Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Wednesday 2 January 2008

Dapatkah Kajian Produksi, Pangan dan Lahan Marginal mendukung Pembangunan Pertanian ?

Pada hari Sabtu tanggal 29 Desember 2007 telah dilaksanakan Seminar on Agricultural Sciences (SAS) 2007 bertempat di Balai Indonesia / Sekolah Republik Indonesia - Tokyo, Jepang, pada pukul 12.30-16.10 JST. Kegiatan SAS ini sebetulnya merupakan kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh Indonesian Agricultural Sciences (IASA) sejak 2005 sebagai pengganti SAB (Symposium on Agriculture and Biochemical Sciences) yang diselenggarakan bersama oleh IASA sebagai perhimpunan ilmu-ilmu pertanian Indonesia dan BIOCHE sebagai perhimpunan ilmu-ilmu biokimia Indonesia, dan sebelumnya sempat diselenggarakan selama 6 kali sejak pendiriannya. Pada tahun ini, IASA bekerja sama dengan PPI Jepang Koordinator Daerah Kanto (PPI Kanto) menyelenggarakan SAS 2007, kegiatan ini didukung juga oleh Atase Pertanian KBRI Tokyo. Bentuk kerjasama antara IASA dan PPI Kanto ini dituangkan dengan pembentukan kepanitiaan yang diambil dari personil dari masing-masing kepengurusan.

Acara diawali dengan makan siang bersama, lalu seminar dimulai pada pukul 13.30 JST atau 11.30 WIB dengan pengantar laporan dari Ketua Panitia, Arief Darmawan, MSc., mahasiswa program Doktor bidang kehutanan (GIS) University of Tokyo, Jepang, dan dilanjutkan arahan dari Atase Pertanian KBRI Tokyo, drh. Pudjiatmoko, PhD.

Seminar diselenggarakan dalam bentuk diskusi panel dengan menampilkan 3 orang pembicara yaitu Dr. Nono Carsono, Dr. Irwandi Jaswir dan Dr. Arman Wijonarko. Seminar yang bertemakan “Mencermati perjalanan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) dalam lingkup kajian terbatas peningkatan produksi pertanian, pendekatan pangan dan pengelolaan lahan marginal” yang diharapkan mencari jawaban atas pertanyaan yaitu “Dapatkah kajian produksi, pangan dan lahan marginal mendukung pembangunan pertanian khususnya dalam program RPPK ?”, dipandu oleh moderator Tatang Sopian, MAgr, mahasiswa program Doktor bidang pertanian (bioteknologi tanaman) pada Tokyo University of Agriculture and Technology (TUAT), Jepang.

Pemaparan Materi Seminar
Materi seminar disampaikan secara berurutan dari pembicara termuda yaitu Dr. Nono Carsono, dilanjutkan oleh Dr. Irwandi Jaswir yang telah memiliki publikasi artikel jurnal internasional sebanyak kurang lebih 40 buah dan terakhir disampaikan oleh pembicara tertua yaitu Dr. Arman Wijonarko dengan selisih usia 5 tahun dari pembicara termuda.

Dr. Nono Carsono yang merupakan staf pengajar pemuliaan tanaman Universitas Padjadjaran dan juga peneliti program post-doktoral pada National Institute of Agro-biological Science (NIAS), Tsukuba, Jepang, membawakan makalah yang berjudul “Peran pemuliaan tanaman dalam upaya meningkatkan produksi pertanian di Indonesia“. Dalam presentasi makalahnya, Dr. Nono Carsono menguraikan bahwa benih ataupun bibit sebagai produk akhir dari suatu program pemuliaan tanaman dan pada umumnya memiliki karakteristik keunggulan tertentu, mempunyai peranan yang vital sebagai penentu batas-atas produktivitas dan dalam menjamin keberhasilan budidaya tanaman.

