta, Yayasan Obor, 22-27.
[3] Arase, David. 1995. Buying Power: The Political Economy of Japan’s Foreign Aid, London: Lynne Rienner Publishers.
[4] Harjosoekarto, Sudarsono. 1993. Japan’s Role in Indonesia Development. The Indonesian Quarterly, Vol. XXI, No.4, 4th Quarter, 1993, 40.
[5] Japan Bank International Cooperation. 2002. Annual Report.
[6] Ministry of Foreign Affairs.1993. Japan’s Official Development Assistance (ODA) Annual Report).
[7] ----------------------------------.1998. Japan’s Official Development Assistance 1998, (ODA) Annual Report.
[8] Kojima, Takaaki. 2006. Japan and ASEAN Partnership for a Stable and Prosperous Future, 3-5.
[9] Ohno, Izumi. 2003. Japan’s ODA at a Crossroads: Striving for A New Vision. Japan Economic Current, No. 31, April, 4-7.
[10] Setianingtyas, Anastasia Nicola Ayu. 2006. Interaksi antar Aktor dalam Penyelenggaraan ODA Jepang: Studi Kasus Proyek Kotopanjang di Indonesia Periode 1979-2004. Skripsi. Departemen HI FISIP Universitas Indonesia, 2006, 48-60.
[11] Wie, Thee Kian. 1994. Interactions of Japanese Aid and Direct Investment in Indonesia. ASEAN Economic Bulletin, Vol. II/No.1, July, 25-33.
[12] Purnamasari, Mesi. 2004. ODA Jepang di Indonesia dalam Konteks Hubungan Jepang-Asia Tenggara. Skripsi. Departemen HI, FISIP Universitas Indonesia, 93-96.

Website
www.mofa.go.jp/policy/oda/category/democratiz/1999/jica.html
Sumber : Inovasi Edisi Vol. 11/XX/ Juli 2008.