Disebutkan pula olehnya bahwa sampai saat ini, upaya perbaikan genetik tanaman di Indonesia masih terbatas melalui metode pemuliaan tanaman konvensional, seperti persilangan, seleksi dan mutasi, dan masih belum secara optimal memanfaatkan aneka teknologi pemuliaan modern yang saat ini sangat pesat perkembangannya di negara-negara maju. Diuraikan lebih lanjut pula bahwa tujuan pemuliaan masih berkisar pada upaya peningkatan produktivitas, ketahanan terhadap hama - penyakit utama dan toleransi terhadap cekaman lingkungan (Al, Fe, kadar garam, dll), sedangkan pemuliaan ke arah kualitas karakter masih terbatas.

Lebih jauh disinggung pula oleh Dr. Nono Carsono bahwa pada umumnya kegiatan pemuliaan di Indonesia masih didominasi oleh lembaga-lembaga pemerintah, sedangkan pihak swasta masih terbatas dalam upaya propagasi (perbanyakan) tanaman dan relatif sedikit yang sudah mengembangkan divisi R & D-nya, demikian pula disebutkan bahwa riset pemuliaan molekuler masih sangat terbatas. Menurut Dr. Nono Carsono, pemberlakuan UU No. 29 tahun 2000 dapat memberikan perlindungan dan hak khusus bagi pelaku riset pemuliaan dan memberi peluang untuk berkembangnya industri perbenihan kompetitif yang berbasis riset pemuliaan.

Dr. Irwandi Jaswir yang merupakan seorang Associate Professor pada Departemen Bioteknologi, International Islamic University, Kualalumpur, Malaysia dan juga peneliti tamu pada National Food Research Institute (NFRI), Tsukuba, Jepang, membawakan makalah yang berjudul “Pendekatan konsumsi gizi dalam memenuhi kebutuhan pangan“. Ia menyampaikan bahwa kendati menunjukkan peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, posisi Indonesia berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dirilis United Nation Development Programme masih memprihatinkan. Ditunjukkan olehnya bahwa data tahun 2005 yang baru saja dikeluarkan badan PBB tersebut menunjukkan Indonesia kini berada di rangking 107 dari 177 negara di dunia. Rendahnya IPM Indonesia ini menurutnya jelas sangat berkaitan dengan pelbagai masalah berkaitan gizi yang dihadapi Bangsa Indonesia.

Menurut Dr. Irwandi Jaswir permasalahan gizi dewasa ini terbagi atas dua bagian yaitu gizi buruk yang banyak diderita negara-negara Dunia Ketiga, serta ‘gizi berlebih’ atau yang juga disebut ‘New World Syndrome’ yang banyak dijumpai di negara-negara maju. Keduanya menyumbang kepada meningkatnya berbagai penyakit serta permasalahan kesehatan lainnya, serta secara nyata menurunkan produktivitas dan GDP suatu bangsa. Dr. Irwandi Jaswir memandang bahwa sebagai sebuah negara berkembang, Indonesia tergolong ‘unik’, karena menghadapi kedua permasalahan tersebut sekaligus, dan diperkirakan olehnya bahwa masalah gizi dan kesehatan di masa mendatang jelas akan semakin kompleks dan akan menjadi tantangan utama pembangunan bidang kesehatan. Oleh karena itu, menurutnya kesadaran akan pentingnya pengetahuan seputar gizi seimbang, piramida makanan, menu sehat dan pola hidup sehat dirasakan menjadi semakin penting.

Dr. Irwandi Jaswir yang juga merupakan lulusan sarjana bidang teknologi pangan dan gizi Institut Pertanian Bogor ini, tidak lupa juga memberikan masukan kepada rekan-rekan mahasiswa dan peneliti bahwa trend riset-riset berkaitan pangan dan gizi di negara-negara maju, seperti Jepang, yang semakin spesifik dan komprehensif seharusnya bisa dijadikan pedoman dan perbandingan untuk sama-sama ikut andil, baik langsung ataupun tidak, memberi jalan penyelesaian terhadap berbagai masalah gizi di tanah air.

Dr. Arman Wijonarko yang merupakan staf pengajar entomologi Universitas Gadjah Mada dan juga peneliti tamu pada Tokyo University of Agriculture and Technology (TUAT) menyampaikan pemaparan hasil kerja penelitiannya berjudul “Pengembangan pertanian di lahan pasir pantai“. Dalam presentasinya, Dr. Arman Wijonarko mencoba menggambarkan potensi lahan pantai yang belum termanfaatkan dan berpeluang dipergunakan dalam pengembangan pertanian. Disebutkan oleh Dr. Arman Wijonarko bahwa Indonesia memiliki hampir 20 juta hektar lahan pantai yang sebagian besar belum dimanfaatkan dan masih merupakan tanah kosong. Dalam contoh kasus disebutkan olehnya bahwa bentangan pantai selatan Pulau Jawa sendiri tidak kurang dari 110.000 kilometer panjangnya, yang juga belum dimanfaatkan secara optimal, dibandingkan dengan pantai bagian utara Pulau Jawa, dan kondisi ini disebutkan juga mencerminkan kondisi sosial masyarakat pantai selatan Pulau Jawa yang relatif masih tertinggal dibandingkan dengan daerah pantai yang lain.

Menurut Dr. Arman Wijonarko, dengan adanya bencana Tsunami yang juga menimpa pantai selatan Pulau Jawa dan pantai barat Pulau Sumatra, membuat kawasan pantai kembali menjadi pusat perhatian, khususnya bidang konservasi dan pemberdayaan masyarakat. Selama ini pengembangan kawasan pantai selatan masih terbatas pada bidang usaha perikanan, baik untuk tangkap maupun tambak, hanya sayangnya menurutnya pembangunan kawasan pantai selatan Pulau Jawa sebagai sentra hortikultura belum banyak dikaji. Oleh karena itulah maka penelitian ini dilakukan oleh timnya dengan maksud untuk mencoba mengkaji potensi perubahan kawasan pantai selatan Pulau Jawa sebagai sentra pertanian baru dan sekaligus upaya nyata pemberdayaan masyarakat pantai yang berkelanjutan.

Kondisi Seminar dan Peserta
Seminar diakhiri dengan diskusi dengan dibukanya 3 kesempatan penanya yang di antaranya menyinggung tentang analisis kebijakan terkait ketiga materi yang disampaikan oleh para pembicara tersebut, lalu pertanyaan lain terkait food security sehubungan dengan produksi dan perdagangan internasional, juga pertanyaan terkait dengan sulitnya kemungkinan pelaksanaan penelitian pangan dan gizi yang cenderung high-tech, di samping itu pula muncul pertanyaan terkait peluang dilakukannya kajian di lahan-lahan gambut seperti di Kalimantan selain di lahan pantai dan juga muncul pertanyaan kajian umum tentang isu di tanah air terkait System of Rice Intensification (SRI) yang sukses dilakukan di wilayah timur Indonesia namun kurang sukses di wilayah barat Indonesia khususnya Pulau Jawa. Rangkaian seminar ditutup secara resmi pada pukul 16.10 JST atau 14.10 WIB oleh Wakil Ketua Umum IASA, Syahmir Ramadan Siregar, pelajar dari Tokyo University of Agriculture (TUA) yang sekaligus mengumumkan rencana penyelenggaraan Symposium on Agricultural Sciences (SAS) 2008 mendatang.

Secara umum seminar ini mampu menarik peserta yang cukup banyak dibandingkan penyelenggaraan SAS 2006 tahun lalu. Pendaftar yang telah terlebih dahulu menyampaikan keinginannya untuk mengikuti acara ini mencapai 34 orang di luar panitia dan undangan. Sehingga dari partisipasi keseluruhannya dapat mencapai angka lebih dari 50 orang. Pelajar-pelajar Indonesia yang berpartisipasi, berasal dari beberapa universitas, di antaranya yaitu: University of Tokyo, Tokyo University of Agriculture and Technology (TUAT), Tokyo University of Agriculture, Ritsumeikan University-Kyoto, National Graduate Institute for Policy Science (GRIPS), Takushoku University dan Hoshi University. Umumnya para peserta yang telah mendaftar ini, dapat hadir sejak makan siang sebelum acara dimulai, sehingga acara seminar dapat dimulai tepat pada waktunya.

Kondisi peserta pun tampak tidak terlalu jenuh dengan materi-materi yang disampaikan oleh pembicara, hal ini diduga terkait dengan bervariasinya topik yang disampaikan oleh ketiga pembicara, di samping beberapa ‘intermezzo’ candaan yang disampaikan oleh para pembicara menyelingi materi yang disampaikannya.

1 comment:

omyosa said...

MARI KITA BUAT PETANI TERSENYUM KETIKA DATANG PANEN
Petani kita sudah terlanjur memiliki mainset bahwa untuk menghasilkan produk-produk pertanian berarti harus gunakan pupuk dan pestisida kimia. NPK yang terdiri dari Urea, TSP dan KCL serta pestisida kimia pengendali hama sudah merupakan kebutuhan rutin para petani kita.
Produk ini dikenalkan oleh pemerintah saat itu sejak tahun 1969 karena berdasarkan penelitin bahwa tanah kita yang sangat subur ini ternyata kekurangan unsur hara makro (NPK). Setelah +/- 5 tahun dikenalkan dan terlihat peningkatan hasilnya, maka barulah para petani mengikuti cara tanam yang dianjurkan pemerintah tersebut. Produk hasil pertanian mencapai puncaknya pada tahun 1985-an pada saat Indonesia swasembada pangan. Petani kita selanjutnya secara turun temurun beranggapan bahwa yang meningkatkan produksi pertanian mereka adalah Urea, TSP dan KCL, mereka lupa bahwa tanah kita juga butuh unsur hara mikro yang pada umumnya terdapat dalam pupuk kandang atau pupuk hijau yang ada disekitar kita, sementara yang ditambahkan pada setiap awal musim tanam adalah unsur hara makro NPK saja ditambah dengan pengendali hama kimia.
Mereka para petani juga lupa, bahwa penggunaan pupuk dan pengendali hama kimia yang tidak terkendali, sangat merusak lingkungan dan terutama tanah pertanian mereka semakin tidak subur, semakin keras dan hasilnya dari tahun ketahun terus menurun.
Tawaran solusi terbaik untuk para petani Indonesia agar mereka bisa tersenyum ketika panen, maka tidak ada jalan lain, perbaiki sistem pertanian mereka, ubah cara bertani mereka, mari kita kembali kealam.
System of Rice Intensification (SRI) yang sedang digencarkan oleh SBY adalah cara bertani yang ramah lingkungan, kembali kealam, menghasilkan produk yang terbebas dari unsur-unsur kimia berbahaya, kuantitas dan kualitas hasil juga lebih baik, belum mendapat respon positif dari para petani kita, karena walaupun hasilnya sangat menjanjikan, tetapi sangat merepotkan petani dalam budidayanya.
Petani kita karena sudah terlanjur termanjakan oleh system olah lahan yang praktis dengan menggunakan pupuk dan pestisida kimia, sangat berat menerima metoda SRI ini. Mungkin tunggu 5 tahun lagi setelah melihat petani tetangganya berhasil menerapkan metode tersebut.
Atau mungkin solusi yang lebih praktis ini dapat diterima oleh para petani kita; yaitu “BERTANI DENGAN POLA GABUNGAN SISTEM SRI DIPADUKAN DENGAN PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK NASA”. Cara gabungan ini hasilnya tetap PADI ORGANIK yang ramah lingkungan seperti yang dikehendaki oleh pola SRI, tetapi cara pengolahan lahan/tanah sawahnya lebih praktis, dan hasilnya bisa meningkat 60% — 200% dibanding pola tanam sekarang.
Semoga petani kita bisa tersenyum ketika datang musim panen.
AYOOO PARA PETANI DAN SIAPA SAJA YANG PEDULI PETANI!!!!
SIAPA YANG AKAN MEMULAI?
KALAU TIDAK KITA SIAPA LAGI?
KALAU BUKAN SEKARANG KAPAN LAGI?
omyosa,
papa_260001527@yahoo.co.id